Rabu, 20 Juli 2011

Selayang pandang Pegadaian


Pendahuluan
Alhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Akad pegadaian ialah suatu akad yang berupa penahanan suatu barang sebagai jaminan atas suatu piutang. Penahanan barang ini bertujuan agar pemberi piutang merasa aman atas haknya. Dengan demikian, barang yang ditahan haruslah memiliki nilai jual, agar pemberi piutang dapat menjual barang gadaian, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi piutangnya pada tempo yang telah disepakati.
Syariat pegadaian ini merupakan salah satu bukti bahwa Islam telah memiliki sistem perekonomian yang lengkap dan sempurna, sebagaimana syariat Islam senantiasa memberikan jaminan ekonomis yang adil bagi seluruh pihak yang terkait dalam setiap transaksi. Penerima piutang dapat memenuhi kebutuhannya, dan pemberi piutang mendapat jaminan keamanan bagi uangnya, selain mendapat pahala dari Allah atas pertolongannya kepada orang lain.
Dalil-dalil Dihalalkannya Pegadaian
Agar tidak ada yang mempertanyakan tentang dasar hukum pegadaian, maka berikut ini saya akan sebutkan sebagian dalil yang mendasari akad pegadaian.
Firman Allah Ta’ala,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Bila kalian berada dalam perjalanan (dan kalian bermuamalah secara tidak tunai), sedangkan kalian tidak mendapatkan juru tulis, maka hendaklah ada barang gadai yang diserahkan (kepada pemberi piutang).” (Qs. al-Baqarah: 283)
Pada akhir hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menggadaikan perisai beliau kepada orang Yahudi, karena beliau berutang kepadanya beberapa takar gandum.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: اِشْتَرَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَاماً نَسِيْئَةً وَرَهْنَهً درعَهُ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan (gandum) secara tidak tunai dari seorang Yahudi, dan beliau menggadaikan perisainya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan kedua dalil di atas, juga dalil-dalil lainnya, maka para ulama dari zaman dahulu hingga sekarang, secara global telah menyepakati bolehnya akad pegadaian. Hal ini sebagaimana  ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya oleh Ibnu Munzir dalam kitabnya al -Ijma’ hlm. 96, Ibnu Hazm dalam kitabnya Maratibul Ijma’ hlm. 60, serta Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni: 6/444.
Pegadaian Dapat Dilakukan Di Mana Pun
Mungkin ada dari kita yang bertanya-tanya, “Bukankah pada teks ayat di atas, Allah Ta’ala mempersyaratkan berlangsungnya syariat pegadaian adalah ketika sedang dalam perjalanan?”
Pertanyaan ini sebenarnya telah timbul dan dipermasalahkan oleh sebagian ulama sejak zaman dahulu. Bahkan, sebagian ulama, diantaranya Mujahid bin Jaber, ad-Dhahhak, dan diikuti oleh Ibnu Hazm –berdasarkan teks ayat di atas– berfatwa bahwa pegadaian hanya diperbolehkan ketika dalam perjalanan saja. [1]
Adapun jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan akad pegadaian di mana pun kita berada, baik ada saksi atau tidak ada, baik ada juru tulis atau tidak.[2] Hal ini berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik berikut ini:
لَقَدْ رَهَنَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ درعاً لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْراً لِأَهْلِهِ، وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَا أَمْسَى عِنْدَ آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَاعَ برٍّ وَلاَ صَاعَ حُبٍّ وَإِنًّ عِنْدَهُ لتِسْع نِسْوَةٍ
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggadaikan perisainya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan beliau berutang kepadanya sejumlah gandum untuk menafkahi keluarganya. Sungguh aku pernah mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Di rumah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tersisa lagi gandum, walau hanya ada satu sha’ (takaran sekitar 2,5 kg),’ padahal beliau memiliki sembilan isteri.” (Hr. Bukhari)
Pada hadits ini, dengan jelas kita dapatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggadaikan perisainya di Madinah, dan beliau tidak sedang berada dalam perjalanan.
Adapun teks hadits yang seolah-olah hanya membolehkan pegadaian pada saat perjalanan saja, maka para ulama menjelaskan, bahwa ayat tersebut hanyalah menjelaskan kebiasaan masyarakat pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu, biasanya, tidaklah ada orang yang menggambil barang gadaian, melainkan ketika tidak mendapatkan cara lain untuk menjamin haknya, yaitu pada saat tidak ada juru tulis atau saksi yang terpercaya. Keadaan ini biasanya sering terjadi ketika sedang dalam perjalanan. Penjabaran ini akan tampak dengan sangat jelas, bila kita mengaitkan surat al-Baqarah: 283 di atas, dengan ayat sebelumnya (yaitu, ayat 282). [3]
Barang yang Dapat Digadaikan
Dari definisi pegadaian di atas, dapat disimpulkan bahwa barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغْيِ وَحِلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Imam as-Syafi’i berkata, “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung , (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”[4]
Beliau juga berkata, “Bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka tidak dibenarkan, karena anjing tidak memiliki nilai ekonomis. Demikian juga bagi setiap barang yang tidak halal untuk diperjual-belikan.”[5]

Waktu Pegadaian
Sebagaimana dapat dipahami dari teks ayat di atas dan juga dari tujuan akad pegadaian, maka waktu pelaksanaan akad ini ialah setelah atau bersamaan dengan akad utang-piutang berlangsung. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau berutang setakar gandum dari seorang Yahudi.
عَنْ أَبِي رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ ضَيْفاً نَزَلَ بِرَسُوْلِ اللهَ، فَأَرْسَلَنِي أَبْتَغِي لَهُ طَعَاماً، فَأَتَيْتُ رَجُلاً مِنَ الْيَهُوْدِ فَقُلْتُ: يَقُوْلُ لَكَ مُحَمَّدٌ إِنَّهُ قَدْ نَزَلَ بِنَا ضَيْفٌ، وَلَمْ يَلْقِ عِنْدَنَا بَعْضَ الَّذِي يُصْلِحُهُ، فَبِعْنِي أَوْ اَسْلِفْنِي إِلَى هِلاَلِ رَجَب. فَقَالَ الْيَهُوْدِيُّ: لاَ وَاللهِ لاَ أُسْلِفُهُ وَلاَ أَبِيْعُهُ إِلاَّ بِرَهْنٍ، فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ: وَاللهِ إِنِّي لَأَمِيْنٌ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ أَمِيْنٌ فِي أَهْلِ اْلأَرْضِ، وَلَوْ أَسْلَفَنِيْ أَوْ بَاعَنِيْ لَأَدَّيْتُ إِلَيْهِ. اِذْهَبْ بِدِرْعِيْ!
Dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan, “Pada suatu hari ada tamu yang datang ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengutusku untuk mencari makanan sebagai hidangan. Lalu, aku pun mendatangi seorang Yahudi, dan aku berkata kepadanya, ‘Nabi Muhammad berkata kepadamu bahwa sesungguhnya ada tamu yang datang kepada kami, sedangkan beliau tidak memiliki apa pun yang dapat dihidangkan untuk mereka. Oleh karenanya, jual atau berilah utang (berupa gandum) kepadaku, dengan tempo (pembayaran hingga) bulan Rajab.’ Maka, orang Yahudi tersebut berkata, ‘Tidak, sungguh demi Allah, aku tidak akan mengutanginya dan tidak akan menjual kepadanya, melainkan dengan gadaian.’ Maka, aku pun kembali menemui Rasulullah, lalu aku kabarkan kepada beliau, lalu beliau pun bersabda, Sungguh demi Allah, aku adalah orang yang terpercaya di langit (dipercaya oleh Allah) dan terpercaya di bumi. Andaikata ia mengutangiku atau menjual kepadaku, pasti aku akan menunaikannya (melunasinya).’” (Hr. Abdurrazzaaq, dengan sanad yang mursal/terputus)
Pada kisah ini, proses pegadaian terjadi bersamaan dengan berlangsungnya akad jual-beli atau utang-piutang.
Akan tetapi, bila ada orang yang sebelum berjual-beli atau berutang telah memberikan jaminan barang gadaian terlebih dahulu, maka menurut pendapat yang lebih kuat, hal tersebut juga diperbolehkan. Yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan berikut:
  1. Hukum asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut.
  2. Selama kedua belah pihak yang menjalankan akad rela dan telah menyepakati hal tersebut, maka tidak ada alasan untuk melarangnya.[6]
Sebagai contoh, bila ada orang yang hendak berutang kepada Anda, lalu Anda berkata kepadanya, “Saya tidak akan mengutangi Anda, melainkan bila Anda menggadaikan sepeda motor atau sawah Anda kepada saya.” Lalu, orang tersebut berkata kepada Anda, “Ya, saya gadaikan sawah saya kepada Anda sebagai jaminan atas piutang yang akan Anda berikan kepada saya.” Kemudian, setelah Anda selesai melakukan akad pegadaian, dimulai dari penandatanganan surat perjanjian gadai hingga penyerahan surat tanah, Anda baru bertanya kepadanya, “Berapa jumlah uang yang Anda butuhkan?” Maka, dia pun menyebutkan (misalnya) bahwa dia membutuhkan uang sejumlah Rp 30.000.000,-, dan Anda pun kemudian menyerahkan uang sejumlah yang dia inginkan. Pada kasus ini, akad pegadaian terjadi sebelum akad utang-piutang.
Hukum Pegadaian
Bila akad pegadaian telah dihukumi sah menurut syariat, maka akad pegadaian memiliki beberapa konsekuensi hukum. Berikut ini adalah hukum-hukum yang harus kita indahkan bila kita telah menggadaikan suatu barang:
Hukum pertama: barang gadai adalah amanah
Sebagaimana telah diketahui dari penjabaran di atas, bahwa gadai berfungsi sebagai jaminan atas hak pemiliki uang. Dengan demikian, status barang gadai selama berada di tangan pemilik uang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya.
Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya Pak Ahmad mensyaratkan agar Pak Ali memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.[7]
Misalnya, bila Pak Ahmad menggadaikan motornya kepada Pak Ali, lalu Pak Ali menelantarkan motor tersebut, tidak disimpan di tempat yang semestinya, sehingga motor tersebut rusak atau hilang, maka Pak Ali berkewajiban memberi ganti rugi kerusakan tersebut.
Sebaliknya, bila Pak Ali telah merawat dengan baik, kemudian rumah Pak Ali dibobol oleh pencuri, sehingga motor tersebut ikut serta dicuri bersama harta Pak Ali, maka ia tidak berkewajiban untuk mengganti.
Hukum kedua: pemilik uang berhak untuk membatalkan pegadaian
Akad pegadaian adalah salah satu akad yang mengikat salah satu pihak saja, yaitu pihak orang yang berutang. Dengan demikian, ia tidak dapat membatalkan akad pegadaian, melainkan atas kerelaan pemilik uang. Adapun pemilik uang, maka ia memiliki wewenang sepenuhnya untuk membatalkan akad, karena pegadaian disyariatkan untuk menjamin haknya. Oleh karena itu, bila ia rela haknya terutang tanpa ada jaminan, maka tidak mengapa.
Hukum ketiga: pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian
Sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemilik uang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Bahkan, banyak ulama menfatwakan bahwa persyaratan tersebut menjadikan akad utang-piutang beserta pegadaiannya batal dan tidak sah.[8]
Demikianlah hukum asal pegadaian. Namun, ada dua kasus, yang pada keduanya, pemilik uang (kreditur) dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian:
Kasus Pertama
Pemanfaatan barang gadai dipersyaratkan ketika akad pegadaian dalam akad jual-beli atau sewa-menyewa dengan pembayaran terutang. Hanya saja, para ulama menegaskan bahwa pemanfaatan barang gadai ini hanya dibenarkan bila:
  1. Pada akad jual-beli, atau yang serupa.
  2. Pemanfaatan barang gadai disepakati ketika akad jual-beli sedang berlangsung.
  3. Batas waktu pemanfaatan yang jelas.
  4. Metode pemanfaatan yang jelas.
Pada kasus semacam ini, maka kreditur dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, sebagaimana yang mereka berdua sepakati.
Bila kita cermati kasus ini dengan baik, niscaya kita dapatkan bahwa sebenarnya pada akad pegadaian ini terdapat dua akad yang disatukan, yaitu akad jual-beli dan akad sewa-menyewa.[9]
Sebagai contoh nyata, bila Anda menjual kendaraan kepada seseorang, dan ketika akad berlangsung terjadi kesepakatan sebagai berikut:
  • Harga sebesar Rp 30.000.000,- dengan cicilan Rp 3.000.000,- tiap bulan.
  • Pembeli berkewajiban menggadaikan salah satu rumahnya selama sepuluh bulan, yaitu selama masa kredit.
  • Selama masa kredit, yaitu sepuluh bulan, Anda menempati rumah yang digadaikan tersebut.
Pada kasus ini, Anda dibenarkan untuk menempati rumah tersebut, karena pada hakikatnya, kendaraan Anda terjual dengan harga Rp 30.000.000,- ditambah dengan uang sewa rumah selama sepuluh bulan.
Akan tetapi, bila pada kasus ini, ketika pada proses negoisasi harga hingga akad jual-beli kendaraan selesai, Anda tidak mempersyaratkan untuk menempati rumah tersebut, maka anda tidak dibenarkan untuk menempati rumah tersebut. Dengan demikian, bila selang satu hari atau lebih, Anda mengutarakan keinginan itu kepada pembeli, maka keinginan ini tidak dibenarkan, dan bila Anda tetap melanggar, maka Anda berdua telah terjatuh dalam riba.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bila akad pegadaian terjadi karena adanya akad utang-piutang, dan bukan karena akad jual-beli atau akad sewa-menyewa, maka tidak dibenarkan sama sekali untuk memanfaatkan barang gadaian.
Misalnya, bila Anda mengutangi seseorang uang sejumlah Rp 10.000.000,-, dan orang tersebut menggadaikan sawahnya kepada Anda. Pada kasus ini, Anda tidak dibenarkan untuk menggarap sawahnya, karena bila Anda menggarap sawah tersebut, berarti Anda telah diuntungkan dari piutang yang Anda berikan, dan setiap piutang yang mendatangkan keuntungan adalah riba, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Bila pemilik uang mempersyaratkan kepada penggadai agar ia menempati rumah yang digadaikan, mempekerjakan budak gadaian, mengambil kemanfaatan barang gadai, atau sebagian dari kegunaannya, apa pun bentuknya, dan barang gadainya berbentuk apa pun (rumah, hewan ternak, atau lainnya), maka persyaratan ini adalah persyaratan yang batil (tidak sah). Bila ia mengutangkan uang seribu (dirham) dengan syarat orang yang berutang memberikan jaminan berupa barang gadaian, lalu pemilik uang mempersyaratkan agar ia menggunakan barang gadaian tersebut, maka syarat ini tidak sah, karena itu merupakan tambahan dalam piutang.” [10]
Imam an-Nawawi berkata, “Tidaklah pemilik uang (murtahin) memiliki hak pada barang gadaian selain hak sebagai jaminan belaka. Murtahin tidak dibenarkan untuk ber-tasarruf (bertindak), baik berupa ucapan atau perbuatan tentang barang gadaiaan yang ada di tangannya, sebagaimana ia juga dilarang untuk memanfaatkannya. ” [11]
Kasus Kedua
Bila barang gadaian adalah binatang hidup, sehingga membutuhkan makanan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kedua belah pihak. Karena bila makanan binatang tersebut dibebankan kepada pemilik uang, ini merugikannya. Sebaliknya, bila dibebankan kepada pemilik binatang, maka akan merepotkannya, terlebih–lebih bila jarak antara mereka berdua berjauhan. Kasus ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْناً، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْناً، وَعَلَى الَّذِيْ يُرْكَبُ وَيُشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Pada hadits ini terdapat dalil bagi orang yang memperbolehkan pemilik uang untuk memanfaatkan barang gadaian, bila ia bertanggung jawab atas perawatannya, walau pemiliknya tidak mengizinkan. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan sekelompok ulama lainnya. Mereka berpendapat bahwa pemilik uang boleh memanfaatkan binatang gadaian dengan ditunggangi dan diperah susunya, senilai makanan yang ia berikan kepada binatang tersebut. Akan tetapi, dia tidak dibebani untuk memanfaatkan dengan cara-cara lainnya. Pendapat ini berdasarkan pemahaman terhadap hadits ini…..
Walaupun hadits ini sekilas tampak bersifat global, namun hadits ini secara khusus berkaitan dengan pemilik uang. Yang demikian itu, pemanfaatan barang gadaian oleh pemilik barang gadaian berdasarkan atas kepemilikannya terhadap barang tersebut, bukan karena sekadar ia memberi makanan kepada binatang gadaian, berbeda halnya dengan pemilik uang.”[12]
Berikut ini adalah dua fatwa Komite Tetap untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, yang berkaitan dengan hukum pemanfaatan barang gadaian:
1. Pertanyaan:
Bagaiamana sikap Islam berkaitan dengan perbankan, dan apa hukum bertransaksi dengannya (yaitu, dengan meminjam uang yang berbunga kepadanya)? Apakah pegadaian itu halal atau haram? Misalnya, saya memiliki sebidang tanah seluas dua hektar, sedangkan saya tidak memiliki uang, maka saya datang ke seseorang yang siap mengutangi uang sebesar 1500 Junaih (mata uang Mesir -pen) kepada saya. Setelah itu ia berhak memanfaatkan tanah saya dengan menanaminya, dan uang tersebut saya gunakan terus-menerus selama ia masih menggarap tanah saya.
Jawaban:
Piutang dengan syarat ada bunganya hukumnya adalah haram, dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ قَرْضِ جَرٍّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat (keuntungan) adalah riba.”[13]
Ulama pun telah menyepakati kandungan hadits ini.
Di antara bentuk piutang yang mendatangkan manfaat adalah memberikan orang yang mengutangi sebidang tanah yang ia manfaatkan, baik dengan ditanami atau lainnya, hingga saat orang yang berutang (mampu) melunasi piutangnya. Akad semacam ini tidak boleh.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.[14]
2. Pertanyaan:
Seseorang berutang kepada orang lain, dan orang yang berutang menggadaikan sebidang tanah miliknya kepada pemilik uang. Apakah pemilik uang diperbolehkan untuk memanfaatkan tanah tersebut, baik dengan ditanami, disewakan, atau lainnya?
Jawaban:
Bila barang gadaian tidak membutuhkan biaya dan perawatan (misalnya: perabot, properti berupa tanah dan rumah), dan barang tersebut digadaikan karena piutang selain piutang qardh[15], maka tidak dibenarkan bagi pemilik uang untuk memanfaatkan tanah yang digadaikan, baik dengan menanaminya atau menyewakannya, tanpa seizin pemilik tanah. Hal ini, karena tanah tersebut adalah hak pemiliknya, demikian juga kemanfaatannya.
Bila pemilik barang (orang yang berutang) mengizinkan kepada pemilik uang untuk memanfaatkan tanah ini, dan piutangnya bukan piutang qardh, maka boleh baginya untuk memanfaatkannya, walau tanpa imbalan. Hukum ini berlaku selama izin pemanfaatan ini bukan sebagai imbalan atas penundaan tempo pelunasan. Bila pemanfaatan tanah tersebut disebabkan penundaan tempo pelunasan, maka tidak dibenarkan bagi pemilik uang untuk memanfaatkannya.
Adapun bila tanah ini digadaikan karena adanya piutang qardh, maka secara mutlak, pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkannya, karena pemanfaatan barang gadaian kala itu mendatangkan keuntungan. Selain itu, menurut kesepakatan ulama, setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan adalah riba.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.[15]
3. Pertanyaan:
Di sebagian pedesaaan Mesir terdapat kebiasaan menggadaikan lahan pertanian. Bila ada orang yang memerlukan uang, ia berutang kepada orang kaya. Sebagai balasannya, pemilik uang mengambil lahan pertanian milik orang yang berutang, sebagai gadainya. Selanjutnya, pemilik uang memanfaatkan hasil lahan itu dan seluruh hasil yang dapat diperoleh darinya. Adapun pemilik lahan, maka dia tidak dapat mengambil sedikit pun dari hasil lahannya. Lahan tersebut akan senantiasa dimanfaatkan oleh pemilik uang sampai tiba saat orang yang berutang melunasi utangnya. Apa hukum menggadaikan lahan pertanian, dan apakah mengambil hasil lahan tersebut halal atau haram?
Jawaban:
Barangsiapa memberikan suatu piutang, maka ia tidak boleh untuk mempersyaratkan kepada orang yang berutang untuk memberikan manfaat apa pun sebagai imbalan atas piutangnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ قَرْضِ جَرٍّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat (keuntungan) adalah riba.”
Ulama telah bersepakat akan kandungan hadits di atas. Di antaranya adalah kasus yang disebutkan dalam pertanyaan, berupa penggadaian lahan pertanian. Yaitu, pemilik uang memanfaatkan lahan pertanian yang digadaikan hingga orang yang berutang melunasi piutangnya.
Demikian juga, bila ia mengutangi orang lain, maka tidak boleh bagi pemilik uang untuk mengambil hasil lahan itu atau memanfaatkannya sebagai imbalan atas penundaan waktu pelunasan. Hal ini dikarenakan, tujuan pegadaian ialah untuk memberikan jaminan atas suatu piutang. Pegadaian bukan untuk mencari keuntungan dari barang gadaian sebagai imbalan atas piutang atau memberi kesempatan bagi orang yang berutang untuk menunda pembayaran.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.[16]
Hukum keempat: piutang tidak berkurang karena barang gadai rusak
Telah dijelaskan di atas bahwa tujuan pegadaian adalah untuk memberikan jaminan kepada pemilik uang. Sebagaimana telah dijelaskan pula, bahwa pemilik uang tidak berkewajiban untuk bertanggung jawab bila terjadi kerusakan pada barang gadaian yang terjadi tanpa kesalahan darinya. Bukan hanya itu saja, tetapi uang yang diutangkannya pun juga tidak digugurkan atau dikurangi karenanya.[17]
Imam as-Syafi’i berkata, “Bila seseorang telah menggadaikan suatu barang, kemudian barang gadaian itu rusak selama berada di tangan pemilik uang, maka ia tidak berkewajiban untuk menggantinya, dan jumlah piutangnya pun tidak berubah sedikit pun, dari jumlah sebelum terjadi akad pegadaian…. Selama Pemilik uang tidak berbuat kesalahan, maka status barang gadaian bagaikan amanah.
Oleh karena itu, bila orang yang berutang telah menyerahkan barang gadaian kepada pemilik uang, kemudian ia ingin menarik kembali barangnya, maka pemilik uang berhak untuk menolaknya. Serta, bila barang itu rusak, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk menggantinya, karena pemilik uang berhak untuk menolak permintaan orang yang berutang itu.”[18]
Hukum kelima: bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka barang gadaian dapat dijual untuk melunasi utang tersebut.
Bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka akan terjadi beberapa kemungkinan berikut:
1. Orang yang berutang dapat melunasi piutangnya. Bila kemungkinan ini yang terjadi, maka barang gadaian sepenuhnya harus dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Orang yang berutang tidak mampu melunasi piutangnya, dan pemilik uang rela untuk menunda haknya. Pada keadaan seperti ini, barang gadaian tidak berubah statusnya, yaitu masih tetap tergadaikan hingga batas waktu yang disepakati. Menunda tagihan, bila orang yang berutang benar-benar dalam kesusahan, adalah lebih utama bagi pemberi utang, daripada menuntut hak, dengan melelang barang gadaian. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Menyedakahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)
Juga berdasarkan hadits berikut,
عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : أَتَى اللهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللهَ مَالاً، فَقَالَ لَهُ: مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا؟ قَالَ: وَلاَ يَكْتُمُوْنَ اللهَ حَدِيْثًا، قَالَ: يَا رَبِّ آتَيْتَنِيْ مَالَكَ، فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ، وَكاَنَ مِنْ خَلْقِي الْجَوَازُ، فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوْسِرِ وَأَنْظُرُ الْمَعْسِرَ، فَقَالَ اللهُ: أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ، تَجَاوَزُوْا عَنْ عَبْدِيْ
Huzaifah radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, ‘(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Dia beri harta kekayaan. Kemudian, Allah bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan suatu kejadian dari Allah).[19] Hamba tersebut pun menjawab, ‘Wahai Rabbku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual-beli dengan orang lain. Kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) orang yang mampu, dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu. Kemudian, Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau. Mudahkanlah hamba-Ku ini!’’” (Muttafaqun ‘alaihi)
3. Orang yang berutang tidak mampu melunasi piutangnya, dan pemilik uang tidak mau untuk menunda tagihan. Pada keadaan seperti ini, barang gadaian harus dijual, dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi utang.
Bila kemungkinan ketiga ini yang terjadi, maka yang berhak untuk menjual barang gadaian adalah pemilik barang. Bila ia tidak mau menjualnya sendiri, maka pemilik uang berhak untuk menggugatnya ke pengadilan, agar pengadilan menjualkan barang tersebut.
Adapun pemilik uang, maka ia tidak berhak untuk menjual barang gadaian yang ada di tangannya, kecuali seizin dari pemilik barang atau orang yang berutang.
Urutan ini dilakukan demi menjaga keutuhan harta orang atau orang yang berutang, karena pada dasarnya, harta setiap manusia adalah terhormat, dan suatu akad jual-beli tidaklah sah bila tidak didasari oleh asas “suka sama suka”. Ditambah lagi, bila pemiliknya yang menjual langsung barang gadaian, maka ia akan berusaha menjualnya dengan harga yang bagus. Berbeda halnya, bila yang menjualnya adalah pemilik uang. Biasanya, ia hanya memikirkan cara agar uangnya dapat terbayar dengan lunas.
Bila kemungkinan ini terjadi, maka hasil penjualan barang gadai tidak akan luput dari tiga kemungkinan berikut:
  1. Bila hasil penjualan lebih sedikit dari jumlah piutang, maka seluruh hasil penjualan diserahkan kepada pemilik uang dan orang yang berutang masih berkewajiban untuk menutup kekurangannya.
  2. Bila hasil penjualan sama dengan jumlah piutang, maka hasil penjualan sepenuhnya diserahkan kepada pemilik uang guna melunasi haknya.
  3. Bila hasil penjualan melebihi jumlah piutang, maka hasil penjualan itu dipotong jumlah piutang, dan sisanya dikembalikan kepada pemilik barang (orang yang berutang).
Penutup
Demikianlah paparan yang dapat saya utarakan pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Tiada kata yang lebih indah untuk mengakhiri makalah sederhana ini dibandingkan sebuah doa:
اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاغْنِنِا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rezeki yang halal dari-Mu, sehingga kami tidak merasa perlu untuk memakan harta yang Engkau haramkan. Cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu, sehingga kami tidak mengharapkan uluran tangan selain dari-Mu.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A.
==========
CATATAN KAKI:
[1] Baca: Tafsir Ibnu Jarir at-Thabary: 3/139–140 dan al-Muhalla oleh Ibnu Hazm: 8/88.
[2] Baca: al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/139, at-Tahzib oleh al-Baghawi: 4/3, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah: 6/444, dan al-Mabsuth oleh as-Sarahsy: 21/64.
[3] Baca: Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani: 5/157 dan Nailul Authar oleh asy- Syaukani: 5/326.
[4] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/153.
[5] Idem: 3/162.
[6] Baca: asy-Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin: 9/125.
[7] Baca: al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/168, Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/126–127, I’anatuth Thalibin oleh ad-Dimyathi: 3/59, Fathul Mu’in oleh al-Malibari: 3/59, dan Nihatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[8] Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/121, Fathul Mu’in oleh al-Malibari: 3/57, dan Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[9] Baca Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[10] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/155.
[11] Raudhatuth Thalibin oleh Imam an-Nawawi: 3/387.
[12] Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani: 5/144.
[13] Riwayat al-Harits, sebagaimana disebutkan oleh al-Haitsami dalam kitab Bughyatul Bahits: 1/500 dengan sanad yang lemah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar, as-Suyuthi dan al-Albani.
[14] Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah: 13/426, fatwa no. 16645.
[15] Piutang, selain piutang qardh, ialah piutang yang terjadi pada saat akad jual-beli, sewa-menyewa, atau yang serupa.
[16] Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah: 14/176, fatwa no. 202444.
[17] Idem: 12/178, fatwa no. 17393.
[18] Baca: Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syarbini: 2/137.
[19] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/167.
[20] Qs. an-Nisa: 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar