Bahaya, kerusakan
dan kerugian adalah kenyataan yang harus dihadapi manusia di dunia
ini. Sehingga kemungkinan terjadi resiko dalam kehidupan, khususnya
kehidupan ekonomi sangat besar. Tentu saja ini membutuhkan persiapan
sejumlah dana tertentu sejak dini.
Oleh karena itu
banyak orang mengambil cara dan sistem untuk dapat menghindari resiko
kerugian dan bahaya tersebut. Diantaranya dengan asuransi yang
merupakan sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan
menyalurkan resiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.
Sisem ini sudah
berkembang luas dinegara Indonesia secara khusus dan dunia secara
umumnya. Sehingga memerlukan penjelasan permasalahan ini dalam
tinjauan syari’at islam.
Asuransi Secara
Umum
Kata asuransi ini
dalam bahasa inggris disebut Insurance
dan dalam bahasa prancis disebut Assurance.
Sedangkan dalam bahasa arab disebut at-Ta’mien.
Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai
perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang
kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya,
sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran. [1]
Demikian juga telah
didefinisikan dalam perundang-undangan negara Indonesia sebagai
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung
jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan. [2]
Sedangkan sebagian
ulama syari’at dan ahli fikih memberikan definisi yang beragam,
diantaranya:
1. Pendapat pertama,
asuransi adalah perjanjian jaminan dari fihak pemberi jaminan (yaitu
perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara
rutin atau ganti barang yang lain, kepada fihak yang diberi jaminan
(yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian
bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti
angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada
perusahaan. [3]
2. Pendapat kedua,
asuransi adalah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai
tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau
nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya
sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu
terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan
dalam perjanjian. Hal tersebut diberikan sebagai ganti angsuran atau
pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (pihak
asuransi). [4]
3. Pendapat ketiga,
asuransi adalah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua
dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak
kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang
telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan
pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau
yang lainnya. [5]
Dari definisi yang
beraneka ragam tersebut terdapat kata sepakat dalam beberapa hal
berikut ini:
- Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu’ammin) dan tertanggung (al-Mu’ammin Lahu).
- Adanya obyek yang menjadi arahan asuransi.
- Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (pengelola asuransi) sejumlah uang baik dengan tunai atau angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
- Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya. Inilah asuransi yang umumnya berlaku dan ini dinamakan asuransi konvensional (al-Ta’mien al-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Juga menjadi ketetapan majlis Hai’ah kibar Ulama (majlis ulama besar Saudi Arabia) no. 55 tanggal 4/4/1397 H dan ketetapan no 9 dari Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI). [6]
Demikian juga
diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar
al-’Alami al-Awal lil Iqtishad al-Islami
di Makkah tahun 1396H. [7]
Kemudian para ulama
memberikan solusi dalam masalah ini dengan merumuskan satu jenis
asuransi syari’at yang didasarkan kepada akad tabarru’at [8] yang
dinamakan at-Ta’mien
at-Ta’awuni
(asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien
at-Tabaaduli.
Pengertian
Asuransi Ta’awun (at-Ta’mien
at-Ta’awuni)
Para ulama
kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien
at-Ta’awuni
dengan beberapa definisi, diantaranya:
1. Pendapat pertama,
asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki
resiko bahaya tertentu. Hal itu dengan cara mereka mengumpulkan
sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk
mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa
kerugian diantara mereka. Apabila premi yang terkumpulkan tidak cukup
untuk itu, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi
kekurangan tersebut. Apabila lebih dari yang dikeluarkan dari ganti
rugi tersebut maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan
tersebut. Setiap anggota dari asuransi ini adalah penanggung dan
tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian
anggotanya. Akan jelas gambaran jenis asuransi ini adalah seperti
bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari
keuntungan (bisnis) dan tujuannya hanyalah mengganti kerugian yang
menimpa sebagian anggotanya dengan kesepakatan mereka membaginya
diantara mereka sesuai dengan tata cara yang dijelaskan. [9]
2. Pendapat kedua,
asuransi ta’awun adalah kerjasama sejumlah orang yang memiliki
kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa
salah seorang dari mereka dengan cara mengumpulkan sejumlah uang
untuk kemudian menunaikan ganti rugi ketika terjadi resiko bahaya
yang sudah ditetapkan. [10]
3. Pendapat ketiga,
asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq
(tempat mengumpulkan dana) yang mereka danai dengan angsuran tertentu
yang dibayar setiap dari mereka. Setiap mereka mengambil dari shunduq
tersebut bagian tertentu apabila tertimpa kerugian (bahaya) tertentu.
4. Pendapat keempat,
asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung
resiko bahaya serupa dan setiap mereka memiliki bagian tertentu yang
dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena
bahaya. Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut
melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi maka anggota
memiliki hak untuk meminta kembali. Apabila kurang maka para anggota
diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya
atau dikurangi ganti rugi yang seharusnya sesuai ketidak mampuan
tersebut. Anggota asuransi ta’awun ini tidak berusaha
merealisasikan keuntungan namun hanya berusaha mengurangi kerugian
yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad
transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa
sebagian mereka. [11]
Sehingga dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun adalah
bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti
kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko
bahaya tertentu dan itu diambil dari kumpulan iuran yang setiap dari
mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang
bertujuan saling membantu dan tidak bertujuan perniagaan dan cari
keuntungan. Sebagaimana juga akad ini tidak terkandung riba,
spekulasi terlarang, gharar dan perjudian. (tentang gharar, baca juga
artikel mengenal jual beli Gharar)
Gambaran paling
gampangnya adalah misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang
membuat shunduq lalu mereka menyerahkan sejumlah uang yang nantinya
dari kumpulan uang tersebut digunakan untuk ganti rugi kepada
anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya). Apabila uang yang
terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka mereka menutupi
kekurangannya. Apabila berlebih setelah penunaian ganti rugi tersebut
maka dikembalikan kepada mereka atau dijadikan modal untuk masa yang
akan datang. Hal ini mungkin dapat diperluas menjadi satu lembaga
atau yayasan yang memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk
mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut serta mengeluarkannya.
Lembaga ini boleh juga memiliki pengelola yang merencanakan rencana
kerja dan managementnya. Semua pekerja dan petugas berikut
pengelolanya mendapatkan gaji tertentu atau mereka melakukannya
dengan sukarela. Namun semua harus dibangun untuk tidak cari
keuntungan (bisnis) dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun
(saling tolong menolong). [12]
Dari sini dapat
dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:
- Tujuan dari asuransi ta’awun adalah murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
- Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Hal ini tampak tergambarkan dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), dimana bila kurang mereka menambah dan bila lebih mereka punya hak minta dikembalikan sisanya.
- Dasar fikroh asuransi ta’awun ditegakkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang, dimana setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut diantara mereka. Sehingga orang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya diantara mereka.
- Pada umumnya asuransi ta’awun ini berkembang pada kelompok yang punya ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
- Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya yang ada diambil dari yang ada di shunduq (simpanan) asuransi, apabila tidak mencukupi maka terkadang diminta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. [13]
Perbedaan Antara
Asuransi Ta’awun dan Konvensional. [14]
Dari karekteristik
diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang
asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini
dengan yang konvensional. Diantaranya:
1. Asuransi ta’awun
termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful dan ta’awun
(saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari
bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah
(tabarru’).
Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari
keuntungan berdasarkan akad al-Mu’awwadhoh
al-Ihtimaliyah
(bisnis oriented yang berspekulasi yang dalam bahasa Prancis contrats
aleatoirs).
2. Penggantian ganti
rugi atas resiko bahaya dalam asuransi ta’awun diambil dari jumlah
premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak
mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau
mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak
ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak
sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda dengan asuransi konvensional
yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai
kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung.
Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk
menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah
lainnya. Oleh karena itu tujuan akadnya adalah cari keuntungan, namun
keuntungannya tidak bias untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila
perusahaan asuransi tersebut untung maka nasabah (tertanggung) merugi
dan bila nasabah (tertanggung) untung maka perusahaan tersebut
merugi. Dan ini merupakan memakan harta dengan batil karena berisi
keuntungan satu pihak diatas kerugian pihak yang lainnya.
3. Dalam asuransi
konvensional bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti
rugi kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran yang telah
ditetapkan perusahaan untuk dirinya. Sedangkan dalam asuransi
ta’awun, seluruh nasabah tolong menolong dalam menunaikan ganti
rugi yang harus dikeluarkan dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan
yang ada dari peran para anggotanya.
4. Asuransi ta’awun
tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang
dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih
(sisa) dari pembayaran klaim maka dikembalikan kepada anggota
(tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional
dimiliki perusahaan.
5. Penanggung
(al-Mu’ammin)
dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu’ammin
Lahu)
sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung
(al-Mu’ammin)
adalah pihak luar.
6. Premi yang
dibayarkan tertanggung dalam asuransi ta’awun digunakan untuk
kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk berbisnis
dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti
kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system
konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan
dan keuntungannya semata Karena tujuannya adalah berbisnis dengan
usaha asuransi tersenut untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.
7. Asuransi ta’awun
bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang terlarang.
Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.
8. Dalam asuransi
ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun
ada pada asas berikut ini:
a. Pengelola
perusahaan melaksanakan managemen operasional asuransi berupa
menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah),
mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya
dari pengelolaannya dengan mendapatkan gaji tertentu yang jelas. Itu
karena mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis
secara jelas jumlah fee (gaji) tersebut.
b. Pengelola
perusahaan melakukan pengembangan modal yang ada untuk mendapatkan
izin membentuk perusahaan dan juga memiliki kebolehan mengembangkan
harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan
mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta
asuransi sebagai mudhoorib
(pengelola pengembangan modal dengan mudhorabah).
c. Perusahaan
memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama untuk pengembangan modal
perusahaan dan kedua hitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi
murni milik nasabah (pembayar premi).
d. Pengelola
perusahaan bertanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab
al-Mudhoorib
dari aktivitas pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal
sebagai imbalan bagian keuntungan mudhorabah, sebagaimana juga
bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai
imbalan fee (gaji) pengelolaan yang menjadi hak mereka. [15]
Sedangkan hubungan
antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam asuransi konvensional
adalah semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta
milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai
imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan
yang terpisah.
1. Nasabah dalam
perusahaan asuransi ta’awun dianggap anggota syarikat yang memiliki
hak terhadap keuntungan yang dihasilkan dari usaha pengembangan modal
mereka. Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak
dianggap syarikat, sehingga tidak berhak sama sekali dari keuntungan
pengembangan modal mereka bahkan perusahan sendirilah yang mengambil
seluruh keuntungan yang ada.
2. Perusahaan
asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang
diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal
dan haram dalam pengembangan hartanya.
Demikianlah beberapa
perbedaan yang ada. Mudah-mudahan semakin memperjelas permasalahan
asuransi ta’awun ini. Wabillahittaufiq.
Referensi:
- Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta)
- Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA
- al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA
- Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi.
- Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net)
Footnotes:
[1] Kamus Umum
Bahasa Indonesia, susunan W.J.S Purwodarminto, cetakan ke-8 tahun
1984, Balai Pustaka, hal 63.
[2] Lihat
Undang-Undang No.2 Th 1992 tentang usaha perasuransian.
[3] Lihat pembahasan tentang asuransi oleh Ustadz Muslim Atsary pada artikel Sejarah dan bentuk - bentuk Asuransi
[3] Lihat pembahasan tentang asuransi oleh Ustadz Muslim Atsary pada artikel Sejarah dan bentuk - bentuk Asuransi
[4] Abhats Hai’at
Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan
fatwa (al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi
Arabiya, 4/36.
[5] At-Ta’mien wa Ahkamuhu oleh al-Tsanayaan hal 40, dinukil dari kitab Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah Wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA hal. 288.
[5] At-Ta’mien wa Ahkamuhu oleh al-Tsanayaan hal 40, dinukil dari kitab Al-’Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah Wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani, cetakan pertama tahun 2006M, Dar Kunuuz Isybiliyaa, KSA hal. 288.
[6] Lihat al-Fiqhu
al-Muyassarah,
Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof.
DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim
Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr,
Riyadh, KSA hal. 255.
[7] Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi, 3/267.
[7] Fiqhu an-Nawaazil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat, DR. Muhammad bin Husein al-Jiezaani, cetakan pertama tahun 1426H, dar Ibnu al-Juazi, 3/267.
[8] Akad
Tabarru’
adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan
tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial, lihat Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
[9] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnahu ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/38.
[10] Nidzom at-Ta’mien, Musthofa al-Zarqa’ hal. 42 dinukil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 289.
[9] Abhats Hai’at Kibar Ulama, disusun oleh Komite tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (al-Lajnahu ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta) Saudi Arabiya, 4/38.
[10] Nidzom at-Ta’mien, Musthofa al-Zarqa’ hal. 42 dinukil dari kitab al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat fiqhiyah ta’shiliyah wa tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 289.
[11] Al-Ghoror
wa Atsaruhu fi al-’Uquud,
DR. al-Dhoriir, cetakan kedua dari Mathbu’aat Majmu’ah Dalah
al-Barokah, hlm 638 dinukil dari Makalah DR. Kholid bin Ibrohim
al-Du’aijii berjudul Ru’yat
Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah
Hal 2. (lihat aldoijy@awalnet.net.sa atau www.saaid.net )
[12] Lihat tentang
hal ini dalam pembahasan at-Ta’mien
at-Ta’awuni al-Murakkab
dalam kitab al-’Uquud
al-Maaliyah al-Murakkabah,
Dirasat
Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat,
DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal. 291-311.
[13] Kelima
karekteristik ini diambil dari kitab al-’Uquud
al-Maaliyah al-Murakkabah,
Dirasat
Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat,
DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291
[14] kami ringkas dari dua sumber yaitu Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2-3 dan al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291 serta al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa hlm 255-256
[14] kami ringkas dari dua sumber yaitu Makalah DR. Kholid bin Ibrohim al-Du’aijii berjudul Ru’yat Syar’iyah fi Syarikat al-Ta’miin al Ta’aawuniyah Hal 2-3 dan al-’Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyat, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdillah al-’Imraani hal 290-291 serta al-Fiqhu al-Muyassarah, Qismu al-Mu’amalat Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa hlm 255-256
[15] Sebagaimana
menjadi hasil keputusan dari Nadwah (Simposium) al-Barkah ke 12 untuk
ekonomi islam, ketetapan dan anjuran Nadwah al-Barkah lil Iqtishad
al-Islami hal. 212.
***
Penulis: Ustadz
Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasi ulang
dari www.ekonomisyariat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar