Minggu, 03 Juli 2011

Memahami Akad Riba


Definisi Riba

Ditinjau dari ilmu bahasa arab, riba bermakna: tambahan, tumbuh, dan menjadi tinggi. [1]

Firman Allah Ta'ala berikut merupakan contoh nyata akan penggunaan kata riba dalam pengertian semacam ini:

وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاء اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ

"Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi tinggi (suburlah) dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah" (Qs. Al Hajj: 5)

Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat ini, berkata: "Bila Allah telah menurunkan hujan ke bumi, maka bumi bergerak dengan menumbuhkan tetumbuhan dan tanah yang sebelumnya mati (gersang) menjadi hidup, lalu batangnya menjulang tinggi dari permukaan tanah. Dan dengan hujan, Allah menumbuhkan berbagai rupa dan macam buah-buahan, tanaman, tumbuh-tumbuhan dengan beraneka ragam warna, rasa, aroma, bentuk dan kegunaannya." [2]

Adapun dalam pemahaman syari'at, maka para ulama' berbeda-beda ungkapannya dalam mendefinisikannya, akan tetapi maksud dan maknanya tidak jauh berbeda. Diantara definisi yang saya rasa cukup mewakili berbagai definisi yang ada ialah:

"Suatu akad/transaksi atas barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari'at atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi obyek akad atau salah satunya." [3]

Ada juga yang mendefinisikannya sebagai berikut:

"Penambahan pada komoditi/barang dagangan tertentu." [4]

Hukum Riba

Tidak asing lagi bahwa riba adalah salah satu hal yang diharamkan dalam syari'at Islam. Sangat banyak dalil-dalil yang menunjukkan akan keharaman riba dan berbagai sarana terjadinya riba.

Firman Allah Ta'ala berikut adalah salah satu dalil yang nyata-nyata menegaskan akan keharaman praktek riba':

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Qs. Ali Imran: 130)

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata: "Allah Ta'ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari praktek dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu, di zaman jahiliyyah, bila piutang telah jatuh tempo mereka berkata kepada yang berhutang: "Engkau melunasi hutangmu atau membayar riba?" Bila ia tidak melunasinya, maka pemberi hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali lipat. Dan pada ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di akhirat." [5]

"(Dosa) riba itu memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri." (Riwayat At Thobrany dan lainnya serta dishahihkan oleh Al Albany)

Saudaraku, lelaki jahat nan bejat model apakah yang tega menzinahi ibunya? Menurut anda, adakah manusia yang lebih keji dibanding lelaki yang tega menzinahi wanita yang telah melahirkannya?

Walau begitu keji dan kotor perbuatan lelaki itu, akan tetapi ternyata dosanya hanyalah setaraf dengan dosa riba yang paling ringan. Setelah mengetahui betapa besar dosa riba, masihkah anda menganggap bahwa dosa riba adalah remeh?

Macam-Macam Riba

Para ulama' menyebutkan bahwa riba secara umum terbagi menjadi dua macam:

1. Riba Nasi'ah/Penundaan (Riba Jahiliyyah)

Yaitu riba (tambahan) yang terjadi akibat pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong ke dalam komoditi riba, baik satu jenis atau berlainan jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya. [6]

Riba jenis ini dapat terjadi pada akad perniagaan, sebagaimana juga dapat terjadi pada akad hutang-piutang.

Contoh riba nasi'ah dalam perniagaan:
Misalnya menukarkan emas bagus/baru dengan emas lama yang sama beratnya, akan tetapi emas yang bagus hanya dapat diterimakan setelah satu bulan dari waktu transaksi dilaksanakan.

Misal lain: Bila A menukarkan uang kertas pecahan Rp 100.000,- dengan pecahan Rp. 1.000,- kepada B, akan tetapi karena B pada waktu akad penukaran hanya membawa 50 lembar uang pecahan Rp. 1.000,- maka sisanya baru dapat ia serahkan keesokan hari, perbuatan mereka berdua ini disebut riba nasi'ah.

Contoh riba nasi'ah dalam akad hutang-piutang:
Misal kasus riba dalam akad hutang piutang: Bila A berhutang kepada B uang sejumlah Rp. 1.000.000,- dengan perjanjian: A berkewajiban melunasi piutangnya ini setelah satu bulan dari waktu akad piutang. Dan ketika jatuh tempo, ternyata A belum mampu melunasinya, maka B bersedia menunda tagihannya dengan syarat A memberikan tambahan/bunga bagi piutangnya –misalnya- setiap bulan 5 % dari jumlah piutangnya. Atau ketika akad hutang-piutang dilangsungkan, salah satu dari mereka telah mensyaratkan agar A memberikan bunga/tambahan ketika telah jatuh tempo.

Al Mujahid rahimahullah berkata:

"Dahulu orang-orang jahiliyyah bila ada orang yang berhutang kepada seseorang (dan telah jatuh tempo dan belum mampu melunasinya) ia berkata: Engkau akan aku beri demikian dan demikian, dengan syarat engkau menunda tagihanmu, maka pemberi piutang-pun menunda tagihannya." [7]

Abu Bakar Al Jashash rahimahullah berkata: "Dan gambaran riba yang dahulu dikenal dan dijalankan oleh orang-orang arab ialah: menghutangkan uang dirham atau dinar hingga tempo tertentu dengan mensyaratkan bungan/tambahan di atas jumlah uang yang terhutang sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak, ...dan gambaran transaksi riba yang biasa mereka lakukan ialah seperti yang saya sebutkan, yaitu menghutangkan uang dirham atau dinar dalam tempo waktu tertentu dengan mensyaratkan tambahan/bunga." [8]

Inilah riba yang ada semenjak zaman jahiliyyah, bahkan telah dilakukan oleh umat manusia sejak sebelum datang Islam, sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala berikut:

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللّهِ كَثِيراً {160} وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih." (Qs. An Nisa': 160-161)

Riba jenis inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari khutbah beliau di Padang Arafah, ketika beliau menunaikan haji Wada':

"Dan riba jahiliyyah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapuskan ialah riba kami (kabilah kami), yaitu riba Abbas bin Abdul Mutthalib, sesungguhnya ribanya dihapuskan semua." (Riwayat Imam Muslim)

Anda telah mengetahui bahwa akad hutang-piutang termasuk salah satu akad yang bertujuan untuk menolong dan memberikan uluran tangan kepada orang yang membutuhkan bantuan, sehingga tidak   dibenarkan bagi siapapun untuk mencari keuntungan dalam bentuk apapun dari akad macam ini.

Perilaku rentenir yang mengesankan sebagai penolong, akan tetapi pada kenyataannya ia berdusta, ia tidaklah berpikir kecuali keuntungannya sendiri. Oleh karena itu azab pemakan riba di akhirat setimpal dan serupa dengan kejahatan yang telah ia lakukan di dunia.

Imam Bukhary meriwayatkan bahwa azab pemakan riba ialah: "Ia akan berenang-renang di sungai darah, sedangkan di tepi sungai ada seseorang yang di hadapannya terdapat bebatuan, setiap kali orang yang berenang dalam sungai darah hendak keluar darinya, lelaki yang berada di pinggir sungai tersebut segera melemparkan bebatuan ke mulut orang tersebut, sehingga ia terdorong kembali ke tengah sungai, dan demikian itu seterusnya." [9]

2. Riba Fadhl (Riba Penambahan)/Riba Perniagaan

Sahabat Ubadah bin Shamit radhiallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum)  dijual dengan sya'ir, korma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) sama dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba." (HRS Muslim)

Para ulama' telah menyepakati bahwa keenam komoditi tersebut dalam hadits di atas adalah komoditi riba atau berlaku padanya hukum riba perniagaan (riba fadhl). Sehingga tidak boleh diperjual-belikan dengan cara barter (tukar-menukar barang) melainkan dengan ketentuan yang telah disebutkan pada hadits di atas, yaitu:

Pertama: Bila barter dilakukan antara dua komoditi yang sama, misalnya: korma dengan korma, emas dengan emas (dinar dengan dinar) atau gandum dengan gandum, maka akad barter tersebut harus memenuhi dua persyaratan:

1.    Transaksi dilakukan dengan cara kontan, sehingga penyerahan barang yang dibarterkan dilakukan pada saat yang sama dengan waktu akad transaksi, dan tidak boleh ditunda seusai akad atau setelah kedua belah pihak berpisah, walau hanya sejenak.

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقِ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ وَإِنْ اسْتَنْظَرَكَ إِلَى أَنْ يَلِجَ بَيْتَهُ فَلَا تُنْظِرْهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ وَالرَّمَاءُ هُوَ الرِّبَا رواه مالك والبيهقي

"Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan emas, salah satunya tidak diserahkan secara kontan sedangkan yang lainnya diserahkan secara kontan. Dan bila ia meminta agar engkau menantinya sejenak hingga ia masuk terlebih dahulu ke dalam rumahnya sebelum ia menyerah barangnya, maka jangan sudi untuk menantinya. Sesungguhnya aku kawatir kalian melampaui batas kehalalan, dan yang dimaksud dengan melampaui batas kehalalan ialah riba." (Riwayat Imam Malik dan Al Baihaqi)

2.    Barang yang menjadi obyek barter sama jumlah dan takarannya, misalnya satu kilo korma ditukar dengan satu kilo korma, tidak ada perbedaan dalam hal takaran atau timbangan, walau terjadi perbedaan dalam mutu antara keduanya.

Misal lain: Seseorang memiliki 10 gram perhiasaan emas yang telah lama atau ia pakai emas 24 karat, dan ia menginginkan untuk menukarnya dengan perhiasan emas yang baru atau emas 21 karat. Bila akad dilakukan dengan cara barter (tukar-menukar), maka ia harus menukarnya dengan perhiasan emas seberat 10 gram pula, tanpa harus membayar tambahan. Bila ia membayar tambahan, atau menukarnya dengan perhiasaan seberat 9 gram, maka ia telah terjatuh dalam riba perniagaan, dan itu adalah haram hukumnya.

"Dari sahabat Abu Sa'id Al Khudri radhiallahu 'anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda: "Janganlah engkau menjual/membarterkan emas dengan emas, melainkan sama-sama (beratnya) dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau membarterkan perak dengan perak malainkan sama-sama (beratnya), dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau menjual sebagian darinya dalam keadaan tidak ada di tempat berlangsungnya akad perniagaan dengan emas atau perak yang telah hadir di tempat berlangsungnya akad perniagaan." (Muttafaqun 'alaih)

Pada hadits ini dengan tegas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dua persyaratan di atas, yaitu barter dengan cara kontan dan dalam timbangan yang sama.

Solusinya: Orang yang hendak menukarkan perhiasan emasnya yang telah lama ia pakai dengan perhiasan yang baru, agar ia tidak terjatuh kedalam riba, adalah ia terlebih dahulu menjual perhiasaan lamanya dengan uang, dan kemudian ia membeli perhiasaan baru yang ia kehendaki, dengan hasil penjualan tersebut, baik dengan harga yang lebih mahal atau lebih murah. Hal ini sebagaimana diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kisah berikut:

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar, kemudian pada suatu saat ia datang menemui beliau dengan membawa korma dengan mutu terbaik, naka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: "Apakah seluruh korma daerah Khaibar demikian ini?" ia menjawab: Tidak, sungguh demi Allah ya Rasulullah, sesungguhnya kami membeli satu takar dari korma ini  dengan dua takar (korma lainnya), dan dua takar dengan tiga takar, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah engkau lakukan, juallah korma yang biasa dengan uang dirham, kemudian belilah dengan uang dirham tersebut korma dengan mutu terbaik tersebut."

Dan pada riwayat lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aduh, (itulah) riba yang sebanarnya, janganlah engkau lakukan, akan tetapi bila engkau hendak membeli korma (dengan mutu baik) maka juallah korma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian belilah dengan (uang) hasil penjualannya."
(Muttafaqun 'alaih)

Kedua: Bila barter dilakukan antara dua barang yang berbeda jenis, misalnya gandum dibarterkan dengan garam, emas dengan perak, maka boleh untuk melebihkan salah satu barang dalam hal timbangan, akan tetapi pembayaran/penyerah-terimaan barang tetap harus dilakukan dengan cara kontan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum)  dijual dengan sya'ir, korma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, sama dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Bila macam/jenis barang berbeda, maka silahkan engkau membarterkannya dengan cara sesuka hatimu, bila hal itu dilakukan dengan cara kontan." (HRS Muslim)

Hukum Barter Selain Keenam Komoditi di Atas

Ulama' ahli fiqih telah berbeda pendapat apakah hukum riba fadhl hanya berlaku pada keenam komoditi yang dengan nyata-nyata disebutkan pada hadits di atas, atau juga berlaku pada komoditi yang serupa dengannya.

PENDAPAT PERTAMA:

Para ulama' ahlu zhohir (Ibnu Hazem dan lainnya) berpendapat bahwa hukum riba perniagaan hanya berlaku pada keenam komoditi yang disebutkan pada hadits di atas, adapun selainnya, maka tidak berlaku padanya hukum riba perniagaan. Berdasarkan ini, mereka berpendapat bahwa selain keenam komoditi tersebut boleh untuk dibarterkan dengan cara apapun, baik dengan pembayaran kontan atau dihutang, dengan melebihkan salah satu barang dalam hal timbangan atau dengan timbangan yang sama.

Ibnu Hazem dan yang sependapat dengannya berdalilkan dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Tiada riba selain riba nasi'ah (riba hutan- piutang)." (Muttafaqun 'alaih) [10]

Akan tetapi jumhur ulama' menafsirkan hadits bahwa yang dimaksudkan dengan "tiada riba" ialah tiada riba yang lebih berat dosanya dibanding riba nasi'ah. [11]

PENDAPAT KEDUA:

Adapun jumhur ulama', diantaranya ulama' keempat mazhab berpendapat bahwa hukum riba perniagaan berlaku pula pada komoditi lain yang semakna dengan keenam komoditi tersebut.

Walau demikian, mereka berbeda pendapat tentang makna penyatu antara keenam komoditi tersebut dengan komoditi lainnya:

Pendapat Pertama: Makna (alasan) berlakunya riba pada emas dan perak ialah karena keduanya ditimbang, sedangkan alasan pada keempat komoditi lainnya ialah karena ditakar. Dengan demikian, setiap komoditi yang diperjual belikan dengan di timbang atau ditakar, maka berlaku padanya hukum riba perniagaan. Pendapat ini merupakan mazhab ulama' Hanafi dan Hambaly. [12]

Pendapat Kedua: Alasan berlakunya riba perniagaan pada emas dan perak ialah karena keduanya adalah alat untuk berjual-beli, sedangkan pada keempat komoditi lainnya ialah karena komoditi tersebut merupakan makanan pokok yang dapat disimpan. Dengan demikian, setiap yang menjadi alat untuk berjual-beli, baik itu terbuat dari emas dan perak atau selainnya, maka berlaku padanya hukum riba perniagaan. Demikian juga halnya setiap makanan pokok yang dapat disimpan, seperti beras, jagung, sagu dan lainnya berlaku padanya hukum riba perniagaan, dengan dasar qiyas kepada keenam komoditi yang disebutkan dalam hadits di atas. Ini adalah pendapat ulama' mazhab Maliki. [13]

Pendapat Ketiga: Alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah alat untuk jual beli, sedangkan pada keempat komoditi lainnya ialah karena kempat komoditi tersebut merupakan bahan makanan. Dengan demikian setiap yang dimakan berlaku padanya hukum riba perniagaan, baik sebagaimakanan pokok atau tidak. Dan ini adalah pendapat ulama' mazhab Syafi'i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal. [14]

Pendapat Keempat: Alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah alat untuk jual beli, sedangkan pada keempat komoditi lainnya ialah karena kempat komoditi tersebut merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Dengan demikian bahan makanan yang diperjual belikan dengan cara dihitung tidak berlaku padanya hukum riba perniagaan. Dan ini merupakan pendapat ketiga yang diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal, dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah. [15]

Pendapat Kelima: Alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah emas dan perak [16], baik sebagai alat untuk jual beli[17] atau tidak, sedangkan pada keempat komoditi lainnya ialah karena kempat komoditi tersebut merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin. [18]

Kelima pendapat diatas memiliki alasan dan dalilnya masing-masing, dan para ulama' ahli fiqih telah membahasnya dengan panjang lebar lengkap dengan diskusi ilmiyyah yang telah mereka abadikan dalam karya-kaya mereka. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya tidak akan menyebutkan dalil masing-masng pendapat. Akan tetapi saya hanya akan menyebutkan dalil pendapat yang saya anggap paling kuat, yaitu pendapat kelima.

Adapun dalil bahwa alasan berlakunya hukum riba perniagaan pada emas dan perak yaitu karena keduanya adalah emas dan perak, baik sebagai alat jual beli atau tidak, adalah hadits berikut:

Dari Fudhalah bin Ubaid radhiallallahu 'anhu, ia mengisahkan: Pada saat peperangan Khaibar, aku membeli kalung seharga dua belas dinar, padanya terdapat emas dan permata, kemudian aku pisahkan, ternyata  aku berhasil mengumpulkan lebih dari dua belas dinar, maka aku sampaikan kejadian itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: "Kalung tersebut tidak boleh diperjual-belikan hingga dipisah-pisahkan."

Pada riwayat lain disebutkan: Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya: "Emas dengan emas harus sama dalam timbangannya." (Riwayat Muslim)

Pada kisah ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan hukum riba perniagaan pada penjualan emas yang ada pada kalung tersebut, padahal kalung adalah perhiasaan dan bukan alat untuk jual beli.

Pemahaman ini lebih dikuatkan oleh hadits:

"Dari sahabat 'Ubadah bin As Shamit radhiallallahu 'anhu, ia menuturkan: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang penjualan emas dengan emas baik berupa batangan atau berupa mata uang dinar melainkan dengan cara sama timbangannya, dan perang dengan perak baik berupa batangan atau telah menjadi mata uang dirham melainkan dengan cara sama timbangannya. Dan beliau juga menyebutkan perihal  penjualan gandum dengan gandum, korma dengan korma, dan garam dengan garam dengan cara takarannya sama. Barang siap ayang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba." (Riwayat An Nasa'i, At Thohawi, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albany)

Adapun dalil bahwa alasan berlakunya hukum riba perniagaan pada keempat komoditi lainnya yaitu karena sebagai bahan makanan yang ditimbang atau ditakar adalah penggabungan antara berbagai dalil yang berkaitan dengan permasalahan ini, diantaranya hadits 'Ubadah bin As Shamit radhiallallahu 'anhu di atas dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

"Bahan makanan (dijual) dengan bahan makanan  harus sama dengan sama." (Riwayat Muslim)

Dan juga sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya'ir, korma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) sama dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba." (HRS Muslim )

Dengan menggabungkan beberapa dalil di atas dan juga dalil-dalil lainnya yang tidak disebutkan disini, dapat disimpulkan bahwa keberadaan keempat komoditi tersebut sebagai bahan makanan yang ditakar atau ditimbang merupakan alasan berlakunya hukum riba perniagaan padanya. Dengan demikian setiap bahan makanan yang diperjual belikan dengan cara ditimbang atau ditakar, maka berlaku padanya hukum riba perniagaan. Wallahu a'lam bisshowab. [19]

Hukum Uang Kertas

Ulama' ahli fiqih berbeda persepsi dan sikap menghadapi uang kertas setelah masyarakat secara umum menggunakannya sebagai alat jual beli, berikut saya akan menyebutkan secara global pendapat mereka:

Pendapat Pertama: Uang kertas adalah surat piutang yang dikeluarkan oleh suatu negara, atau instansi yang ditunjuk. Diantara ulama' yang berpendapat dengan pendapat ini ialah syeikh Muhammad Amin As Syanqithy rahimahullah, Ahmad Husaini dan penulis kitab Al Fiqhu 'ala Al Mazahib Al Arba'ah. [20]

Pendapat ini lemah atau kurang kuat, dikarenakan bila pendapat ini benar-benar diterapkan, berarti tidak dibenarkan membeli sesuatu yang belum ada atau yang disebut dengan pemesanan atau salam, karena menurut pendapat ini akad tersebut menjadi jual-beli piutang dengan dibayar piutang, dan itu dilarang dalam syari'at Islam.

"Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: Bahwasannnya beliau melarang jual-beli piutang dengan dibayar piutang." (Riwayat Al Hakim, Ad Daraquthny dan didhoifkan oleh Al Albany)

Walaupun hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama', akan tetapi larang jual-beli piutang dengan pembayaran dihutang telah disepakati oleh para ulama'. [21]

Pendapat Kedua: Uang kertas adalah salah satu bentuk barang dagangan. Pendapat ini dianut oleh banyak ulama' mazhab Maliky, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Al Hawi 'Ala As Showy. [22]  Dan diantara yang menguatkan pendapat ini ialah syeikh Abdurrahman As Sa'dy, rahimahullah. [23]

Sebagaimana pendapat sebelumnya, pendapat ini ketika diterapkan dan dicermati dengan seksama akan nampak berbagai sisi kelemahannya, diantaranya ialah: pendapat ini akan membuka lebar-lebar berbagai praktek riba dan menggugurkan kewajiban zakat dari kebanyakan umat manusia. Hal ini dikarenakan uang yang berlaku pada zaman sekarang terbuat dari kertas, sehingga -konsekuensinya- tidak dapat diqiyaskan dengan keenam komoditi riba di atas. Sebagaimana halnya zakat mal tidak dapat dipungut dari orang yang kekayaannya terwujud dalam uang kertas, berapapun jumlahnya, karena kertas bukan termasuk harta yang dikenai zakat, bila tidak dijadikan sebagai barang perniagaan.

Pendapat Ketiga: Uang kertas disamakan dengan fulus [24], dan pendapat ini walaupun sekilat terlihat kuat, akan tetapi perbedaan fungsinya dengan uang kerta yang berlaku pada zaman sekarang menjadikannya pendapat yang lemah. Sebab fulus digunakan untuk membeli barang-barang yang sepele, berbeda halnya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang.

Pendapat ketiga ini tidak jauh beda dengan dua pendapat sebelumnya, yaitu memiliki banyak kelemahan, diantaranya: Pendapat ini tidak selaras dengan kenyataan, sebab uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini berfungsi sebagai alat jual-beli,bukan hanya dalam hal-hal yang remeh dan murah, akan tetapi dalam segala hal, sampaipun barang yang termahal dapat dibeli dengannya. Tentu fenomena ini menyelisihi fenomena fulus pada zaman dahulu, yang hanya digunakan sebagai alat jual-beli barang-barang yang remeh.

Pendapat Keempat: Uang kertas merupakan pengganti uang emas dan perak. Dengan demikian, uang kertas yang beredar di dunia sekarang hanya terbagi menjadi dua jenis, yaitu uang kertas sebagai pengganti emas atau perak. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama' fiqih pada zaman sekarang.

Walau demikian, pendapat ini tidak sejalan dengan kenyataan, sebab uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini tidak sebagai pengganti emas dan perak, dan juga tidak ada jaminannya dalam wujud emas atau perak. Uang kertas berlaku hanya semata-mata diberlakukan oleh pemerintah setempat, bukan karena ada jaminannya berupa emas atau perak.

Ditambah lagi, pendapat ini tidak mungkin untuk diterapkan, terutama pada saat kita hendak tukar menukar mata uang, karena -menurut pendapat ini- kita harus terlebih dahulu menyelidiki, apakah asal-usul mata uang yang hendak kita tukarkan, bila sama-sama berasalkan dari uang perak, maka tidak dibenarkan untuk melebihkan nilai tukar salah satunya, dan bila berbeda asal-usulnya, maka boleh membedakan nilai tukarnya, walau harus dengan cara kontan.

Pendapat Kelima: Uang kertas adalah mata uang tersendiri sebagaimana halnya uang emas dan perak, sehingga uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini berbeda-beda jenisnya selaras dengan perbedaan negara yang mengeluarkannya.

Pendapat kelima inilah yang terbukti selaras dengan fakta dan paling mungkin untuk diterapkan pada kahidupan umat manusia sekarang ini. [25]

Kiat-Kiat Mengenal Riba

Kiat Pertama: Setiap Keuntungan Dari Piutang Adalah Riba

Dalam mengarungi samudra kehidupan dunia, Islam tidak mengizinkan umat manusia untuk bersikap egois, hanya memikirkan kepentingan sendiri. Karenanya, walaupun Islam mengizinkan anda untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Islam juga mengajarkan agar anda bersikap sosial, dan turut serta mengupayakan sebagian kemaslahatan bagi saudara anda, dengan tanpa pamrih.

"Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya." (HR Muslim)

Dalam hal hutang piutang, Allah Ta'ala berfirman:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُم تَعْلَمُون

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)

Ucapan senada juga diutarakan oleh  Ibnu Taimiyyah, "Pada asalnya tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Bila tidak, maka sudah barang tentu orang yang dalam kelapangan tidak mungkin rela untuk membeli barang seharga 1000 dengan harga 1200 dengan pembayaran dihutang, bila ia benar-benar sedang tidak membutuhkan uang 1000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang melebihi harga semestinya hanyalah orang yang sedang dalam kesusahan. Sehingga perbedaan harga kredit dengan kontan tersebut merupakan tindak kelaliman kepada orang yang sedang mengalami kesusahan... dan Riba benar-benar terwujud padanya tindak kelaliman kepada orang yang sedang kesusahan. Oleh karenanya, riba sebagai lawan dari sedekah. Hal ini karena Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, hingga mereka menyantuni orang-orang fakir karena kemaslahatan orang kaya dan juga fakir dalam urusan agama dan dunia tidak akan terwujud dengan sempurna, melainkan dengan cara tersebut." [26]

Dikarenakan alasan yang sangat mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya para ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:

"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba." [27]

Muhammad Nawawi Al Bantaani berkata, "Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi piutang misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:

"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba. [28]

Maksudnya setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung." [29]

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap keuntungan dalam hutang piutang, baik berupa materi atau jasa atau yang lainnya adalah haram; karena itu semua adalah riba.

Betapa indahnya syariat Islam dan betapa mulianya akhlak seseorang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Allah. Jika beranjak dari hati yang jernih dan obyektif kita mau merenungkan syariat Islam yang berkaitan dengan hutang piutang ini, niscaya kita akan sampai pada keyakinan bahwa syariat ini adalah syariat yang benar-benar datang dari Allah ta'ala.

Kiat Kedua: Mengenal Perbedaan Piutang Dari Tabungan (Wadi'ah)

Permasalahan ini harus anda kuasai dan senantiasa anda ingat agar tidak terkecoh dengan perubahan nama atau sebutan riba. Masyarakat di belahan bumi manapun, pada zaman ini telah mengubah nama riba menjadi faedah atau bunga, dan mengubah nama piutang menjadi tabungan atau wadi'ah.

Saudaraku! ketahuilah bahwa hakikat piutang (al-Qardhu) adalah menyerahkan sebagian harta kepada orang yang akan menggunakannya dan kemudian ia berkewajiban mengembalikan gantinya [30]

Adapun akad tabungan atau wadi'ah adalah menyerahkan harta kepada orang yang merawatkannya/menjagakannya/menyimpankannya. [31]

Agar perbedaan antara wadi'ah (titipan) dengan dain (piutang) menjadi jelas, maka cermatilah perbedaan hukum antara keduanya dalam tabel berikut:
Perbedaan Antara Piutang dan Tabungan
Saudaraku, coba anda bandingkan tabungan di perbankan dengan wadi'ah (titipan) yang ada pada tabel di atas, niscaya anda dapatkan banyak perbedaan.

Tabungan yang ada pada perbankan lebih sesuai dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank bebas memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Keuntungan serta kerugiannyapun sepenuhnya menjadi milik dan tanggung jawab operator perbankan.

Dengan demikian, sebenarnya wadi'ah/tabungan yang ada di perbankan adalah piutang, karenanya berlaku pula padanya berbagai hukum hutang piutang, dan bukan hukum wadi'ah/titipan.

Dengan memahami dua macam akad ini, serta perbedaan antara keduanya, jelaslah bagi anda bahwa tabungan atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan al wadi'ah atau al iidaa' pada hakikatnya bukanlah wadi'ah atau al idaa' atau tabungan, akan tetapi sebenarnya adalah hutang piutang yang diterima oleh pihak bank dari nasabahnya.

Kiat Ketiga: Mengenal "Persyaratan Tertulis dan Tidak Tertulis."

Dalam menjalankan berbagai akad, anda seringkali mempersyaratkan berbagai hal. Dan bila anda mencermati berbagai persyaratan yang biasa terjadi dalam perniagaan, niscaya anda dapat membaginya ke dalam jenis persyaratan:
  1. Persyaratan yang dituangkan dengan tegas secara lisan atau tulisan dalam akad.
  2. Persyaratan yang tidak dituangkan secara tulisan atau lisan dalam akad, akan tetapi persyaratan itu telah diketahui dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat [34].
Persyaratan jenis kedua inilah yang dimaksudkan oleh para ulama' ahli fiqih dari kaidah,

"Sesuatu yang telah diketahui secara bersama, bagaikan hal yang telah ditegaskan dalam persyaratan."

Sebagai contoh bagi persyaratan jenis kedua, bila suatu masyarakat memiliki tradisi bahwa pada jual-beli mebel dan yang serupa, penjual berkewajiban mengantarkan mebel yang telah dibeli ke rumah pembeli, tanpa tambahan biaya. Tradisi ini memiliki kekuatan hukum, sehingga harus dipenuhi, walaupun ketika akad pembelian kedua belah pihak tidak menyinggung sama sekali servis antar ini.

Bila demikian adanya maka setiap faedah atau tambahan yang dipersyaratkan dari suatu piutang, baik dipersyaratkan secara tertulis atau tidak, akan tetapi telah menjadi tradisi pelaku akad, maka semuanya dikategorikan sebagai riba.

Misalnya seseorang yang telah dikenal bahwa ia tidak sudi untuk menghutangkan uangnya kepada orang lain, kecuali bila penghutang/debitur memberikan bunga 10%, maka kebiasaannya tersebut telah menjadi persyaratan yang mempengaruhi hukum akad hutang-piutangnya.

Oleh karena itu tatkala praktek riba telah merajalela di negeri Irak, sahabat Abdullah bin Salam radhiallahu 'anhu berpesan kepada Abu Burdah untuk tidak menerima hadiah yang diberikan oleh penghutang/debitur:

Dari Abu Burdah, ia mengisahkan: "Aku tiba di Madinah, lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam, maka beliau berkata (kepadaku): 'Mari singgah ke rumahku, dan akan aku hidangkan untukmu minuman di bejana yang pernah digunakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk minum, dan engkau dapat menunaikan sholat di tempat yang pernah beliau gunakan untuk shalat.' Maka akupun pergi bersamanya. Lalu ia memberiku minuman dari gandum (sawiq), dan menghidangkan untukku kurma, dan aku menunaikan sholat di tempat ia sholat (musholla dalam rumah-pen). Selanjutnya beliau berpesan kepadaku: 'Sesungguhnya engkau tinggal di suatu negeri yang padanya praktek riba merajalela, dan sesungguhnya di antara pintu-pintu riba ialah: Seseorang dari kalian memberikan piutang hingga tempo tertentu, dan bila telah jatuh tempo, penghutang datang dengan uang yang ia hutang sambil membawa serta keranjang yang berisikan hadiah, maka hendaknya engkau menghindari keranjang beserta isinya itu.'" (HR Bukhari dan al-Baihaqi)

Saudaraku, coba cermati praktek perbankan yang ada di masyarakat. Setiap nasabah yang menabungkan dananya di bank syari'ah atau lainnya berkeinginan mendapatkan bagi hasil. Mereka  tidak rela bila dananya tidak mendapatkan tambahan sama sekali, apalagi terkurangi karena operator perbankan merugi dalam usahanya.

Dengan demikian, berdasarkan kaidah ini, -walau tidak dituliskan atau diucapkan- maka bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabah adalah riba, dan bukan bagi hasil.

Adapun bila tidak ada persyaratan yang tertulis atau terucap, juga tidak ada tradisi sebelumnya, maka penghutang ketika saat pelunasan dibenarkan untuk memberikan hadiah sebagai ungkapan terima kasih. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Rafi' radhiallahu 'anhu berikut:

Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi' untuk menyerahkan anak untanya kepada orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi' kembali menemui beliau dan berkata: "Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur  enam tahun." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya." (Riwayat Muslim)

Imam an-Nawawi berkata, "Pada hadits ini terdapat pelajaran bahwa orang yang berhutang disunahkan untuk membayar hutang dengan yang lebih baik dari yang sebenarnya ia tanggung. Perbuatan ini termasuk hal yang disunahkan dan akhlak terpuji serta tidak termasuk dalam piutang yang mendatangkan kemanfaatan yang terlarang. Karena yang dilarang ialah kemanfaatan yang dipersyaratkan pada saat akad piutang. Menurut mazhab kita (Mazhab Syaafi'i), disunahkan untuk memberikan tambahan pada saat pelunasan melebihi jumlah hutang yang sebenarnya. Sebagaimana diperbolehkan pula bagi pemberi piutang untuk menerima tambahan tersebut, baik tambahan berupa kriteria yang lebih baik, atau tambahan dalam jumlah, misalnya menghutangi sepuluh, lalu penghutang memberinya sebelas dinar." [35]   

Keterangan serupa juga disampaikan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari, bahkan beliau memberikan tambahan penting, yaitu diharamkannya tambahan yang dipersyaratkan pada akad piutang adalah suatu hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama'. [36]

Kerugian, Tanggung Jawab Siapa?

Sejak zaman dahulu, dalam dunia bisnis, manusia telah mengenal dua hal yang saling berlawanan, yaitu keuntungan dan kerugian. Kedua hal ini senantiasa ada dalam dunia bisnis, dan tidak mungkin dapat dipisahkan.

Walau manusia telah berhasil mencapai berbagai kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi, akan tetapi mereka tetap saja tidak mampu menemukan cara untuk memisahkan antara keduanya. Krisis ekonomi global yang terjadi sekarang ini menjadi bukti teranyar bagi ketentuan ini. Oleh karena itu, bila anda berkeinginan menekuni dunia usaha, maka anda harus telah menyiapkan mental dan strategi guna menghadapi satu dari dua hal tersebut.

Siapa saja yang anda ajak berbicara tentang prospek cerah suatu usaha dan prediksi positif suatu usaha, pasti ia berapi-api dan raut wajahnyapun bersinar-sinar? Akan tetapi, coba berhenti sejenak dan rubah tema pembicaraan, dan mulailah presentasikan berbagai resiko usaha yang mungkin saja terjadi. Amatilah raut wajahnya dan intonasi pembicaraannya. Bandingkan antara dua keadaan yang anda temui. Bila lawan bicara anda tetap optimis dan menunjukkan jiwa besar, maka ketahuilah bahwa ia adalah benar-benar pengusaha. Akan tetapi bila anda mendapatkannya patah arang hanya sekedar mendengar presentasi negatif anda, maka ketahuilah bahwa ia bukanlah pengusaha sejati, maka waspadailah.

Saudaraku! agama Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah Allah Ta'ala yang telah diturunkan ke bumi ini, maka kedua hal inipun senantiasa mendapatkan perhatian. Para ulama menggambarkan perhatian Islam terhadap dua hal ini dalam sebuah kaidah:

الغُنْمُ بِالغُرْمِ
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian."

Atau dalam ungkapan lain yang juga sering disebut:

الخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

"Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan."

Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang berkewajiban menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-.

Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)

Abu Ubaid menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata, "Yang dimaksud dengan keuntungan pada hadits ini adalah hasil pekerjaan budak tersebut yang telah dibeli oleh pembeli, kemudian ia pekerjakan beberapa waktu. Setelah ia mempekerjakannya, ia menemukan cacat yang sengaja ditutup-tutupi oleh penjual, sehingga pembelipun mengembalikan budak tersebut dan pembeli berhak mengambil uang pembayarannya dengan utuh. Dengan demikian ia telah mendapat keuntungan berupa seluruh hasil pekerjaan budak tersebut (selama berada di tangannya –ed). Hal ini dikarenakan budak tersebut -sebelum dikembalikan- merupakan tanggung jawab pembeli. Andai budak tersebut mati, maka budak itu dihitung dari hartanya (sehingga ia menanggung kerugiannya)."

Seusai menyebutkan ucapan Abu Ubaid di atas, as-Suyuthi berkata, "Para ahli fikih juga menyatakan demikian. Makna hadits tersebut ialah segala yang dihasilkan oleh suatu hal, baik berupa penghasilan, manfaat, atau hal lain, maka itu adalah milik pembeli. Ia berhak mendapatkannya karena ialah penanggung jawab atas kerusakan barang itu sebagai pemilik. Andaikata barang yang telah ia beli tersebut mengalami kerusakan, niscaya kerusakan itu adalah tanggung jawabnya. Sudah sepatutnyalah bila hasil/keuntungannyapun menjadi miliknya, dengan demikian keuntungan benar-benar menjadi imbalan atas kerugian yang mungkin ia derita." [37]

Demikianlah semestinya peniagaan dijalankan, yaitu setiap orang yang berniaga mencari keuntungan, maka dia harus siap menanggung kerugian yang mungkin terjadi. Bila seorang pedagang berupaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atas kerugian yang mungkin terjadi, maka upaya tersebut sudah dapat dipastikan terlarang.

Dan dikarenakan mudharabah adalah salah satu bentuk perniagaan, maka kaedah inipun berlaku padanya. Oleh karena itu para ulama' menjelaskan bahwa kerugian yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian non materi, (skill/tenaga) menjadi tanggung jawab pengusaha.

Andai pemodal atau mensyaratkan agar pengusaha menjamin modalnya, sehingga bila terjadi kerugian modal dikembalikan utuh, maka persyaratan adalah persyaratan yang tidak sah. [38]

Perbandingan Antara Mudharabah Dengan Riba

Sekilas, perniagaan (mudharabah) menyerupai riba, karena masing-masing pemodal (pemilik dana) pada kedua transaksi ini menyerahkan dananya kepada pihak ke-2, dan kemudian menerima kembalian yang lebih banyak. Akan tetapi hukum keduanya, sangat berbeda, mudharabah hukumnya halal, sedangkan riba adalah haram.

قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

"Mereka berkata sesungguhnya perniagaan itu serupa dengan riba, dan Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)

Saudaraku! Para ulama' telah menegaskan bahwa tidaklah Allah Ta'ala dan Rasul-Nya membedakan antara dua hal yang nampak serupa, melainkan terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya. Sebagaimana tidaklah syari'at menyamakan antara dua hal, melainkan terdapat persamaan yang sangat mendasar antara keduanya. [39]

Dan bila anda berusaha mencari perbedaan nyata yang mendasari perbedaan hukum antara riba dan mudharabah, niscaya anda akan mendapatkan bahwa kaedah di atas merupakah pembeda utama antara keduanya.

Seorang pemakan riba berusaha mengeruk keuntungan, akan tetapi ia tidak sudi untuk turut menanggung resiko usaha, apapun bentuknya. Oleh karena itu, ia menuntut agar dananya kembali utuh dan ditambah dengan bunganya, tanpa peduli dengan kerugian dan kesulitan yang menimpa dunia usaha dan yang diderita oleh pelaku usaha penerima piutang.

Demikianlah yang terjadi pada dunia perbankan yang ada di negeri kita. Sehingga bila dari usaha berhasil diperoleh keuntungan, maka pemodal berhak menerima modal secara utuh ditambah bagi hasil (baca: bunga). Akan tetapi bila terjadi kerugian, maka pemodal  berhak menerima modal yang telah ia berikan secara utuh, walaupun sebagian perbankan tidak menuntut bunga.

Bila kaidah yang telah kita jelaskan di atas, kita terapkan pada transaksi ini, niscaya akan menjadi jelas bahwa ini adalah transaksi riba, karena pemodal tidak siap untuk ikut andil dalam menanggung kerugian. Ditambah lagi hakikat riba, yaitu sebagai tindak kelaliman benar-benar terwujud pada transaksi ini. Hal itu dikarenakan, pengusaha (penerima modal) selain tidak mendapat keuntungan, dan jerih payahnya merugi; sehingga seluruh kucuran keringatnya tidak mendatangkan hasil, ia masih harus mengembalikan modal secara utuh kepada pemodal.

Pada tabel berikut ini, kami akan coba paparkan perbedaan antara akad piutang dengan akad bagi hasil (mudharabah):
Perbedaan Antara Akad Piutang dan Akad Bagi Hasil
Semoga pemaparan singkat ini menjadikan kita semakin mengenal berbagai akad riba yang ada di sekitar kita dan selanjutnya kita dapat menghindarinya.

"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu."
Footnotes:
[1] Sebagaimana dijelaskan dalam Al Mishbah Al Munir oleh Al Fayyumi 217 & Al Qamus Al Muhith, oleh Al Fairuzabady 2/1687.

[2] Tafsir Ibnu Katsir 3/208.

[3] Mughni Muhtaj, oleh As Syarbini 2/21.

[4] Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 51.

[5] Tafsir Ibnu Katsir,  1/404.

[6] Majmu' Fatawa Al Lajnah Ad Da'imah 13/263 & Ar Riba 'Illatuhu wa Dhawabituhu, oleh Dr. Shaleh bin Muhammad As Sulthan 8.

[7] Tafsir At Thobary, 3/101.

[8] Ahkamul Qur'an oleh Abu Bakar Al Jashash 2/184.

[9] Riwayat Al Bukhari.

[10] Baca Al Muhalla oleh Ibnu Hazem 8/468.

[11] Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalaani 4/382.

[12] Baca Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/113 & Bada'ius Shanaa'i oleh Al Kasany 4/401, Al Mughny oleh Ibnu Qudamah.

[13] Baca Al Muqaddimat Al Mumahhidaat 2/13 & Bidayatul Mujtahid 7/182-183

[14] Baca Al Bayan oleh Al Umraany 5/163-164, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 3/98, Mughnil Muhtaj oleh As Syarbini 2/22, Al Mughny oleh Ibnu Qudamah 6/56, dan Al Inshaf oleh Al Murdawi 12/15-16.

[15] Baca Al Mughi oleh Ibnu Qudamah 6/56, As Syarhul Kabir oleh Abul Faraj Ibnu Qudamah 12/12, dan Al Fatawa Al Kubra 5/391.

[16] Alasan atau 'illah semacam ini dinamakan dalam ilmu Ushul Fiqih dengan 'illah qashirah, yaitu suatu makna yang hanya ada pada hal yang disebutkan dalam dalil saja, atau yang diistilahkan dalam pembahasan qiyas dengan sebutan Al Aslu.

[17] Dengan demikian diqiyaskan dengan keduanya setiap alat jual beli yang dikenal dengan meluas oleh umat manusia, dan pada zaman sekarang, uang kertas dan logam merupakan pengganti dinar dan dirham, sehingga berlaku padanya hukum uang dinar dan dirham.

[18] Baca As Syarhul Mumti' 8/390.

[19] Bagi yang ingin mengetahui keterangan ulama' tentang permasalahan lebih lanjut, silahkan meruju' kitab-kitab fiqih pada setiap mazhab.

[20] Baca Adwa'ul Bayan oleh As Syinqithy 8/500, Bahjatul Musytaaq fi Hukmi Zakaat Al Auraaq, dan Al Fiqhu 'Ala Al Mazahib Al Arba'ah 1/605.

[21] Baca Majmu' Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 30/264, I'ilamul Muwaqi'in oleh Ibnul Qayyim 3/340, Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 3/26.

[22] Al Hawi 'ala As Showy bi Hasyiyati As Syarh As Shaghir 4/42-86.

[23] Sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab Fatawa As Sa'diyyah hal 319-324.

[24] Yaitu alat jual beli yang terbuat dari selain emas dan perak, dan digunakan untuk membeli kebutuhan yang ringan. Biasanya terbuat dari tembaga atau yang serupa. Dan biasanya fulus semacam ini pada masyarakat zaman dahulu berubah-rubah penggunaannya, kadang kala berlaku, dan kadang kala tidak.

[25] Bagi yang ingin mendapatkan pembnahasan lebih panjang lebar tentang permasalahan hukum uang kertas, silahkan membaca kitab: Al Waraq An Naqdy oleh Syeikh Abdullah bin Sulaiman Al Mani', Majalah Al Buhuts Al Islamiyyah edisi 1 & 39, dan Zakaat Al Ashum wa Al Waraq An Naqdy oleh Syeikh Sholeh bin Ghonim As Sadlaan.
[26] al-Qawaid an-Nuraniyah hal: 116.

[27] Baca al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu 'Uyun al-Basha'ir 5/187, as-Syarhul Mumthi' 9/108-109 dan lain-lain.

[28] Ucapan Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhiallahu 'anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik." (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/334).

[29] Nihayatu az-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh as-Syarbini 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli 4/231.

[30] Baca Mughni al-Muhtaj, oleh as-Syarbiny as-Syafi'i, 2/117, dan as-Syarhu al-Mumti' oleh Ibnu 'Ustaimin 9/93.

[31] Baca Mughni al-Muhtaj 3/79, Kifayah al-Akhyaar oleh Taqiyuddin al-Hishny 2/11, dan as-Syarhu al-Mumti' 10/285.

[32] Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan lebih banyak tentang berbagai hukum hutang piutang, silahkan baca al-'Aziiz Syarah al-Wajiiz oleh Imam ar-Raafi'i 4/432-dst, Mughni al-Muhtaj, 2/117-120, as-Syarhu al-Mumti' 9/93-116.

[33] Untuk mendapatkan kejelasan lebih banyak tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan wadi'ah, silakan baca al-'Aziiz Syarah al-Wajiiz, oleh Imam ar-Raafi'i 7/292-dst, Mughni al-Muhtaj 3/79-91 dan as-Syarhu al-Mumti' 10/285-316, Kifayah al-Akhyaar oleh Taqiyuddin al-Hishni 2/12.17

[34] Baca I'lamul Muwaqqi'in oleh Ibnul Qayyim 2/414, as-Syarhul Mumti' oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 9/11, & Dirasaatun Syar'iyyah oleh Dr. Muhammad Musthafa As Syanqithy 1/50-53.

[35] Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi as-Syafi'i 11/37.

[36] Fathu al-Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalaani 5/67.

[37] Baca al-Asybah wa an-Nazhoir oleh as-Suyuthi hal 136. Baca juga al-Mantsur fi al-Qawaidh, oleh az-Zarkasyi 1/328, Aun al-Ma'bud oleh al-Azhim al-Abadi 8/3 dan Tuhfaz al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri 3/397.

[38] Baca Badaa'i as Shanaa'ii oleh Al Kasani Al Hanafy 5/119, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah 7/176, Syarikah al-Mudharabah fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa'ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 291.

[39] Baca Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/504-dst, I'ilamul Muwaqi'in oleh Ibnul Qayyim 2/3-dst, dan al-Ma'dul bihi 'anil Qiyaas, oleh Dr Umar bin Abdul Aziz.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar