Kamis, 21 Juli 2011

Gadai dalam Islam

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.
Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.
Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
Dalam rubrik fikih kali ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat Islam.
Definisi ar-Rahn
Rahn, dalam bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. [1] Dalam bahasa Arab dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir, dan kata نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn” bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir: 38)
Pada ayat tersebut, kata “rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. [2]
Ibnu Faris menyatakan, “Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata ‘ar-rahn’, yaitu sesuatu yang digadaikan.” [3]
Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” [4]
“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” [5]
“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.” [6]
Sedangkan Syekh al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya. [7]


Hukum ar-Rahn
Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil al-Quran adalah firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283)
Walaupun terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).
Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)
Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). [8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam. [9]
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar [10], dan Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. [11]
Setelah jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), maka bagaimanakah hokum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau wajib dalam keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat pertama, tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim. Inilah pendapat Mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah).
Ibnu Qudamah berkata, “Penyerahan ar-rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban).” [12]
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan tidak wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai).
Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib untuk diserahkan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan perjanjian utang). Selain itu, karena rahn ada ketika penulisan perjanjian utang sulit untuk dilakukan. Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib untuk dilakukan, maka demikian juga dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).
Pendapat kedua, wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Mereka menyatakan bahwa kalimat “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang bermakna perintah.
Juga dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka dia batil walaupun ada seratus syarat.” (Hr. Al-Bukhari)
Mereka menyatakan, “Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar terdapat dalam al-Quran dan merupakan perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk mengamalkannya. Serta tidak ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam keadaan mukim, sehingga dia tertolak.”
Pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud sebagai bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (Qs. Al-Baqarah: 283)
Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangannya, dan di dalam permasalahan ini tidak ada larangannya.” [13]
Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu a’lam.
Hikmah Pensyariatannya
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.
Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.
Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa. [14]

Rukun ar-Rahn (Gadai)
Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:
  1. Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan).
  2. Al-marhun bih (utang).
  3. Shighah. [15]
  4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan  murtahin (pemberi utang).
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi. [16]

Syarat ar-Rahn
Dalam ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:
  1. Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur). [17]
2. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)
a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. [18]
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. [19]
c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. [20]
3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. [21]


Kapan ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ar-rahn, dalam hal apakah menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn. Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam Mazhab Ahmad bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ”. Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan “dipegang” (serah terima), dan ar-rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya, sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [22]
Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ“. Dalam ayat ini, Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan bukan syarat sahnya.
Syekh Abdurrahman bin Hasan menyatakan, “Adapun firman Allah ‘فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ’ adalah sifat  keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya) tidak dengan serah-terima (al-qabdh). [23]
Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya. [24]
Kapan Serah Terima ar-Rahn Dianggap Sah?
Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.
Hukum-hukum Setelah Serah Terima
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:
Pertama, pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ
“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Qs. Al-Baqarah: 283)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.”
(Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”
Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen).  [25]
Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).
Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. [26]
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya.
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).
Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.” [27]
Ketiga, pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya. [28]
Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.
Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).
Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.
Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]
Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka  penggadai  meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.
Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.
Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut.
Apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka meniadakan kezaliman. [30]
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang) dipenjarakan.
Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang  gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.
Wallahul Muwaffiq.
Referensi:
1. Kitab al-Fiqh al-Muyassarah, Qismul Muamalah, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425 H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA.
  1. Abhaats Hai’at Kibar al-Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al-Amanah al-’Amah li Hai’at Kibar al-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H.
  2. Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah al-Bassam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA.
    4. Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir.
    5. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najib al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-’Arabi, Beirut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi.
===
Catatan kaki:
[1] Lihat: Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah Al Bassam, cetakan kelima, tahun 1423, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA, 4/460.
[2] Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandzur pada kata “rahana”, dinukil dari kitab Al-Fiqh al-Muyassar, Qismul Mu’amalah, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA, hlm. 115.
[3] Mu’jam Maqayis al-Lughah: 2/452, dinukil dari Abhats Hai’at Kibar al-Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al-Amanah al-’Amah Lihai’at Kibar al-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H, 6/102.
[4] Lihat: Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najieb al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-’Arabi, Beirut, 12/299—300.
[5] Lihat: Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, penerbit Hajar, Kairo, Mesir, 6/443.
[6] Lihat: Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab al-‘Aziz.
[7] Taudhih al-Ahkam Syarah Bulugh al-Maram : 4/460.
[8] Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/107.
[9] Lihat: Al-Mughni: 6/444 dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.
[10]Fathul Bari: 5/140.
[11]Adhwa’ al-Bayan: 1/228.
[12]Al-Mughni: 6/444.
[13]Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/112—112.
[14] Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/112.
[15]Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan keridhaannya dalam transaksi, baik berupa perkataan yaitu ijab qabul, atau berupa perbuatan.
[16]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.
[17]Lihat: Al Majmu’ Syarhul Muhadzab: 12/302, al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116, dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.
[18]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.
[19]Taudhih al-Ahkam: 4/460 dan al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116.
[20]Taudhih al-Ahkam: 4/460.
[21]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.
[22]Al-Mughni: 6/446.
[23]Taudhih al-Ahkam: 4/464.
[24]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.
[25]Lihat pembahasannya dalam Taudhih al-Ahkam: 4/462–477.
[26]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.
[27]Dinukil dari Taudhih al-Ahkam: 4/462.
[28]Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/134-135
[29]Taudhih al-Ahkam: 4/467.
[30]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 119.

Rabu, 20 Juli 2011

Selayang pandang Pegadaian


Pendahuluan
Alhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Akad pegadaian ialah suatu akad yang berupa penahanan suatu barang sebagai jaminan atas suatu piutang. Penahanan barang ini bertujuan agar pemberi piutang merasa aman atas haknya. Dengan demikian, barang yang ditahan haruslah memiliki nilai jual, agar pemberi piutang dapat menjual barang gadaian, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi piutangnya pada tempo yang telah disepakati.
Syariat pegadaian ini merupakan salah satu bukti bahwa Islam telah memiliki sistem perekonomian yang lengkap dan sempurna, sebagaimana syariat Islam senantiasa memberikan jaminan ekonomis yang adil bagi seluruh pihak yang terkait dalam setiap transaksi. Penerima piutang dapat memenuhi kebutuhannya, dan pemberi piutang mendapat jaminan keamanan bagi uangnya, selain mendapat pahala dari Allah atas pertolongannya kepada orang lain.
Dalil-dalil Dihalalkannya Pegadaian
Agar tidak ada yang mempertanyakan tentang dasar hukum pegadaian, maka berikut ini saya akan sebutkan sebagian dalil yang mendasari akad pegadaian.
Firman Allah Ta’ala,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Bila kalian berada dalam perjalanan (dan kalian bermuamalah secara tidak tunai), sedangkan kalian tidak mendapatkan juru tulis, maka hendaklah ada barang gadai yang diserahkan (kepada pemberi piutang).” (Qs. al-Baqarah: 283)
Pada akhir hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menggadaikan perisai beliau kepada orang Yahudi, karena beliau berutang kepadanya beberapa takar gandum.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: اِشْتَرَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَاماً نَسِيْئَةً وَرَهْنَهً درعَهُ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan (gandum) secara tidak tunai dari seorang Yahudi, dan beliau menggadaikan perisainya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan kedua dalil di atas, juga dalil-dalil lainnya, maka para ulama dari zaman dahulu hingga sekarang, secara global telah menyepakati bolehnya akad pegadaian. Hal ini sebagaimana  ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya oleh Ibnu Munzir dalam kitabnya al -Ijma’ hlm. 96, Ibnu Hazm dalam kitabnya Maratibul Ijma’ hlm. 60, serta Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni: 6/444.
Pegadaian Dapat Dilakukan Di Mana Pun
Mungkin ada dari kita yang bertanya-tanya, “Bukankah pada teks ayat di atas, Allah Ta’ala mempersyaratkan berlangsungnya syariat pegadaian adalah ketika sedang dalam perjalanan?”
Pertanyaan ini sebenarnya telah timbul dan dipermasalahkan oleh sebagian ulama sejak zaman dahulu. Bahkan, sebagian ulama, diantaranya Mujahid bin Jaber, ad-Dhahhak, dan diikuti oleh Ibnu Hazm –berdasarkan teks ayat di atas– berfatwa bahwa pegadaian hanya diperbolehkan ketika dalam perjalanan saja. [1]
Adapun jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan akad pegadaian di mana pun kita berada, baik ada saksi atau tidak ada, baik ada juru tulis atau tidak.[2] Hal ini berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik berikut ini:
لَقَدْ رَهَنَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ درعاً لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْراً لِأَهْلِهِ، وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَا أَمْسَى عِنْدَ آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَاعَ برٍّ وَلاَ صَاعَ حُبٍّ وَإِنًّ عِنْدَهُ لتِسْع نِسْوَةٍ
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggadaikan perisainya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan beliau berutang kepadanya sejumlah gandum untuk menafkahi keluarganya. Sungguh aku pernah mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Di rumah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tersisa lagi gandum, walau hanya ada satu sha’ (takaran sekitar 2,5 kg),’ padahal beliau memiliki sembilan isteri.” (Hr. Bukhari)
Pada hadits ini, dengan jelas kita dapatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggadaikan perisainya di Madinah, dan beliau tidak sedang berada dalam perjalanan.
Adapun teks hadits yang seolah-olah hanya membolehkan pegadaian pada saat perjalanan saja, maka para ulama menjelaskan, bahwa ayat tersebut hanyalah menjelaskan kebiasaan masyarakat pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu, biasanya, tidaklah ada orang yang menggambil barang gadaian, melainkan ketika tidak mendapatkan cara lain untuk menjamin haknya, yaitu pada saat tidak ada juru tulis atau saksi yang terpercaya. Keadaan ini biasanya sering terjadi ketika sedang dalam perjalanan. Penjabaran ini akan tampak dengan sangat jelas, bila kita mengaitkan surat al-Baqarah: 283 di atas, dengan ayat sebelumnya (yaitu, ayat 282). [3]
Barang yang Dapat Digadaikan
Dari definisi pegadaian di atas, dapat disimpulkan bahwa barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغْيِ وَحِلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Imam as-Syafi’i berkata, “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung , (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”[4]
Beliau juga berkata, “Bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka tidak dibenarkan, karena anjing tidak memiliki nilai ekonomis. Demikian juga bagi setiap barang yang tidak halal untuk diperjual-belikan.”[5]

Waktu Pegadaian
Sebagaimana dapat dipahami dari teks ayat di atas dan juga dari tujuan akad pegadaian, maka waktu pelaksanaan akad ini ialah setelah atau bersamaan dengan akad utang-piutang berlangsung. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau berutang setakar gandum dari seorang Yahudi.
عَنْ أَبِي رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ ضَيْفاً نَزَلَ بِرَسُوْلِ اللهَ، فَأَرْسَلَنِي أَبْتَغِي لَهُ طَعَاماً، فَأَتَيْتُ رَجُلاً مِنَ الْيَهُوْدِ فَقُلْتُ: يَقُوْلُ لَكَ مُحَمَّدٌ إِنَّهُ قَدْ نَزَلَ بِنَا ضَيْفٌ، وَلَمْ يَلْقِ عِنْدَنَا بَعْضَ الَّذِي يُصْلِحُهُ، فَبِعْنِي أَوْ اَسْلِفْنِي إِلَى هِلاَلِ رَجَب. فَقَالَ الْيَهُوْدِيُّ: لاَ وَاللهِ لاَ أُسْلِفُهُ وَلاَ أَبِيْعُهُ إِلاَّ بِرَهْنٍ، فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ: وَاللهِ إِنِّي لَأَمِيْنٌ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ أَمِيْنٌ فِي أَهْلِ اْلأَرْضِ، وَلَوْ أَسْلَفَنِيْ أَوْ بَاعَنِيْ لَأَدَّيْتُ إِلَيْهِ. اِذْهَبْ بِدِرْعِيْ!
Dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan, “Pada suatu hari ada tamu yang datang ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengutusku untuk mencari makanan sebagai hidangan. Lalu, aku pun mendatangi seorang Yahudi, dan aku berkata kepadanya, ‘Nabi Muhammad berkata kepadamu bahwa sesungguhnya ada tamu yang datang kepada kami, sedangkan beliau tidak memiliki apa pun yang dapat dihidangkan untuk mereka. Oleh karenanya, jual atau berilah utang (berupa gandum) kepadaku, dengan tempo (pembayaran hingga) bulan Rajab.’ Maka, orang Yahudi tersebut berkata, ‘Tidak, sungguh demi Allah, aku tidak akan mengutanginya dan tidak akan menjual kepadanya, melainkan dengan gadaian.’ Maka, aku pun kembali menemui Rasulullah, lalu aku kabarkan kepada beliau, lalu beliau pun bersabda, Sungguh demi Allah, aku adalah orang yang terpercaya di langit (dipercaya oleh Allah) dan terpercaya di bumi. Andaikata ia mengutangiku atau menjual kepadaku, pasti aku akan menunaikannya (melunasinya).’” (Hr. Abdurrazzaaq, dengan sanad yang mursal/terputus)
Pada kisah ini, proses pegadaian terjadi bersamaan dengan berlangsungnya akad jual-beli atau utang-piutang.
Akan tetapi, bila ada orang yang sebelum berjual-beli atau berutang telah memberikan jaminan barang gadaian terlebih dahulu, maka menurut pendapat yang lebih kuat, hal tersebut juga diperbolehkan. Yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan berikut:
  1. Hukum asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut.
  2. Selama kedua belah pihak yang menjalankan akad rela dan telah menyepakati hal tersebut, maka tidak ada alasan untuk melarangnya.[6]
Sebagai contoh, bila ada orang yang hendak berutang kepada Anda, lalu Anda berkata kepadanya, “Saya tidak akan mengutangi Anda, melainkan bila Anda menggadaikan sepeda motor atau sawah Anda kepada saya.” Lalu, orang tersebut berkata kepada Anda, “Ya, saya gadaikan sawah saya kepada Anda sebagai jaminan atas piutang yang akan Anda berikan kepada saya.” Kemudian, setelah Anda selesai melakukan akad pegadaian, dimulai dari penandatanganan surat perjanjian gadai hingga penyerahan surat tanah, Anda baru bertanya kepadanya, “Berapa jumlah uang yang Anda butuhkan?” Maka, dia pun menyebutkan (misalnya) bahwa dia membutuhkan uang sejumlah Rp 30.000.000,-, dan Anda pun kemudian menyerahkan uang sejumlah yang dia inginkan. Pada kasus ini, akad pegadaian terjadi sebelum akad utang-piutang.
Hukum Pegadaian
Bila akad pegadaian telah dihukumi sah menurut syariat, maka akad pegadaian memiliki beberapa konsekuensi hukum. Berikut ini adalah hukum-hukum yang harus kita indahkan bila kita telah menggadaikan suatu barang:
Hukum pertama: barang gadai adalah amanah
Sebagaimana telah diketahui dari penjabaran di atas, bahwa gadai berfungsi sebagai jaminan atas hak pemiliki uang. Dengan demikian, status barang gadai selama berada di tangan pemilik uang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya.
Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya Pak Ahmad mensyaratkan agar Pak Ali memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.[7]
Misalnya, bila Pak Ahmad menggadaikan motornya kepada Pak Ali, lalu Pak Ali menelantarkan motor tersebut, tidak disimpan di tempat yang semestinya, sehingga motor tersebut rusak atau hilang, maka Pak Ali berkewajiban memberi ganti rugi kerusakan tersebut.
Sebaliknya, bila Pak Ali telah merawat dengan baik, kemudian rumah Pak Ali dibobol oleh pencuri, sehingga motor tersebut ikut serta dicuri bersama harta Pak Ali, maka ia tidak berkewajiban untuk mengganti.
Hukum kedua: pemilik uang berhak untuk membatalkan pegadaian
Akad pegadaian adalah salah satu akad yang mengikat salah satu pihak saja, yaitu pihak orang yang berutang. Dengan demikian, ia tidak dapat membatalkan akad pegadaian, melainkan atas kerelaan pemilik uang. Adapun pemilik uang, maka ia memiliki wewenang sepenuhnya untuk membatalkan akad, karena pegadaian disyariatkan untuk menjamin haknya. Oleh karena itu, bila ia rela haknya terutang tanpa ada jaminan, maka tidak mengapa.
Hukum ketiga: pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian
Sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemilik uang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Bahkan, banyak ulama menfatwakan bahwa persyaratan tersebut menjadikan akad utang-piutang beserta pegadaiannya batal dan tidak sah.[8]
Demikianlah hukum asal pegadaian. Namun, ada dua kasus, yang pada keduanya, pemilik uang (kreditur) dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian:
Kasus Pertama
Pemanfaatan barang gadai dipersyaratkan ketika akad pegadaian dalam akad jual-beli atau sewa-menyewa dengan pembayaran terutang. Hanya saja, para ulama menegaskan bahwa pemanfaatan barang gadai ini hanya dibenarkan bila:
  1. Pada akad jual-beli, atau yang serupa.
  2. Pemanfaatan barang gadai disepakati ketika akad jual-beli sedang berlangsung.
  3. Batas waktu pemanfaatan yang jelas.
  4. Metode pemanfaatan yang jelas.
Pada kasus semacam ini, maka kreditur dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, sebagaimana yang mereka berdua sepakati.
Bila kita cermati kasus ini dengan baik, niscaya kita dapatkan bahwa sebenarnya pada akad pegadaian ini terdapat dua akad yang disatukan, yaitu akad jual-beli dan akad sewa-menyewa.[9]
Sebagai contoh nyata, bila Anda menjual kendaraan kepada seseorang, dan ketika akad berlangsung terjadi kesepakatan sebagai berikut:
  • Harga sebesar Rp 30.000.000,- dengan cicilan Rp 3.000.000,- tiap bulan.
  • Pembeli berkewajiban menggadaikan salah satu rumahnya selama sepuluh bulan, yaitu selama masa kredit.
  • Selama masa kredit, yaitu sepuluh bulan, Anda menempati rumah yang digadaikan tersebut.
Pada kasus ini, Anda dibenarkan untuk menempati rumah tersebut, karena pada hakikatnya, kendaraan Anda terjual dengan harga Rp 30.000.000,- ditambah dengan uang sewa rumah selama sepuluh bulan.
Akan tetapi, bila pada kasus ini, ketika pada proses negoisasi harga hingga akad jual-beli kendaraan selesai, Anda tidak mempersyaratkan untuk menempati rumah tersebut, maka anda tidak dibenarkan untuk menempati rumah tersebut. Dengan demikian, bila selang satu hari atau lebih, Anda mengutarakan keinginan itu kepada pembeli, maka keinginan ini tidak dibenarkan, dan bila Anda tetap melanggar, maka Anda berdua telah terjatuh dalam riba.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bila akad pegadaian terjadi karena adanya akad utang-piutang, dan bukan karena akad jual-beli atau akad sewa-menyewa, maka tidak dibenarkan sama sekali untuk memanfaatkan barang gadaian.
Misalnya, bila Anda mengutangi seseorang uang sejumlah Rp 10.000.000,-, dan orang tersebut menggadaikan sawahnya kepada Anda. Pada kasus ini, Anda tidak dibenarkan untuk menggarap sawahnya, karena bila Anda menggarap sawah tersebut, berarti Anda telah diuntungkan dari piutang yang Anda berikan, dan setiap piutang yang mendatangkan keuntungan adalah riba, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Bila pemilik uang mempersyaratkan kepada penggadai agar ia menempati rumah yang digadaikan, mempekerjakan budak gadaian, mengambil kemanfaatan barang gadai, atau sebagian dari kegunaannya, apa pun bentuknya, dan barang gadainya berbentuk apa pun (rumah, hewan ternak, atau lainnya), maka persyaratan ini adalah persyaratan yang batil (tidak sah). Bila ia mengutangkan uang seribu (dirham) dengan syarat orang yang berutang memberikan jaminan berupa barang gadaian, lalu pemilik uang mempersyaratkan agar ia menggunakan barang gadaian tersebut, maka syarat ini tidak sah, karena itu merupakan tambahan dalam piutang.” [10]
Imam an-Nawawi berkata, “Tidaklah pemilik uang (murtahin) memiliki hak pada barang gadaian selain hak sebagai jaminan belaka. Murtahin tidak dibenarkan untuk ber-tasarruf (bertindak), baik berupa ucapan atau perbuatan tentang barang gadaiaan yang ada di tangannya, sebagaimana ia juga dilarang untuk memanfaatkannya. ” [11]
Kasus Kedua
Bila barang gadaian adalah binatang hidup, sehingga membutuhkan makanan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kedua belah pihak. Karena bila makanan binatang tersebut dibebankan kepada pemilik uang, ini merugikannya. Sebaliknya, bila dibebankan kepada pemilik binatang, maka akan merepotkannya, terlebih–lebih bila jarak antara mereka berdua berjauhan. Kasus ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْناً، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْناً، وَعَلَى الَّذِيْ يُرْكَبُ وَيُشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Pada hadits ini terdapat dalil bagi orang yang memperbolehkan pemilik uang untuk memanfaatkan barang gadaian, bila ia bertanggung jawab atas perawatannya, walau pemiliknya tidak mengizinkan. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan sekelompok ulama lainnya. Mereka berpendapat bahwa pemilik uang boleh memanfaatkan binatang gadaian dengan ditunggangi dan diperah susunya, senilai makanan yang ia berikan kepada binatang tersebut. Akan tetapi, dia tidak dibebani untuk memanfaatkan dengan cara-cara lainnya. Pendapat ini berdasarkan pemahaman terhadap hadits ini…..
Walaupun hadits ini sekilas tampak bersifat global, namun hadits ini secara khusus berkaitan dengan pemilik uang. Yang demikian itu, pemanfaatan barang gadaian oleh pemilik barang gadaian berdasarkan atas kepemilikannya terhadap barang tersebut, bukan karena sekadar ia memberi makanan kepada binatang gadaian, berbeda halnya dengan pemilik uang.”[12]
Berikut ini adalah dua fatwa Komite Tetap untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, yang berkaitan dengan hukum pemanfaatan barang gadaian:
1. Pertanyaan:
Bagaiamana sikap Islam berkaitan dengan perbankan, dan apa hukum bertransaksi dengannya (yaitu, dengan meminjam uang yang berbunga kepadanya)? Apakah pegadaian itu halal atau haram? Misalnya, saya memiliki sebidang tanah seluas dua hektar, sedangkan saya tidak memiliki uang, maka saya datang ke seseorang yang siap mengutangi uang sebesar 1500 Junaih (mata uang Mesir -pen) kepada saya. Setelah itu ia berhak memanfaatkan tanah saya dengan menanaminya, dan uang tersebut saya gunakan terus-menerus selama ia masih menggarap tanah saya.
Jawaban:
Piutang dengan syarat ada bunganya hukumnya adalah haram, dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ قَرْضِ جَرٍّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat (keuntungan) adalah riba.”[13]
Ulama pun telah menyepakati kandungan hadits ini.
Di antara bentuk piutang yang mendatangkan manfaat adalah memberikan orang yang mengutangi sebidang tanah yang ia manfaatkan, baik dengan ditanami atau lainnya, hingga saat orang yang berutang (mampu) melunasi piutangnya. Akad semacam ini tidak boleh.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.[14]
2. Pertanyaan:
Seseorang berutang kepada orang lain, dan orang yang berutang menggadaikan sebidang tanah miliknya kepada pemilik uang. Apakah pemilik uang diperbolehkan untuk memanfaatkan tanah tersebut, baik dengan ditanami, disewakan, atau lainnya?
Jawaban:
Bila barang gadaian tidak membutuhkan biaya dan perawatan (misalnya: perabot, properti berupa tanah dan rumah), dan barang tersebut digadaikan karena piutang selain piutang qardh[15], maka tidak dibenarkan bagi pemilik uang untuk memanfaatkan tanah yang digadaikan, baik dengan menanaminya atau menyewakannya, tanpa seizin pemilik tanah. Hal ini, karena tanah tersebut adalah hak pemiliknya, demikian juga kemanfaatannya.
Bila pemilik barang (orang yang berutang) mengizinkan kepada pemilik uang untuk memanfaatkan tanah ini, dan piutangnya bukan piutang qardh, maka boleh baginya untuk memanfaatkannya, walau tanpa imbalan. Hukum ini berlaku selama izin pemanfaatan ini bukan sebagai imbalan atas penundaan tempo pelunasan. Bila pemanfaatan tanah tersebut disebabkan penundaan tempo pelunasan, maka tidak dibenarkan bagi pemilik uang untuk memanfaatkannya.
Adapun bila tanah ini digadaikan karena adanya piutang qardh, maka secara mutlak, pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkannya, karena pemanfaatan barang gadaian kala itu mendatangkan keuntungan. Selain itu, menurut kesepakatan ulama, setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan adalah riba.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.[15]
3. Pertanyaan:
Di sebagian pedesaaan Mesir terdapat kebiasaan menggadaikan lahan pertanian. Bila ada orang yang memerlukan uang, ia berutang kepada orang kaya. Sebagai balasannya, pemilik uang mengambil lahan pertanian milik orang yang berutang, sebagai gadainya. Selanjutnya, pemilik uang memanfaatkan hasil lahan itu dan seluruh hasil yang dapat diperoleh darinya. Adapun pemilik lahan, maka dia tidak dapat mengambil sedikit pun dari hasil lahannya. Lahan tersebut akan senantiasa dimanfaatkan oleh pemilik uang sampai tiba saat orang yang berutang melunasi utangnya. Apa hukum menggadaikan lahan pertanian, dan apakah mengambil hasil lahan tersebut halal atau haram?
Jawaban:
Barangsiapa memberikan suatu piutang, maka ia tidak boleh untuk mempersyaratkan kepada orang yang berutang untuk memberikan manfaat apa pun sebagai imbalan atas piutangnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ قَرْضِ جَرٍّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat (keuntungan) adalah riba.”
Ulama telah bersepakat akan kandungan hadits di atas. Di antaranya adalah kasus yang disebutkan dalam pertanyaan, berupa penggadaian lahan pertanian. Yaitu, pemilik uang memanfaatkan lahan pertanian yang digadaikan hingga orang yang berutang melunasi piutangnya.
Demikian juga, bila ia mengutangi orang lain, maka tidak boleh bagi pemilik uang untuk mengambil hasil lahan itu atau memanfaatkannya sebagai imbalan atas penundaan waktu pelunasan. Hal ini dikarenakan, tujuan pegadaian ialah untuk memberikan jaminan atas suatu piutang. Pegadaian bukan untuk mencari keuntungan dari barang gadaian sebagai imbalan atas piutang atau memberi kesempatan bagi orang yang berutang untuk menunda pembayaran.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.[16]
Hukum keempat: piutang tidak berkurang karena barang gadai rusak
Telah dijelaskan di atas bahwa tujuan pegadaian adalah untuk memberikan jaminan kepada pemilik uang. Sebagaimana telah dijelaskan pula, bahwa pemilik uang tidak berkewajiban untuk bertanggung jawab bila terjadi kerusakan pada barang gadaian yang terjadi tanpa kesalahan darinya. Bukan hanya itu saja, tetapi uang yang diutangkannya pun juga tidak digugurkan atau dikurangi karenanya.[17]
Imam as-Syafi’i berkata, “Bila seseorang telah menggadaikan suatu barang, kemudian barang gadaian itu rusak selama berada di tangan pemilik uang, maka ia tidak berkewajiban untuk menggantinya, dan jumlah piutangnya pun tidak berubah sedikit pun, dari jumlah sebelum terjadi akad pegadaian…. Selama Pemilik uang tidak berbuat kesalahan, maka status barang gadaian bagaikan amanah.
Oleh karena itu, bila orang yang berutang telah menyerahkan barang gadaian kepada pemilik uang, kemudian ia ingin menarik kembali barangnya, maka pemilik uang berhak untuk menolaknya. Serta, bila barang itu rusak, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk menggantinya, karena pemilik uang berhak untuk menolak permintaan orang yang berutang itu.”[18]
Hukum kelima: bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka barang gadaian dapat dijual untuk melunasi utang tersebut.
Bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka akan terjadi beberapa kemungkinan berikut:
1. Orang yang berutang dapat melunasi piutangnya. Bila kemungkinan ini yang terjadi, maka barang gadaian sepenuhnya harus dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Orang yang berutang tidak mampu melunasi piutangnya, dan pemilik uang rela untuk menunda haknya. Pada keadaan seperti ini, barang gadaian tidak berubah statusnya, yaitu masih tetap tergadaikan hingga batas waktu yang disepakati. Menunda tagihan, bila orang yang berutang benar-benar dalam kesusahan, adalah lebih utama bagi pemberi utang, daripada menuntut hak, dengan melelang barang gadaian. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Menyedakahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)
Juga berdasarkan hadits berikut,
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : أَتَى اللهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللهَ مَالاً، فَقَالَ لَهُ: مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا؟ قَالَ: وَلاَ يَكْتُمُوْنَ اللهَ حَدِيْثًا، قَالَ: يَا رَبِّ آتَيْتَنِيْ مَالَكَ، فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ، وَكاَنَ مِنْ خَلْقِي الْجَوَازُ، فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوْسِرِ وَأَنْظُرُ الْمَعْسِرَ، فَقَالَ اللهُ: أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ، تَجَاوَزُوْا عَنْ عَبْدِيْ
Huzaifah radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, ‘(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Dia beri harta kekayaan. Kemudian, Allah bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan suatu kejadian dari Allah).[19] Hamba tersebut pun menjawab, ‘Wahai Rabbku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual-beli dengan orang lain. Kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) orang yang mampu, dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu. Kemudian, Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau. Mudahkanlah hamba-Ku ini!’’” (Muttafaqun ‘alaihi)
3. Orang yang berutang tidak mampu melunasi piutangnya, dan pemilik uang tidak mau untuk menunda tagihan. Pada keadaan seperti ini, barang gadaian harus dijual, dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi utang.
Bila kemungkinan ketiga ini yang terjadi, maka yang berhak untuk menjual barang gadaian adalah pemilik barang. Bila ia tidak mau menjualnya sendiri, maka pemilik uang berhak untuk menggugatnya ke pengadilan, agar pengadilan menjualkan barang tersebut.
Adapun pemilik uang, maka ia tidak berhak untuk menjual barang gadaian yang ada di tangannya, kecuali seizin dari pemilik barang atau orang yang berutang.
Urutan ini dilakukan demi menjaga keutuhan harta orang atau orang yang berutang, karena pada dasarnya, harta setiap manusia adalah terhormat, dan suatu akad jual-beli tidaklah sah bila tidak didasari oleh asas “suka sama suka”. Ditambah lagi, bila pemiliknya yang menjual langsung barang gadaian, maka ia akan berusaha menjualnya dengan harga yang bagus. Berbeda halnya, bila yang menjualnya adalah pemilik uang. Biasanya, ia hanya memikirkan cara agar uangnya dapat terbayar dengan lunas.
Bila kemungkinan ini terjadi, maka hasil penjualan barang gadai tidak akan luput dari tiga kemungkinan berikut:
  1. Bila hasil penjualan lebih sedikit dari jumlah piutang, maka seluruh hasil penjualan diserahkan kepada pemilik uang dan orang yang berutang masih berkewajiban untuk menutup kekurangannya.
  2. Bila hasil penjualan sama dengan jumlah piutang, maka hasil penjualan sepenuhnya diserahkan kepada pemilik uang guna melunasi haknya.
  3. Bila hasil penjualan melebihi jumlah piutang, maka hasil penjualan itu dipotong jumlah piutang, dan sisanya dikembalikan kepada pemilik barang (orang yang berutang).
Penutup
Demikianlah paparan yang dapat saya utarakan pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Tiada kata yang lebih indah untuk mengakhiri makalah sederhana ini dibandingkan sebuah doa:
اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاغْنِنِا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rezeki yang halal dari-Mu, sehingga kami tidak merasa perlu untuk memakan harta yang Engkau haramkan. Cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu, sehingga kami tidak mengharapkan uluran tangan selain dari-Mu.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A.
==========
CATATAN KAKI:
[1] Baca: Tafsir Ibnu Jarir at-Thabary: 3/139–140 dan al-Muhalla oleh Ibnu Hazm: 8/88.
[2] Baca: al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/139, at-Tahzib oleh al-Baghawi: 4/3, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah: 6/444, dan al-Mabsuth oleh as-Sarahsy: 21/64.
[3] Baca: Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani: 5/157 dan Nailul Authar oleh asy- Syaukani: 5/326.
[4] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/153.
[5] Idem: 3/162.
[6] Baca: asy-Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin: 9/125.
[7] Baca: al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/168, Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/126–127, I’anatuth Thalibin oleh ad-Dimyathi: 3/59, Fathul Mu’in oleh al-Malibari: 3/59, dan Nihatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[8] Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/121, Fathul Mu’in oleh al-Malibari: 3/57, dan Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[9] Baca Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[10] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/155.
[11] Raudhatuth Thalibin oleh Imam an-Nawawi: 3/387.
[12] Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani: 5/144.
[13] Riwayat al-Harits, sebagaimana disebutkan oleh al-Haitsami dalam kitab Bughyatul Bahits: 1/500 dengan sanad yang lemah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar, as-Suyuthi dan al-Albani.
[14] Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah: 13/426, fatwa no. 16645.
[15] Piutang, selain piutang qardh, ialah piutang yang terjadi pada saat akad jual-beli, sewa-menyewa, atau yang serupa.
[16] Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah: 14/176, fatwa no. 202444.
[17] Idem: 12/178, fatwa no. 17393.
[18] Baca: Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syarbini: 2/137.
[19] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/167.
[20] Qs. an-Nisa: 42.

Selasa, 19 Juli 2011

Asuransi terbaik tanpa banding

Ada dua saudagar… salah satunya berasal dari Kuwait dan satunya lagi berasal dari Saudi Arabia. Mereka adalah dua sahabat karib yang dipersatukan oleh satu agama : Islam. diantara mereka sama-sama saling mencintai, sehingga mereka menjadi dua saudara yang masing-masing mencintai yang lainnya seperti mencintai diri sendiri. Mereka bersepakat untuk melakukan afiliasi dalam usaha bisnis yang bisa mempererat tali persaudaraan ini dan mengokohkan bangunannya. Allah telah membimbing mereka dalam bisnis yang legal, dan keduanya menjadi teladan yang baik bagi Ukhuwah Islamiyah yang tulus dan sejati. Bisnis mereka pun maju pesat dan menjadi besar. Banyak sekali proyek yang mereka garap, dan atas karunia Allah Ta’ala proyek-proyek itu meraup keuntungan yang sangat banyak.
Pada suatu hari, keduanya duduk berbincang-bincang mengenai berbagai hal diantara mereka. Saudagar yang berkebangsaan Kuwait berkata kepada rekannya, “Kenapa kita tidak mengasuransikan bisnis kita ini?”
Rekannya itupun menimpali ucapannya, “Buat apa kita mengasuransikan bisnis kita?”
Dia berkata “Kebanyakan komoditi kita datang melalui jalur laut dan tentu rentan terhadap insiden. Seandainya saja terjadi –semoga saja tidak- sesuatu yang tidak diinginkan terhadap komoditi kita, maka kita tidak akan mengalami kerugian apa pun, dan perusahaan asuransi akan mengganti semua kost biayanya. Lalu apa pendapatmu?”
Rekannya berkata kepadanya, “Tidak tahukah kamu bahwa kita sudah mengasuransikan seluruh komoditi kita.”
Dia bertanya, “Kepada siapa?”
Kepada Allah Ta’ala” Jawab rekannya.
Dia berkata, “Sebaik-baik Dzat yang dipasrahi. Akan tetapi sikap kehati-hatian itu harus”.
Rekannya kembali berkata, “Bukankah kita sudah mengeluarkan zakat bisnis kita?”
Dia menjawab, “Benar.”
Kalau begitu, janganlah kamu takut pada apa pun. Ini merupakan asuransi terhadap komoditi kita yang paling aman. Bertawakallah kepada Allah dan jangan panik”. Ujar rekannya kepadanya.
Dia pun berucap, “Aku beriman kepada Allah dan bertawakkal kepadaNya.”
Hari-hari berlalu sedang bisnis mereka semakin maju dan berkembang. Suatu hari, salah satu kapal kargo mengangkut banyak sekali barang komoditas. Di antaranya barang dagangan kedua saudagar ini. Sebelum sampai ke pelabuhan, kapal itu mengalami kecelakaan dan akibatnya kapal pun karam.
Seseorang memberi tahu dua saudagar itu, dan seketika mereka pun tergopoh-gopoh menuju pelabuhan. Di sana, keduanya berdiri mengamati aktifitas penyelamatan. Seorang dari mereka tetap tenang dan tak gundah hatinya, sedang yang lainnya terlihat sedikit panik dan gusar. Rekannya berkata kepadanya, “Kamu jangan panik, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Setelah tuntas semua prosesi penyelamatan. Apa yang terjadi? Sungguh amat mencengangkan. Hampir seluruh barang komoditi tenggelam dan rusak. Kecuali barang dagangan kedua rekan bisnis ini. Barang dagangan mereka bisa dikeluarkan dari kapal dalam kondisi baik, tak tersentuh apa pun. Rekannya berujar kepadanya, “bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa barang dagangan kita dijamin Dzat yang tak akan menyia-nyiakan semua titipan dan amanat.
Dia berkata, “Kamu benar, wahai sobatku”.
Demi Allah, kepercayaanku pada Allah tidak pernah pudar, dan aku pun tidak pernah merasa cemas dan panik. Aku percaya sepenuhnya bahwa Allah Ta’ala akan menyelamatkan barang dagangan kita. Hal itu karena kita rajin mengeluarkan zakat dengan penuh kerelaan dan keimanan, dan ini merupakan jaminan terbesar dan asuransi paling kuat.” Ujar rekannya kepadanya.
Dia pun berkata, “Dan aku juga demikian, meski aku merasa sedikit cemas”.
Akan tetapi, bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan bagaimana seluruh komoditi tenggelam kecuali komoditi kedua saudagar ini?
Kejadiannya adalah pada waktu semua barang komoditi diangkut ke atas kapal, maka barang dagangan kedua saudagar ini dikelilingi karung-karung berisi tepung dalam jumlah yang besar. Ketika kapal tenggelam dan air mulai masuk ke dalamnya, maka air itu pun merusak seluruh komoditi yang ada selain komoditi kedua saudagar ini. Air tersebut tidak sampai kepadanya karena terhambat dan terhalang oleh karung-karung yang berisi tepung tadi. Mengingat, pada saat air sampai kepada karung-karung yang berisi tepung itu, maka tepung itu sedikit larut lalu melahap air itu dan dia pun menjadi keras. Tepung itu menjadi seperti tembok yang membentengi komoditi tersebut sehingga -atas izin Allah- air pun tidak sampai menjangkaunya.
Kedua saudagar ini adalah dua insan yang beriman kepada Allah dengan tulus. Kepercayaannya kepada Allah sangat kuat, takkan pernah goyah selamanya. Keduanya senantiasa menunaikan hak Allah atas diri mereka dengan mengeluarkan zakat. Hal itu merupakan asuransi yang paling utama dan paling kuat. Maka, Allah pun melindungi harta mereka.
Allah berfirman yang artinya, “Dan tetapkanlah untuk kami di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman, ‘siksaKu akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmatKu untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf : 156).
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, yang artinya, : “Bentengilah harta kalian dengan zakat, obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah, dan hadapilah cobaan dengan do’a.” (HR. Al Baihaqi dan Thabrani, dishahihkan Syaikh Al Albani).
Sumber : Serial Kisah Teladan kumpulan Kisah-Kisah Nyata, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Qahthani. Cet. Darulhaq
Dikutip dari alsofwah.or.id



Senin, 18 Juli 2011

Asuransi Mobil

Pertanyaan:
Ustadz, saya seorang pemilik rental mobil, dalam membeli mobil saya mendapatkan asuransi dari mobil tersebut dalam satu paket pembelian. Dan setelah beberapa bulan kemudian, saya yang diwajibkan membayar asuransi tiap bulannya. Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah hukum asuransi kendaraan dalam Islam? Apa saja yang tidak boleh dan apa yang diperbolehkan?
2. Dalam kasus ini, karena ini 1 paket dengan pembelian mobil dan saya sudah terlanjur membayar. Apakah boleh kami mengklaim atau mengambil uang asuransi jika terjadi insiden kecelakaan mobil?
Jawaban:
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya hingga hari kiamat.
Asuransi dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah At-Ta’min. Di zaman sekarang, asuransi yang beredar di tengah masyarakat itu bentuknya bermacam-macam, di antaranya adalah at-ta’min at-tijari (asuransi bisnis atau asuransi komersial). Asuransi kendaraan berupa mobil atau selainnya termasuk dalam asuransi jenis ini.
Gambaran sistem asuransi ini adalah pihak nasabah membayar nominal tertentu kepada perusahaan/ lembaga asuransi tiap bulan atau tahun atau tiap order atau sesuai kesepakatan bersama dengan ketentuan bila terjadi kerusakan atau musibah, maka pihak lembaga asuransi menanggung seluruh biaya ganti rugi. Bila tidak terjadi sesuatu maka setoran terus berjalan dan menjadi milik lembaga asuransi.
Tujuan asuransi jenis ini adalah bisnis murni, karena memang didirikan dalam rangka mengeruk keuntungan. Ringkasnya, orang yang terbelit asuransi ini akan menghadapi pertaruhan dengan dua kemungkinan: untung atau rugi.
Hukum asuransi semacam ini dengan seluruh bentuknya adalah haram, baik asuransi jiwa, harta benda, mobil atau kendaraan lainnya, perdagangan, rumah, tanah, atau salah satu organ tubuh, baik asuransi terhadap kebakaran, pencurian maupun kecelakaan. Sebab, semuanya mengandung riba, perjudian, dan gharar (ketidakjelasan). Pendapat inilah yang merupakan kesepakatan mayoritas ulama di Majlis Al-Majma’ Al-Fiqhi yang diadakan di Makkah Al-Mukarramah dengan keputusan no. 5 tanggal 4 Rabiul Akhir 1397 H. Juga tertera dalam fatwa Darul Ifta’ di Mesir. Termasuk yang berpendapat haramnya asuransi jenis ini juga adalah Komite Tetap untuk Urusan Fatwa dan Pembahasan Ilmiah Kerajaan Saudi Arabia, dan Rabithah ‘Alam Islami, serta lembaga-lembaga keislaman yang lain, baik di dunia Arab, maupun internasional.
Berikut ini kami sebutkan beberapa argumentasi para ulama yang mengharamkan asuransi bisnis ini:
1. Akad asuransi bisnis termasuk akad jual beli yang bersifat spekulasi yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Sebab saat akad berlangsung, orang yang minta asuransi tidak dapat mengetahui jumlah uang yang harus ia setorkan dan jumlah klaim yang akan ia terima. Bisa saja ia menyetor sekali atau dua kali setoran, kemudian terjadi kecelakaan, sehingga ia berhak mengajukan klaim yang menjadi komitmen perusahaan asuransi. Dan mungkin juga sama sekali tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga orang yang meminta asuransi membayar seluruh setoran, tanpa mendapatkan apapun. Demikian juga, perusahaan asuransi tidak dapat menentukan jumlah klaim yang harus ia bayarkan dan jumlah setoran yang akan ia terima, bila dicermati dari setiap akad secara terpisah. Padahal, dalam hadits yang shahih telah disebutkan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas jual beli yang bersifat gharar.
2. Akad asuransi bisnis merupakan salah satu bentuk perjudian. Sebab, di dalamnya mengandung unsur untung-untungan dalam hal tukar-menukar harta benda, dan terdapat kerugian tanpa ada kesalahan atau tindakan apapun, dan padanya juga terdapat keuntungan tanpa ganti rugi atau dengan ganti rugi yang tidak sepadan. Karena nasabah kadang kala baru membayarkan beberapa setoran asuransinya, kemudian terjadilah kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menanggung seluruh biaya yang menjadi klaimnya. Dan bisa saja tidak terjadi kecelakaan, sehingga saat itu perusahaan berhasil mengeruk seluruh setoran nasabah tanpa mengeluarkan ganti rugi sedikitpun. Dan bila akad tersebut nyata mengandung unsur ketidakjelasan seperti itu, maka itulah yang dinamakan perjudian, dan masuk dalam keumuman larangan tentang perjudian yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, perjudian, berkurban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
3. Akad asuransi bisnis mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan) dan riba nasi’ah (penundaan), karena bila perusahaan asuransi membayar kepada klien, ahli waris, atau pihak yang mengambil untung darinya dengan mendapatkan uang lebih banyak dari uang yang ia bayarkan, maka itu adalah riba fadhl. Dan bila perusahaan asuransi memberikan uang kepada kliennya sejumlah yang dibayarkannya setelah berlalu tenggang waktu dari saat terjadi akad, maka itu adalah riba nasi’ah saja. Dan kedua riba tersebut diharamkan menurut dalil syar’i dan ijma’ (kesepakatan ulama).
4. Akad asuransi bisnis termasuk taruhan yang diharamkan. Sebab, kedua belah pihak mengandung unsur ketidakpastian, untung-untungan, dan mengundi nasib. Padahal, syariat tidak membolehkan taruhan, kecuali demi membela agama Islam dan meninggikan benderanya dengan hujjah dan senjata. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah membatasi rukhshah (keringanan hukum) taruhan harta hanya pada tiga hal, sebagaimana yang tertera dalam sabda beliau, “Tidak boleh bertaruh dalam perlombaan kecuali dalam (lomba) adu cepat menunggang unta, melempar tombak, dan pacuan kuda.” Sedangkan asuransi tidaklah termasuk hal-hal di atas dan tidak menyerupainya sama sekali. Maka, hukumnya adalah haram.
5. Akad asuransi bisnis mengandung unsur mengambil harta orang lain tanpa ganti. Sedangkan mengambil harta orang lain tanpa ganti dalam akad jual beli termasuk haram. Hal ini terkandung dalam keumuman firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan cara-cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagan dengan asas suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29).
6. Pada akad asuransi bisnis terdapat pengharusan sesuatu yang tidak diwajibkan dalam syariat, karena perusahaan asuransi tidak pernah melakukan suatu tindakan yang merugikan, tidak juga menjadi penyebab terjadinya kerugian. Perusahaan asuransi hanyalah melakukan akad bersama klien untuk menjamin kerugian bila hal itu terjadi, dengan imbalan setoran yang dibayarkan oleh klien kepadanya, sedangkan perusahaan asuransi tidak pernah melakukan pekerjaan apapun untuk pihak yang meminta asuransi. Maka, tindakan ini adalah haram. (Lihat kitab Fiqh wa Fatawa al-Buyu’ hal. 227 dan seterusnya).
Adapun berkaitan dengan orang yang terlanjur terlibat dalam akad asuransi bisnis, maka di sini ada beberapa keadaan:
a. Bila ia tidak tahu hukumnya menurut syariat, maka ia tidak berdosa, baik ketika ia menyetorkan atau menerima uang ganti rugi dari perusahaan asuransi tersebut. Namun bila ia telah tahu hukumnya, maka haram baginya untuk menyetorkan atau menerima uang ganti rugi dari perusahaan tersebut, karena termasuk dalam katagori tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil yang dilarang Allah. (lihat QS. Al-Maidah: 2, dan QS. An-Nisa’: 29).
b. Bila ia telah mengetahui keharamannya, namun ia dipaksa atau diwajibkan oleh pemerintah dan tidak ada pilihan lain kecuali melakukannya, maka menurut Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa yang demikian ini masuk dalam kategori pajak (yang dipungut oleh pemerintah secara paksa) yang pada dasarnya tidak disyariatkan. Dan ia lepas tanggung jawab di hadapan Allah dan tidak berhak mendapat dosa dan hukuman. (Lihat Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 415).
c. Bila ia telah mengetahui hukumnya haram, dan tetap bermuamalah dengan perusahaan asuransi tersebut dengan pilihannya sendiri tanpa ada paksaan, maka ia berdosa dan wajib bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha. Syaikh Al-Albani berkata, “Adapun asuransi atas pilihan sendiri yang dia usahakan untuk meraihnya maka tidak boleh (haram) dalam Islam, karena masuk dalam kategori judi.” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 363)
Dan bila ia telah menerima uang ganti rugi dari pihak perusahaan asuransi tersebut, maka ia harus mensedekahkan keuntungannya itu kepada fakir miskin atau menyalurkannya kepada hal-hal yang mengandung kemaslahatan umum bagi kaum muslimin, dan ia pun wajib keluar atau tidak boleh bermuamalah dengan perusahaan asuransi tersebut.
Ketika ditanya tentang orang yang terlanjur menyetor atau menerima uang ganti rugi dari perusahaan asuransi, Komite Tetap untuk Urusan Fatwa dan Pembahasan Ilmiah Kerajaan Saudi Arabia menyatakan, “Pihak nasabah boleh mengambil nominal uang yang pernah dia setorkan ke perusahaan asuransi. Sedangkan sisanya dia sedekahkan kepada fakir miskin atau dia belanjakan untuk sisi-sisi kemaslahatan lain dan dia harus keluar dari perusahaan asuransi.”
Syaikh Abdurrahman Al-‘Adni berkata, “Bila para pelaku usaha dan hartawan dipaksa untuk bermuamalah dengan perusahaan asuransi oleh pihak-pihak yang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi atau menolak permintaan, sehingga mereka menyetor dan bermuamalah dengan perusahaan tersebut, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang memaksa. Namun ketika terjadi musibah mereka tidak boleh menerima, kecuali nominal yang telah mereka setorkan.”
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Jika benar maka itu datangnya dari Allah semata. Dan bila ada kekeliruan maka itu dari diri kami pribadi dan dari syetan.Wallahu A’lam bish-Shawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Wasitho, Lc (Staf Ahli Syariah Majalah Pengusaha Muslim)