Saudara-saudara sekalian, berikut ini adalah diskusi antara
ustadz Muhammad Arifin Badri yang merupakan pembina milis Pengusaha Muslim
dengan seorang ustadz praktisi perbankan syariah (selanjutnya disingkat UPPS).
Sebelum saudara membaca diskusi ini, ada baiknya kami
jelaskan latar belakang terjadinya diskusi. Diskusi bermula ketika UPPS
tersebut mengkritisi jawaban ustadz Muhammad Arifin Badri terhadap pertanyaan
tentang hukum meminjam uang di bank syariah. Berikut ini kami sertakan Tanya
Jawab tersebut:
Pertanyaan:
Assalamualaikum
Saya mau tanya, saya punya rumah sudah saatnya perlu diperbaiki/renovasi, tetapi saya belum mempunyai uang yang cukup untuk memperbaikinya. Kalau saya meminjam uang dari bank (seperti Bank Syariah Mandiri, yang notabene berbasiskan agama Islam, maaf terpaksa menyebutkan namanya) bagaimana?
Saya mau tanya, saya punya rumah sudah saatnya perlu diperbaiki/renovasi, tetapi saya belum mempunyai uang yang cukup untuk memperbaikinya. Kalau saya meminjam uang dari bank (seperti Bank Syariah Mandiri, yang notabene berbasiskan agama Islam, maaf terpaksa menyebutkan namanya) bagaimana?
Kalau di bank tersebut, tidak menyebutnya dengan bunga,
tetapi dengan istilah lainnya. Apakah itu termasuk haram?
Jazakumullah khairan katsiran.
Wassalamualaikum.
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Selama akadnya adalah hutang-piutang, maka setiap keuntungan
atau tambahan yang dipersyaratkan atau disepakati oleh kedua belah pihak adalah
riba dan itu diharamkan dalam Islam. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat
Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu:
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba."
"Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba."
Ucapan Fudholah bin Ubaid radhiallahu 'anhu
diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat
Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhiallahu
'anhuma. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Dan piutang yang
mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang
sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya
sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik." (Majmu' Fatawa Ibnu
Taimiyyah 29/334)
Adapun perubahan nama atau sebutan itu tidak dapat merubah
hukum, bahkan itu semakin menjadikan dosanya berlipat ganda, dosa memakan riba
dan dosa memanipulasi syari'at Allah.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal;-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal;-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsir serta disetujui oleh al-Albani)
Untuk mengetahui apakah akad yang ditawarkan oleh bank
adalah akad hutang piutang atau akad istisna' atau murabahah, anda dapat
mengetahuinya dengan menjawab dua pertanyaan berikut:
- Siapakah yang mendatangkan barang kepada saudara? Bila bank mendatangkan barang, maka itu adalah perniagaan biasa, akan tetapi bila saudara yang mendatangkan barang, maka itu berarti akad hutang piutang.
- Kepada siapakah saudara mengajukan komplain bila terjadi kerusakan atau cacat pada barang/pekerjaan yang anda peroleh dengan akad itu? Bila bank tidak mau tanggung jawab atas setiap komplain terhadap barang yang anda peroleh melalui akad itu, maka akad yang terjadi adalah hutang-piutang. Akan tetapi bila bank bertanggung jawab atas kerusakan pada barang yang anda peroleh melalui akad itu, berarti akad itu adalah akad perniagaan biasa dan insya Allah halal.
Perlu diketahui, bahwa dalam syari'at perniagaan dalam Islam
yang dibenarkan untuk mengambil keuntungan ialah orang yang punya kewajiban
menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallalllahu
'alaihi wa sallam:
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
Wallahu a'alam bisshowab.
Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Berikut ini komentar UPPS terhadap jawaban ustadz Muhammad
Arifin Badri di atas (diapit dengan tanda //), dan pada bagian bawah setiap
komentar UPPS kami sertakan tanggapan ustadz Muhammad Arifin Badri.
[DIALOG 1]
[Komentar UPPS]
Pertama, akad yang dijalankan pada bank syariah untuk pengadaan rumah atau konsumtif lainnya adalah jual beli secara murabahah dan bukan hutang piutang (qardh), dengan demikian tidak berlaku hukum qardh, yang jika ada added value dikategorikan sebagai riba atau bunga yang haram. Added value yang timbul adalah profit atau margin dari jual beli barang dan bukan jual beli uang.
Pertama, akad yang dijalankan pada bank syariah untuk pengadaan rumah atau konsumtif lainnya adalah jual beli secara murabahah dan bukan hutang piutang (qardh), dengan demikian tidak berlaku hukum qardh, yang jika ada added value dikategorikan sebagai riba atau bunga yang haram. Added value yang timbul adalah profit atau margin dari jual beli barang dan bukan jual beli uang.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sangat berbahagia hati ini mendapatkan kesempatan untuk
berdiskusi dengan UPPS, salah seorang ustadz Dewan Syariah Nasional. Semoga
saya bisa menimba ilmu dan pengalaman yang banyak dari beliau.
Menanggapai komentar Anda di atas, ada beberapa hal yang
perlu didudukkan dengan jelas, agar kita tidak salah berpendapat:
1. Bila akad yang dijalin antara Bank Syari'ah dengan
nasabah (pemilik rumah yang hendak merenovasi rumahnya) adalah akad murabahah
seperti yang Anda sampaikan, maka ini bertentangan dengan komentar kedua Anda
di bawah (silakan lihat bagian Diskusi 2 –ed); Anda mengakui bahwa bank adalah
lembaga intermediary alias penghubung. Berdasarkan pengakuan Anda di bawah
berarti status bank hanyalah sebagai mediator alias calo atau perantara. Bila
demikian adanya, maka seharusnya yang diperoleh oleh bank adalah upah/ujrah,
dan bukan ar ribhu (keuntungan) yang dihitung dalam prosentasi dari keuntungan
proyek. Saya yakin Anda sepakat dengan saya bahwa ujrah/upah berbeda dengan
bagi hasil. Bila bank bersikukuh untuk tetap mengambil bagi hasil dan bukan
ujrah, maka sikap ini menjadikan akad yang ia jalankan ternodai oleh gharar dan
itu diharamkan:
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan (gharar)." (Riwayat Muslim)
2. Dan kalau Anda tetap menganggap bahwa akad yang dijalin antara bank dengan pemakai jasa yaitu pemilik rumah adalah akad murabahah, maka berarti bank telah menjual barang yang belum ia miliki atau belum sepenuhnya dimiliki, karena barang masih berada di tempat dan tanggung jawab penjual pertama, dan itu nyata-nyata diharamkan dalam banyak hadits. Diantaranya pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad 3/401, 403, Abu Dawud, no: 3503, An Nasa'i 2/225, At Tirmizy no: 1232, Ibnu Majah no: 2187, As Syafi'i no: 1249, Ibnul Jarud no: 602, Ad Daraquthny 3/15, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem 8/519.)
3. Dan bila akad yang terjadi antara bank dengan pemilik rumah adalah gabungan antara murabahah dengan ijarah (jual jasa sebagai perantara) maka itu namanya manipulasi syari'at, dan ini lebih besar dosanya.
"Janganlah kalian melakukan apa yang pernah diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian melanggar hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit rekayasa." (Riwayat Ibnu Batthoh dengan sanad yang dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan lainnya). Dan pada hadits lain dikisahkan salah satu bentuk perilaku orang-orang yahudi yang mengakali hukum Allah dengan cara-cara yang membuktikan akan buruknya keimanan dan akal mereka.
Dari sahabat Jabir radhiallahu 'anhu bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), di saat beliau masih berada di kota Makkah, bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa jalla dan Rasul-Nya, telah mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, khinzir (babi) dan berhala (patung)." Lalu dikatakan kepada beliau: "Ya, Rasulullah, bagaimanakan halnya dengan lemak bangkai, karena ia digunakan untuk melumasi perahu, dan meminyaki (melumuri) kulit, juga digunakan untuk bahan bakar lentera?" Beliaupun menjawab: "Tidak, itu (menjual lemak bangkai) adalah haram." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
[DIALOG 2]
[Komentar UPPS]
Kedua, bank adalah lembaga intermediary dan bukan sektor real, sehingga pengadaan barang tidak dapat terlepas dari pihak ketiga (dealer, supplier, atau developer). Kepastian kepemilikan atas barang yang dijual oleh bank syariah adalah dengan mekanisme wakalah, wujud teknisnya purchasing order (PO). Hal demikian sudah diapprove oleh DSN MUI.
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan (gharar)." (Riwayat Muslim)
2. Dan kalau Anda tetap menganggap bahwa akad yang dijalin antara bank dengan pemakai jasa yaitu pemilik rumah adalah akad murabahah, maka berarti bank telah menjual barang yang belum ia miliki atau belum sepenuhnya dimiliki, karena barang masih berada di tempat dan tanggung jawab penjual pertama, dan itu nyata-nyata diharamkan dalam banyak hadits. Diantaranya pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad 3/401, 403, Abu Dawud, no: 3503, An Nasa'i 2/225, At Tirmizy no: 1232, Ibnu Majah no: 2187, As Syafi'i no: 1249, Ibnul Jarud no: 602, Ad Daraquthny 3/15, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem 8/519.)
3. Dan bila akad yang terjadi antara bank dengan pemilik rumah adalah gabungan antara murabahah dengan ijarah (jual jasa sebagai perantara) maka itu namanya manipulasi syari'at, dan ini lebih besar dosanya.
"Janganlah kalian melakukan apa yang pernah diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian melanggar hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit rekayasa." (Riwayat Ibnu Batthoh dengan sanad yang dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan lainnya). Dan pada hadits lain dikisahkan salah satu bentuk perilaku orang-orang yahudi yang mengakali hukum Allah dengan cara-cara yang membuktikan akan buruknya keimanan dan akal mereka.
Dari sahabat Jabir radhiallahu 'anhu bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), di saat beliau masih berada di kota Makkah, bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa jalla dan Rasul-Nya, telah mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, khinzir (babi) dan berhala (patung)." Lalu dikatakan kepada beliau: "Ya, Rasulullah, bagaimanakan halnya dengan lemak bangkai, karena ia digunakan untuk melumasi perahu, dan meminyaki (melumuri) kulit, juga digunakan untuk bahan bakar lentera?" Beliaupun menjawab: "Tidak, itu (menjual lemak bangkai) adalah haram." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
[DIALOG 2]
[Komentar UPPS]
Kedua, bank adalah lembaga intermediary dan bukan sektor real, sehingga pengadaan barang tidak dapat terlepas dari pihak ketiga (dealer, supplier, atau developer). Kepastian kepemilikan atas barang yang dijual oleh bank syariah adalah dengan mekanisme wakalah, wujud teknisnya purchasing order (PO). Hal demikian sudah diapprove oleh DSN MUI.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Bila benar ini yang terjadi maka praktek inipun tidak selamat, karena bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan dan masih berada dalam tanggung jawab (dhoman) penjual pertama. Dan ini diharamkan oleh banyak ulama, diantaranya oleh ulama yang bermazhab Syafi'i yang merupakan mazhab umat Islam di negeri kita tercinta. Saya yakin Anda mengetahui perselisihan ulama' seputar masalah:
Pengharaman ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
Dari sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya." Ibnu 'Abbas berkata: "Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan." (Muttafaqun 'alaih)
Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
Dari sahabat Ibnu Umar, ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut), tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: "Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing." (HR Abu Dawud dan Al Hakim). (Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqiq. Baca Nasbu ar-Rayah 4/43 , dan at-Tahqiq 2/181).
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diserahterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab: "Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut: "Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja." (Fathu al-Bari, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4/348-349)
Adapun apa yang Anda sebutkan bahwa kepastian kepemilikan ditempuh dengan mekanisme wakalah, maka itu menurut syari'at belum cukup, sebagaimana ditegaskan pada hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Berdasarkan kedua hadits di atas dan juga lainnya, para ulama syari'at, melarang kita untuk menjual kembali barang yang kita beli sebelum barang itu berpindah dari tempat penjual pertama dan keluar dari dhomannya (tanggung jawabnya).
Karenanya, bila terjadi komplain terhadap barang yang dibeli, konsumen tidak mengajukan komplain ke bank, akan tetapi ke pihak developer, atau supplier, atau penjual pertama, sedangkan pihak bank terlepas dari komplain itu. Sebagaimana apabila pada tengah-tengah pengadaan barang kemudian terjadi musibah, pihak bank juga tidak mau tanggung jawab, dan sepenuhnya tanggung jawab dibebankan kepada pihak ke-3 yang berperan sebagai penyedia barang, baik itu developer atau supplier atau lainnya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya dan belum sepenuhnya masuk ke dalam tanggung jawabnya. Padahal diantara prinsip perniagaan dalam islam yang disepakati oleh seluruh ulama' menegaskan:
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian."
Atau dalam ungkapan lain sering juga disebut
"Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan."
Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
[DIALOG 3]
[Komentar Ustadz UPPS]
Ketiga, fatwa yang tidak keluar dan tidak didukung real case studi di lapangan akan menghasilkan fatwa yang keliru atau syadz, dengan demikian kita harapkan para ustadz atau yang sejenis kalau belum memahami hakekat operasional bank, jangan sekali kali melakukan "penilaian dini" yg berdampak fatal dan merusak kafa'ah ilmiyah.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Sebaliknya juga demikian, fakta yang tidak sesuai dengan fatwa juga salah. Yang saya maksud, adanya fatwa halal belum cukup untuk menjadi jaminan halal atau tidaknya suatu transaksi, sebab bisa saja fatwanya benar akan tetapi aplikasi di lapangan -karena berbagai alasan- menyeleweng dari fatwa tersebut. Terlebih-lebih fatwa DSN MUI tidak sampai membahas pada teknis aplikasinya di lapangan, padahal bisa saja pada tahap aplikasi terdapat penyelewengan.
Dan kalau tidak salah fatwa DSN MUI jumlahnya lebih sedikit dibanding jenis transaksi dan akad yang dijalankan oleh perbankan syariat yang ada (mohon koreksi).
Dan pada kesempatan ini, saya juga perlu mengingatkan saudara-saudaraku para praktisi perbankan syari'at dengan petuah Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu berikut:
"Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah faham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba." (Ucapan beliau dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky)
Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At Tirmizy dengan teks yang sedikit berbeda: "Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah memiliki bekal ilmu agama." (Riwayat ini dihasankan oleh Al Albany)
Imam Al Qurthuby Al Maliky menjelaskan: "Orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya. Hal ini juga berlaku pada orang kafir yang tinggal di negri Islam." (Ahkaamul Qur'an oleh Imam Al Qurthuby Al Maaliky 5/29)
Menyandingkan antara ilmu syariat dengan ilmu tentang realiti ini begitu penting, karena seorang mufti yang tidak paham akan realita permasalahan yang hendak ia hukumi sangat dimungkinkan akan salah dalam berfatwa. Dan Seorang praktisi yang kurang menguasai ilmu agama, sangat dimungkinkan tersesat ketika hendak menerapkan fatwa, terlebih-lebih realita suatu akad atau kejadian menurut ulama terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama:
Realita yang memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syariat.
Bagian kedua:
Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syar'i.
Realita jenis kedua ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan (الأوصاف الطردية). Dan realita jenis kedua ini termasuk dalam "ilmu yang bila diketahui tidak ada manfaatnya, dan bila tidak diketahui juga tidak merugikan."
Contoh nyata dari kedua jenis realita di atas:
A. Berlakunya hukum riba pada emas dan perak (dinar dan dirham) tidak ada kaitannya dengan warna dan bentuk keduanya. Tidak setiap yang berwarna kuning atau putih berkilau berlaku padanya hukum riba, walaupun pada kenyataanya emas berwarna kuning, dan perak berwarna putih berkilau.
B.Diharamkannya khomer, apakah hanya karena ia terbuat dari jus anggur, sehingga minuman yang terbuat dari bahan-bahan lain tidak haram, walaupun memabukkan?
Minuman yang diolah dari bahan tebu atau lainnya, diramu dengan teknologi tinggi, disterilisasi, dan dikemas dengan kemasan yang bagus lagi menarik, kemudian diminum di tempat-tempat yang terhormat, bukan di bar akan tetapi di masjid (misalnya), apakah tidak dikatakan khamr? Tentu orang yang memahami hukum syariat tentang keharaman khamr tidak akan berubah fatwanya hanya karena adanya perubahan dalam hal-hal ini. Syariat pengharaman khamr bukan karena bahan bakunya, akan tetapi sifat memabukkan yang ada pada minuman itu. Dengan demikian, setiap yang memabukkan dalam syariat disebut khamr, dan setiap yang memabukkan maka haram hukumnya.
"Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram." (HR Muslim)
Kaitannya dengan permasalahan ini: Dalam fatwa, seorang ahli fiqih tidak diharuskan mengetahui seluk beluk setiap masalah hingga sedetail mungkin, akan tetapi ia cukup mengetahui seluk beluk permasalahan yang mempengaruhi hukum dan dipertimbangkan dalam syariat.
Dan dalam kasus yang menjadi tema pembahasan yaitu akad murabahah dengan merenovasi rumah, atau pengadaan barang konsumtif lainnya telah jelas terdapat unsur-unsur yang terlarang dalam syariat, yaitu gharar atau riba, sebagaimana dijelaskan pada tanggapan saya di atas. Dan saya yakin Anda mengetahui bahwa gharar atau riba adalah bagian dari keempat yang menjadikan suatu akad terlarang dalam syariat. Keempat hal itu ialah:
1. Barang yang menjadi obyek akad adalah barang yang diharamkan.
2. Adanya faktor riba,
3. Adanya faktor ketidak jelasan (gharar),
4. Adanya persyaratan yang akan mengakibatkan terjadinya praktek riba atau ketidak jelasan.
[DIALOG 4]
[Komentar UPPS]
Keempat, fatwa tentang praktek bank syariah dengan akad jual beli secara murabahah sudah diterbitkan bukan hanya level nasional akan tetapi internasional (AAOIFI dan Majma al Fiqh al Islamy OKI)
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Adanya fatwa tentang halalnya murabahah bukanlah hal yang baru. Akan tetapi poin penting yang perlu diingat adalah pemahaman dan aplikasi akad murabahah yang ada di perbankan syariah yang ada. Apakah sesuai dengan murabahah yang dihalalkan oleh para ulama atau hanya sekedar persamaan nama, akan tetapi hakekatnya berbeda?
Saya yakin ustadz mengetahui bahwa istilah murabahah di sini tidaklah sama dengan istilah murabahah yang dimaksudkan oleh para ulama zaman dahulu, atau yang oleh masyakarat sekarang disebut dengan istilah fiqih klasik. Menurut fikih ulama zaman dahulu, murabah ialah seorang pedagang menjual barang yang telah ia miliki kepada konsumen dengan menyebutkan modal pembelian yang ditambah dengan keuntungan dalam persentase atau nominal tertentu.
Agar para pembaca dapat mengetahui perbedaan fatwa Majma' Al Fiqh Al Islami di bawah organisasi OKI, dari aplikasi murabahah yang dijalankan oleh perbankan syariat di negeri kita, berikut saya nukilkan fatwa mereka:
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada sayyidina Muhammad, penghulu para nabi, kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
Keputusan No: 40- 41(2/5 & 3/5)
Perihal:
Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan.
Sesungguhnya rapat pleno Majma' Al Fiqih Al Islami Ad Dauly yang kelima yang diadakan di Kuwait sejak tanggal 1 - 6 Jumadil Ula 1409 H yang bertepatan 10 – 15 Desember 1988 M.
Setelah mengkaji lembar kerja yang diajukan oleh anggota Majma' Al Fiqih dan juga yang ditulis oleh para pakar tentang dua permasalahan: Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan, serta setelah mendengarkan berbagai diskusi anggota Majma' tentang keduanya, maka Majma' Al Fiqih memutuskan:
Pertama:
Akad jual-beli murabahah dengan pemesan bila dilakukan pada barang yang telah sepenuhnya dimiliki oleh penjual penerima pesanan, dan sepenuhnya telah diserahterimakan secara syariat, maka itu adalah akad yang dibolehkan.
Dengan catatan:
Bila benar ini yang terjadi maka praktek inipun tidak selamat, karena bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan dan masih berada dalam tanggung jawab (dhoman) penjual pertama. Dan ini diharamkan oleh banyak ulama, diantaranya oleh ulama yang bermazhab Syafi'i yang merupakan mazhab umat Islam di negeri kita tercinta. Saya yakin Anda mengetahui perselisihan ulama' seputar masalah:
Pengharaman ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
Dari sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya." Ibnu 'Abbas berkata: "Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan." (Muttafaqun 'alaih)
Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
Dari sahabat Ibnu Umar, ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut), tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: "Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing." (HR Abu Dawud dan Al Hakim). (Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqiq. Baca Nasbu ar-Rayah 4/43 , dan at-Tahqiq 2/181).
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diserahterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhu ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab: "Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut: "Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja." (Fathu al-Bari, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4/348-349)
Adapun apa yang Anda sebutkan bahwa kepastian kepemilikan ditempuh dengan mekanisme wakalah, maka itu menurut syari'at belum cukup, sebagaimana ditegaskan pada hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Berdasarkan kedua hadits di atas dan juga lainnya, para ulama syari'at, melarang kita untuk menjual kembali barang yang kita beli sebelum barang itu berpindah dari tempat penjual pertama dan keluar dari dhomannya (tanggung jawabnya).
Karenanya, bila terjadi komplain terhadap barang yang dibeli, konsumen tidak mengajukan komplain ke bank, akan tetapi ke pihak developer, atau supplier, atau penjual pertama, sedangkan pihak bank terlepas dari komplain itu. Sebagaimana apabila pada tengah-tengah pengadaan barang kemudian terjadi musibah, pihak bank juga tidak mau tanggung jawab, dan sepenuhnya tanggung jawab dibebankan kepada pihak ke-3 yang berperan sebagai penyedia barang, baik itu developer atau supplier atau lainnya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya dan belum sepenuhnya masuk ke dalam tanggung jawabnya. Padahal diantara prinsip perniagaan dalam islam yang disepakati oleh seluruh ulama' menegaskan:
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian."
Atau dalam ungkapan lain sering juga disebut
"Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan."
Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian –jika hal itu terjadi-. Kaidah ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata: "Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Keuntungan adalah imbalan atas kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dihasankan oleh Al Albani)
[DIALOG 3]
[Komentar Ustadz UPPS]
Ketiga, fatwa yang tidak keluar dan tidak didukung real case studi di lapangan akan menghasilkan fatwa yang keliru atau syadz, dengan demikian kita harapkan para ustadz atau yang sejenis kalau belum memahami hakekat operasional bank, jangan sekali kali melakukan "penilaian dini" yg berdampak fatal dan merusak kafa'ah ilmiyah.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Sebaliknya juga demikian, fakta yang tidak sesuai dengan fatwa juga salah. Yang saya maksud, adanya fatwa halal belum cukup untuk menjadi jaminan halal atau tidaknya suatu transaksi, sebab bisa saja fatwanya benar akan tetapi aplikasi di lapangan -karena berbagai alasan- menyeleweng dari fatwa tersebut. Terlebih-lebih fatwa DSN MUI tidak sampai membahas pada teknis aplikasinya di lapangan, padahal bisa saja pada tahap aplikasi terdapat penyelewengan.
Dan kalau tidak salah fatwa DSN MUI jumlahnya lebih sedikit dibanding jenis transaksi dan akad yang dijalankan oleh perbankan syariat yang ada (mohon koreksi).
Dan pada kesempatan ini, saya juga perlu mengingatkan saudara-saudaraku para praktisi perbankan syari'at dengan petuah Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu berikut:
"Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah faham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba." (Ucapan beliau dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky)
Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At Tirmizy dengan teks yang sedikit berbeda: "Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, kecuali orang yang telah memiliki bekal ilmu agama." (Riwayat ini dihasankan oleh Al Albany)
Imam Al Qurthuby Al Maliky menjelaskan: "Orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya. Hal ini juga berlaku pada orang kafir yang tinggal di negri Islam." (Ahkaamul Qur'an oleh Imam Al Qurthuby Al Maaliky 5/29)
Menyandingkan antara ilmu syariat dengan ilmu tentang realiti ini begitu penting, karena seorang mufti yang tidak paham akan realita permasalahan yang hendak ia hukumi sangat dimungkinkan akan salah dalam berfatwa. Dan Seorang praktisi yang kurang menguasai ilmu agama, sangat dimungkinkan tersesat ketika hendak menerapkan fatwa, terlebih-lebih realita suatu akad atau kejadian menurut ulama terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama:
Realita yang memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syariat.
Bagian kedua:
Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syar'i.
Realita jenis kedua ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan (الأوصاف الطردية). Dan realita jenis kedua ini termasuk dalam "ilmu yang bila diketahui tidak ada manfaatnya, dan bila tidak diketahui juga tidak merugikan."
Contoh nyata dari kedua jenis realita di atas:
A. Berlakunya hukum riba pada emas dan perak (dinar dan dirham) tidak ada kaitannya dengan warna dan bentuk keduanya. Tidak setiap yang berwarna kuning atau putih berkilau berlaku padanya hukum riba, walaupun pada kenyataanya emas berwarna kuning, dan perak berwarna putih berkilau.
B.Diharamkannya khomer, apakah hanya karena ia terbuat dari jus anggur, sehingga minuman yang terbuat dari bahan-bahan lain tidak haram, walaupun memabukkan?
Minuman yang diolah dari bahan tebu atau lainnya, diramu dengan teknologi tinggi, disterilisasi, dan dikemas dengan kemasan yang bagus lagi menarik, kemudian diminum di tempat-tempat yang terhormat, bukan di bar akan tetapi di masjid (misalnya), apakah tidak dikatakan khamr? Tentu orang yang memahami hukum syariat tentang keharaman khamr tidak akan berubah fatwanya hanya karena adanya perubahan dalam hal-hal ini. Syariat pengharaman khamr bukan karena bahan bakunya, akan tetapi sifat memabukkan yang ada pada minuman itu. Dengan demikian, setiap yang memabukkan dalam syariat disebut khamr, dan setiap yang memabukkan maka haram hukumnya.
"Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram." (HR Muslim)
Kaitannya dengan permasalahan ini: Dalam fatwa, seorang ahli fiqih tidak diharuskan mengetahui seluk beluk setiap masalah hingga sedetail mungkin, akan tetapi ia cukup mengetahui seluk beluk permasalahan yang mempengaruhi hukum dan dipertimbangkan dalam syariat.
Dan dalam kasus yang menjadi tema pembahasan yaitu akad murabahah dengan merenovasi rumah, atau pengadaan barang konsumtif lainnya telah jelas terdapat unsur-unsur yang terlarang dalam syariat, yaitu gharar atau riba, sebagaimana dijelaskan pada tanggapan saya di atas. Dan saya yakin Anda mengetahui bahwa gharar atau riba adalah bagian dari keempat yang menjadikan suatu akad terlarang dalam syariat. Keempat hal itu ialah:
1. Barang yang menjadi obyek akad adalah barang yang diharamkan.
2. Adanya faktor riba,
3. Adanya faktor ketidak jelasan (gharar),
4. Adanya persyaratan yang akan mengakibatkan terjadinya praktek riba atau ketidak jelasan.
[DIALOG 4]
[Komentar UPPS]
Keempat, fatwa tentang praktek bank syariah dengan akad jual beli secara murabahah sudah diterbitkan bukan hanya level nasional akan tetapi internasional (AAOIFI dan Majma al Fiqh al Islamy OKI)
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Adanya fatwa tentang halalnya murabahah bukanlah hal yang baru. Akan tetapi poin penting yang perlu diingat adalah pemahaman dan aplikasi akad murabahah yang ada di perbankan syariah yang ada. Apakah sesuai dengan murabahah yang dihalalkan oleh para ulama atau hanya sekedar persamaan nama, akan tetapi hakekatnya berbeda?
Saya yakin ustadz mengetahui bahwa istilah murabahah di sini tidaklah sama dengan istilah murabahah yang dimaksudkan oleh para ulama zaman dahulu, atau yang oleh masyakarat sekarang disebut dengan istilah fiqih klasik. Menurut fikih ulama zaman dahulu, murabah ialah seorang pedagang menjual barang yang telah ia miliki kepada konsumen dengan menyebutkan modal pembelian yang ditambah dengan keuntungan dalam persentase atau nominal tertentu.
Agar para pembaca dapat mengetahui perbedaan fatwa Majma' Al Fiqh Al Islami di bawah organisasi OKI, dari aplikasi murabahah yang dijalankan oleh perbankan syariat di negeri kita, berikut saya nukilkan fatwa mereka:
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada sayyidina Muhammad, penghulu para nabi, kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
Keputusan No: 40- 41(2/5 & 3/5)
Perihal:
Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan.
Sesungguhnya rapat pleno Majma' Al Fiqih Al Islami Ad Dauly yang kelima yang diadakan di Kuwait sejak tanggal 1 - 6 Jumadil Ula 1409 H yang bertepatan 10 – 15 Desember 1988 M.
Setelah mengkaji lembar kerja yang diajukan oleh anggota Majma' Al Fiqih dan juga yang ditulis oleh para pakar tentang dua permasalahan: Kewajiban memenuhi perjanjian, dan hukum murabahah dengan pemesan, serta setelah mendengarkan berbagai diskusi anggota Majma' tentang keduanya, maka Majma' Al Fiqih memutuskan:
Pertama:
Akad jual-beli murabahah dengan pemesan bila dilakukan pada barang yang telah sepenuhnya dimiliki oleh penjual penerima pesanan, dan sepenuhnya telah diserahterimakan secara syariat, maka itu adalah akad yang dibolehkan.
Dengan catatan:
- Penjual penerima pesanan bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi sebelum barang diserahkan kepada pemesan.
- Bertanggung jawab atas resiko komplain/pengembalian barang karena ada cacat (khafi) yang tidak diketahui oleh penjual pertama/penyedia barang atau alasan serupa yang membolehkan pemesan untuk mengembalikan barang.
- Memenuhi berbagai persyaratan jual-beli.
- Terbebas dari berbagai faktor yang menjadikan akad jual-beli terlarang.
Kedua: Janji/komitmen sepihak dari
pemesan atau penjual secara agama bersifat mengikat pihak yang berjanji,
kecuali bila ada uzur. Dan janji itu juga mengikat secara peradilan bila
dikaitkan dengan suatu sebab sehingga pihak yang dijanjikan terlanjur melakukan
pembiayaan dikarenakan janji tersebut. Aplikasi dari sifat mengikat tersebut
pada keadaan semacam ini diwujudkan dengan memenuhi janji, baik dengan
mengganti kerugian yang benar-benar terjadi akibat dari tidak dipenuhinya janji
pembelian atau penjualan yang tanpa alasan.
Ketiga: Janji/Komitmen dari kedua belah pihak (bukan sepihak) dibolehkan dalam akad murabahah dengan ketentuan harus ada hak khiyar (hak membatalkan akad) bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Dengan demikian, bila pada akad tidak ada hak khiyar (membatalkan akad) sama sekali, maka akad ini tidak dibenarkan; karena janji yang sepenuhnya mengikat (tanpa ada hak khiyar) pada akad murabahah seperti ini serupa dengan akad jual beli biasa. Pada keadaan semacam ini dipersyaratkan agar penjual terlebih dahulu telah memiliki barang yang diperjual-belikan, agar tidak melanggar larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya.
Majma' Al Fiqh Al Islamy merekomendasikan berikut:
Berdasarkan fakta yang didapatkan di lapangan bahwa kebanyakan kegiatan perbankan Islam mengarah pada pembiayaan melalui skema murabahah dengan pemesan.
Pertama: Hendaknya gerak seluruh perbankan Islam mencakup seluruh metode pengelolaan perekonomian, terlebih-lebih dengan mendirikan berbagai proyek industri atau perdagangan, baik mandiri atau melalui menanamkan modal, atau menjalin akad mudharabah (bagi hasil) dengan pihak-pihak lain.
Kedua: Hendaknya diadakan studi banding seputar aplikasi akad murabahah dengan pemesan yang diterapkan oleh perbankan Islam, guna meletakkan pedoman-pedoman yang jelas sehingga pada tahapan prakteknya tidak terjerumus ke dalam kesalahan, serta memudahkan bagi praktisi perbankan dalam mengindahkan berbagai hukum syariat secara umum atau yang berlaku khusus pada akad murabah dengan pemesan. Wallahu a'lam. (Disadur dari majalah Majma' Al Fiqh Al Islami edisi 5, jilid 2 hal: 754 & 965)
***
Dengan demikian, jelaslah bahwa Majma' Al Fiqhi Al Islami TIDAK MENGHALALKAN AKAD MURABAHAH SECARA MUTLAK. Akad murabahah yang dihalalkan adalah yang memenuhi beberapa persyaratan yang telah dijelaskan pada keputusan di atas. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dirisaukan pada tulisan saya, karena yang saya permasalahkan bukan hukum asal akad murabahah, akan tetapi aplikasinya yang ada di perbankan syariat di negeri kita.
Ada satu hal yang perlu dicatat di sini: Sudah saatnya bagi setiap muslim di negeri kita untuk bersikap kritis, sehingga tidak cukup dengan adanya fatwa halal atau haram terhadap suatu hal, akan tetapi terus mengawal fatwa tersebut hingga pada tahap aplikasinya di lapangan atau masyarakat. Wallahu a'lam bisshowab.
Diskusi bagian kedua ini bermula ketika moderator milis Pengusaha Muslim menanggapi komentar UPPS. Kemudian UPPS memberikan komentar balik. Komentar UPPS terhadap moderator milis Pengusaha Muslim kemudian ditanggapi kembali oleh ustadz Muhammad Arifin Badri (pembina milis Pengusaha Muslim).
[Komentar Moderator Milis]
Assalamu 'alaikum warohmatullah wabarokatuh
Terimakasih pak, tentang hal ini sudah kami sampaikan kepada ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. yang insya Allah beliau juga memiliki kapasitas di bidang ini (beliau sekarang sedang menyelesaikan S3 di Jami'ah Islamiyah Madinah, Arab Saudi). Satu hal yang menjadi catatan di sini adalah: kajian terhadap Bank Syariah masih terbuka lebar untuk dibahas dan dikritisi, dan bahkan DSN MUI pun masih sangat pantas untuk dikritisi (tentunya dengan adab dan ilmiah).
Di antara pertanyaan di benak saya (mungkin ini agak melebar dari topik): apakah benar ada jaminan dari DSN MUI bahwa praktek perbankan sudah aman 100 persen secara syariat? Jika belum aman 100 persen, maka bagian manakah dari praktek perbankan syariah yang perlu diwaspadai oleh ummat? tentu hal ini harus dipaparkan dan diungkapkan oleh DSN MUI kepada ummat, tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi. Pertanyaan selanjutnya, sampai sejauh mana kontrol DSN MUI terhadap praktek perbankan syariah di Indonesia?
Terimakasih. Mohon maaf atas kata-kata yang kurang berkenan.
Moderator
[DIALOG 1]
[Komentar UPPS]
Tidak ada yg bisa menjamin akan aplikasi perenial values atau kesyariahan dalam angka 100% pada pribadi muslim, terlebih dalam sebuah lembaga bisnis yang relatif lebih komplek, hatta pada masa Nabi saw, karena masih ditemukan juga perilaku jahiliyah yang secara langsung disaksikan Nabi saw.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saya merasa heran dengan komentar Anda di atas. Terkesan ada upaya menutup rapat-rapat pintu kritik dari masyarakat umum terhadap perbankan Islam yang ada di negeri kita. Yang lebih mengherankan adalah ucapan Anda berikut:
"hatta pada masa Nabi saw, karena masih ditemukan juga perilaku jahiliyah yang secara langsung disaksikan Nabi saw."
Ucapan ini dapat menimbulkan kesan dan pemahaman yang kurang bagus pada pembaca. Bisa saja ada dari pembaca yang menyimpulkan bahwa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersikap kurang ajar sehingga tetap dengan sengaja melangggar syariat walaupun berada di hadapan nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentu kesan seperti ini tidak layak terbetik di pikiran seorang muslim yang mengenal dan paham bagaimana keluhuran akhlaq dan ketulusan batin para sahabat.
Selain itu, pernyataan Anda ini dapat menimbulkan kesan pada pembaca bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan sebagian sahabatnya melanggar syariat. Tentu ini tidak benar, mustahil Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan kemungkaran terjadi di hadapannya tanpa ada pengingkaran. Sebab diam ketika menyaksikan kemungkaran adalah perbuatan haram:
"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya (kekuatannya), jika tidak bisa, maka dengan lisannya dan bila tidak bisa maka dengan hatinya." (Riwayat Muslim)
Bila Anda menampik adanya dua kesan ini dari ucapannya, maka itu menuntut Anda untuk legowo menerima dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mengkritisi praktek perbankan syariah yang ada di negeri kita. Karena memang sulit untuk mencapai kesempurnaan dalam penerapan syariat, baik dalam skala pribadi atau lembaga, sehingga masukan dan kritikan harus tetap dibuka lebar-lebar. Dan sudah sepantasnya sebagai seorang muslim yang sejati untuk berlaku sebagai seorang pemberani dan ksatria bila terbukti salah dengan ruju' (kembali) kepada kebenaran.
"Setiap anak Adam sering melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat (kembali kepada kebenaran)." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Al Hakim)
[DIALOG 2]
[Komentar UPPS]
Pihak yang berkewajiban mengontrol dan mengawasi secara langsung akan produk dan praktek lembaga bisnis syariah adalah DPS bukan DSN MUI, DSN hanya bertugas menerbitkan fatwa yang terbatas dalam marhalah ijtihadiyah bukan pada marhalah tathbiqiyah.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, jika yang Anda maksudkan adalah tanggung jawab dan kewajiban secara kelembagaan, saya dapat menerima komentar Anda ini.
Akan tetapi kalau yang dimaksud adalah kewajiban secara umum, sehingga mencakup kewajiban secara moral dalam beragama maka saya tidak sependapat dengan Anda. Karena komentar Anda tersebut mengarah kepada pengekangan kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan bersikap. Seakan Anda ingin memaksakan agar masyarakat taqlid kepada DSN dan DPS. Padahal DSN dan DPS sendiri masih layak untuk dikritisi, sebagai konsekuensi langsung dari keterbatasan dan kekurangan yang senantiasa melekat pada diri setiap anak manusia, termasuk seluruh anggota DPS sebagaimana yang Anda paparkan sebelumnya, bahwa kesempurnaan dalam beragama itu sulit terwujud.
Masing-masing orang yang memiliki rencana atau bahkan terlanjur berhubungan dengannyapun memiliki kewajiban yang sama. Hanya dengan demikian, masing-masing pihak terkait dapat terbebas dari tanggung jawab moral di hadapan Allah. Karena kelak di hari kiamat, masing-masing manusia akan mempertanggungjawabkan amalannya masing-masing. Bagi seorang muslim yang meragukan atau bahkan meyakini bahwa praktek perbankan syariat yang ada sekarang ini masih belum atau tidak selaras dengan syariat islam, maka tidak pantas baginya untuk mempercayakan pengelolaan dananya kepada badan-badan tersebut.
"Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga ditanyai tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?, ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya?, harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan?, badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?" (Riwayat At Tirmizy, At Thabrany dan dishahihkan oleh Al Albani)
[DIALOG 3]
[Komentar UPPS]
Peluang untuk mengkritisi DSN sangat terbuka lebar, dan saya adalah orang yg sering mengkritik beberapa fatwa DSN khususnya di forum "Kompartemen Perbankan Syariah". Akan tetapi harus diingat mereka sudah berupaya sekuat mungkin untuk melakukan tugasnya, dan jika hasil ijtihad mereka salah, masih diberi satu pahala (insya Allah).
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya rasa peluang yang sama juga masih terbuka di hadapan kita terhadap DPS. Saya yakin Anda tetap komitmen terhadap ucapan Anda di atas bahwa mencapai kesempurnaan itu sulit dicapai. Karenanya saya yakin Anda pun masih menyadari bahwa DPS masih berpeluang melakukan kesalahan, baik disengaja atau tidak dalam menjalankan peranan dan tugasnya. Oleh karena itu sudah sepantasnya para praktisi perbankan syariat, dan seluruh komponen terkait untuk tetap legowo menghadapi kritikan dan hujatan dari berbagai pihak, selama kritikan itu berdasarkan dalil dan alasan yang kuat.
Masalah DSN MUI atau DPS telah berupaya sekuat tenaga, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menutup pintu kritik, sehingga bila terbukti ada kesalahan sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk tidak mengikuti kesalahan tersebut. Walaupun di sisi Allah para anggota DSN atau DPS tidak dianggap berdosa (bahkan mendapatkan pahala) bila tidak melakukan kesalahan yang disengaja.
Dan sebaliknya, sudah sepantasnya pula DPS dan DSN untuk menerima koreksi yang terbukti benar dan meninggalkan kesalahan mereka. Tidak sepantasnya usaha keras itu dijadikan alasan untuk mempertahankan kesalahan.
[DIALOG 4]
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, saya ingin bertanya: Bila terjadi pertentangan antara hukum dan paktek di lapangan, manakah yang harus diubah dan disesuaikan?
Saya yakin setiap muslim akan berpendapat bahwa yang harus aktif menyesuaikan diri adalah para praktisi dan bukan para ustadz, ulama atau para ahli fatwa. Jadi menurut hemat saya, istilah MEMBUMI harus diganti dengan istilah MELANGIT. Maksudnya, segala praktek dan pola hidup manusia haruslah diupayakan agar selaras dengan hukum Allah, sehingga para praktisilah yang harus aktif menyelaraskan produk ekonomi mereka dengan hukum-hukum Allah, bukan sebaliknya para ustadz dan ahli fatwa yang sibuk menyelaraskan fatwa mereka dengan paktek para praktisi ekonomi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al-Hujurat: 1)
Ibnu Katsir berkata:
"Hendaknya kalian tidak terburu-buru dalam setiap urusan sehingga melangkahi kehendak Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi seyogyanya kalian senantiasa menuruti kehendak Allah dan Rasul-Nya dalam segala urusanmu." (Tafsir Ibnu Katsir 7/364)
Bila para para ahli fatwa yang sibuk menyelaraskan fatwanya dengan praktek masyarakat maka sangat dimungkinkan para ahli fatwa akan terjerumus ke dalam kenistaan. Kenistaan yang saya maksud ialah menjual ayat-ayat Allah dan syariat-Nya, sehingga berfungsi sebagai label halal yang oleh para pedagang dijadikan sarana untuk mengeruk keuntungan.
Saya yakin Anda mengetahui sepenuhnya bahwa seorang ahli fatwa yang benar-benar bertakwa dan berilmu tidaklah akan berani berfatwa kecuali setelah mengetahui seluk beluak kejadian yang hendak ia hukumi. Karena bila seorang ahli fatwa belum menguasai permasalahan dengan baik maka ia terjerumus ke dalam ancaman firman Allah Ta'ala berikut:
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (Qs. An Nahl: 116)
[DIALOG 5]
[Komentar UPPS]
Saya pribadi beberapa kali membaca pengkritisan terhadap bank syariah yang dilakukan oleh alumni madinah, akan tetapi belum menyentuh aspek maslahat dan common practice sebuah bank.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, saya jadi kurang mengerti dengan pola pikir Anda dalam berijtihad dan menghukumi suatu masalah. Sebab dalam syariat Islam, maslahat dan kepentingan umat manusia dibatasi oleh syariat, bukan sebaliknya syariat dibatasi oleh maslahat dan kepentingan manusia. Saya kira Anda sudah tahu lebih banyak daripada saya tentang perbedaan antara keduanya. Terlebih-lebih syariat Islam diturunkan demi mewujudkan kemaslahatan ummat manusia, sehinga seorang muslim yang benar-benar beriman ialah orang yang senantiasa yakin dan mengimani bahwa kemaslahatannya terletak pada tindakan penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Tidak heran bila imam Izzuddin bin Abdissalam menuliskan bukunya:
قواعد الأحكام في مصالح الأنام
Pada kitab ini, beliau menjelaskan bahwa seluruh syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Oleh karena itu, manusia yang paling banyak mendapatkan maslahah ialah yang paling komitmen dengan ajaran agamanya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu." (Qs. Al Baqarah: 208)
Upaya para praktisi perbankan syariah yang ada di negeri kita dengan merintis dan mendirikan bank-bank yang berbasis syariat adalah salah satu bukti nyata akan apa yang saya utarakan di atas.
Dengan demikian, bila yang Anda maksudkan dari kata "maslahah" ialah maslahah yang masih berada dalam batasan syariat maka saya setuju dengan Anda. Akan tetapi bila yang Anda maksud adalah kemaslahatan yang berupa "yang penting perusahaan untung" maka saya tidak setuju, dan saya yakin Anda termasuk orang yang terdepan dalam memerangi "maslahat" semacam ini.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.' Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir." (Qs. Al Baqarah: 219)
Pada ayat ini dengan jelas Allah menyatakan bahwa pada khamr dan perjudian terdapat kemaslahatan, akan tetapi dikarenakan kemaslahatannya lebih kecil dibanding mafsadahnya, maka keduanya diharamkan.
Singkat kata, kata "maslahah" harus ditimbang dengan hukum syariat bukan hukum syariat ditimbang dengan "maslahah".
[DIALOG 6]
[Komentar UPPS]
Menurut hemat saya, orang yang paling "kriminil" adalah orang yang mencemooh praktek bank syariah dengan men-judge belum syariah sementara dirinya dan rekeningnya ada di bank ribawi, bahkan tidak malu-malu bertransaksi kartu kredit yang kontraknya jelas-jelas bunga.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang saya hormati, kalau masalah persepsi, maka kebalikan dari pendapat Anda pun tidak kalah besar nilai "kriminal"nya.
Dalam syariat Islam, mengharamkan yang halal sama dengan menghalalkan yang haram, sama-sama dosa besar:
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (Qs. An Nahl: 116)
Masalah kartu kredit, saya yakin Anda lebih mengetahui tentangnya dari pada saya, karena alhamdulillah hingga saat ini saya tidak pernah mempunyai kartu kredit, apatah pula kartu kredit, rekening bank saja alhamdulillah saya tidak punya. Semoga Allah Ta'ala senantiasa melindungi saya dan seluruh saudara kita seiman dan seakidah dari riba dan debunya. Wallahu a'alam bisshowab, mohon maaf sebelumnya bila ada kata-kata saya yang jahil ini yang mungkin kurang berkenan atau kurang santun.
Semoga sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ketiga: Janji/Komitmen dari kedua belah pihak (bukan sepihak) dibolehkan dalam akad murabahah dengan ketentuan harus ada hak khiyar (hak membatalkan akad) bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Dengan demikian, bila pada akad tidak ada hak khiyar (membatalkan akad) sama sekali, maka akad ini tidak dibenarkan; karena janji yang sepenuhnya mengikat (tanpa ada hak khiyar) pada akad murabahah seperti ini serupa dengan akad jual beli biasa. Pada keadaan semacam ini dipersyaratkan agar penjual terlebih dahulu telah memiliki barang yang diperjual-belikan, agar tidak melanggar larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya.
Majma' Al Fiqh Al Islamy merekomendasikan berikut:
Berdasarkan fakta yang didapatkan di lapangan bahwa kebanyakan kegiatan perbankan Islam mengarah pada pembiayaan melalui skema murabahah dengan pemesan.
Pertama: Hendaknya gerak seluruh perbankan Islam mencakup seluruh metode pengelolaan perekonomian, terlebih-lebih dengan mendirikan berbagai proyek industri atau perdagangan, baik mandiri atau melalui menanamkan modal, atau menjalin akad mudharabah (bagi hasil) dengan pihak-pihak lain.
Kedua: Hendaknya diadakan studi banding seputar aplikasi akad murabahah dengan pemesan yang diterapkan oleh perbankan Islam, guna meletakkan pedoman-pedoman yang jelas sehingga pada tahapan prakteknya tidak terjerumus ke dalam kesalahan, serta memudahkan bagi praktisi perbankan dalam mengindahkan berbagai hukum syariat secara umum atau yang berlaku khusus pada akad murabah dengan pemesan. Wallahu a'lam. (Disadur dari majalah Majma' Al Fiqh Al Islami edisi 5, jilid 2 hal: 754 & 965)
***
Dengan demikian, jelaslah bahwa Majma' Al Fiqhi Al Islami TIDAK MENGHALALKAN AKAD MURABAHAH SECARA MUTLAK. Akad murabahah yang dihalalkan adalah yang memenuhi beberapa persyaratan yang telah dijelaskan pada keputusan di atas. Dengan demikian, tidak ada yang perlu dirisaukan pada tulisan saya, karena yang saya permasalahkan bukan hukum asal akad murabahah, akan tetapi aplikasinya yang ada di perbankan syariat di negeri kita.
Ada satu hal yang perlu dicatat di sini: Sudah saatnya bagi setiap muslim di negeri kita untuk bersikap kritis, sehingga tidak cukup dengan adanya fatwa halal atau haram terhadap suatu hal, akan tetapi terus mengawal fatwa tersebut hingga pada tahap aplikasinya di lapangan atau masyarakat. Wallahu a'lam bisshowab.
Diskusi bagian kedua ini bermula ketika moderator milis Pengusaha Muslim menanggapi komentar UPPS. Kemudian UPPS memberikan komentar balik. Komentar UPPS terhadap moderator milis Pengusaha Muslim kemudian ditanggapi kembali oleh ustadz Muhammad Arifin Badri (pembina milis Pengusaha Muslim).
[Komentar Moderator Milis]
Assalamu 'alaikum warohmatullah wabarokatuh
Terimakasih pak, tentang hal ini sudah kami sampaikan kepada ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. yang insya Allah beliau juga memiliki kapasitas di bidang ini (beliau sekarang sedang menyelesaikan S3 di Jami'ah Islamiyah Madinah, Arab Saudi). Satu hal yang menjadi catatan di sini adalah: kajian terhadap Bank Syariah masih terbuka lebar untuk dibahas dan dikritisi, dan bahkan DSN MUI pun masih sangat pantas untuk dikritisi (tentunya dengan adab dan ilmiah).
Di antara pertanyaan di benak saya (mungkin ini agak melebar dari topik): apakah benar ada jaminan dari DSN MUI bahwa praktek perbankan sudah aman 100 persen secara syariat? Jika belum aman 100 persen, maka bagian manakah dari praktek perbankan syariah yang perlu diwaspadai oleh ummat? tentu hal ini harus dipaparkan dan diungkapkan oleh DSN MUI kepada ummat, tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi. Pertanyaan selanjutnya, sampai sejauh mana kontrol DSN MUI terhadap praktek perbankan syariah di Indonesia?
Terimakasih. Mohon maaf atas kata-kata yang kurang berkenan.
Moderator
[DIALOG 1]
[Komentar UPPS]
Tidak ada yg bisa menjamin akan aplikasi perenial values atau kesyariahan dalam angka 100% pada pribadi muslim, terlebih dalam sebuah lembaga bisnis yang relatif lebih komplek, hatta pada masa Nabi saw, karena masih ditemukan juga perilaku jahiliyah yang secara langsung disaksikan Nabi saw.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Saya merasa heran dengan komentar Anda di atas. Terkesan ada upaya menutup rapat-rapat pintu kritik dari masyarakat umum terhadap perbankan Islam yang ada di negeri kita. Yang lebih mengherankan adalah ucapan Anda berikut:
"hatta pada masa Nabi saw, karena masih ditemukan juga perilaku jahiliyah yang secara langsung disaksikan Nabi saw."
Ucapan ini dapat menimbulkan kesan dan pemahaman yang kurang bagus pada pembaca. Bisa saja ada dari pembaca yang menyimpulkan bahwa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersikap kurang ajar sehingga tetap dengan sengaja melangggar syariat walaupun berada di hadapan nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentu kesan seperti ini tidak layak terbetik di pikiran seorang muslim yang mengenal dan paham bagaimana keluhuran akhlaq dan ketulusan batin para sahabat.
Selain itu, pernyataan Anda ini dapat menimbulkan kesan pada pembaca bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan sebagian sahabatnya melanggar syariat. Tentu ini tidak benar, mustahil Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan kemungkaran terjadi di hadapannya tanpa ada pengingkaran. Sebab diam ketika menyaksikan kemungkaran adalah perbuatan haram:
"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya (kekuatannya), jika tidak bisa, maka dengan lisannya dan bila tidak bisa maka dengan hatinya." (Riwayat Muslim)
Bila Anda menampik adanya dua kesan ini dari ucapannya, maka itu menuntut Anda untuk legowo menerima dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mengkritisi praktek perbankan syariah yang ada di negeri kita. Karena memang sulit untuk mencapai kesempurnaan dalam penerapan syariat, baik dalam skala pribadi atau lembaga, sehingga masukan dan kritikan harus tetap dibuka lebar-lebar. Dan sudah sepantasnya sebagai seorang muslim yang sejati untuk berlaku sebagai seorang pemberani dan ksatria bila terbukti salah dengan ruju' (kembali) kepada kebenaran.
"Setiap anak Adam sering melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat (kembali kepada kebenaran)." (Riwayat Ahmad, At Tirmizy, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Al Hakim)
[DIALOG 2]
[Komentar UPPS]
Pihak yang berkewajiban mengontrol dan mengawasi secara langsung akan produk dan praktek lembaga bisnis syariah adalah DPS bukan DSN MUI, DSN hanya bertugas menerbitkan fatwa yang terbatas dalam marhalah ijtihadiyah bukan pada marhalah tathbiqiyah.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, jika yang Anda maksudkan adalah tanggung jawab dan kewajiban secara kelembagaan, saya dapat menerima komentar Anda ini.
Akan tetapi kalau yang dimaksud adalah kewajiban secara umum, sehingga mencakup kewajiban secara moral dalam beragama maka saya tidak sependapat dengan Anda. Karena komentar Anda tersebut mengarah kepada pengekangan kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan bersikap. Seakan Anda ingin memaksakan agar masyarakat taqlid kepada DSN dan DPS. Padahal DSN dan DPS sendiri masih layak untuk dikritisi, sebagai konsekuensi langsung dari keterbatasan dan kekurangan yang senantiasa melekat pada diri setiap anak manusia, termasuk seluruh anggota DPS sebagaimana yang Anda paparkan sebelumnya, bahwa kesempurnaan dalam beragama itu sulit terwujud.
Masing-masing orang yang memiliki rencana atau bahkan terlanjur berhubungan dengannyapun memiliki kewajiban yang sama. Hanya dengan demikian, masing-masing pihak terkait dapat terbebas dari tanggung jawab moral di hadapan Allah. Karena kelak di hari kiamat, masing-masing manusia akan mempertanggungjawabkan amalannya masing-masing. Bagi seorang muslim yang meragukan atau bahkan meyakini bahwa praktek perbankan syariat yang ada sekarang ini masih belum atau tidak selaras dengan syariat islam, maka tidak pantas baginya untuk mempercayakan pengelolaan dananya kepada badan-badan tersebut.
"Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga ditanyai tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?, ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya?, harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan?, badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?" (Riwayat At Tirmizy, At Thabrany dan dishahihkan oleh Al Albani)
[DIALOG 3]
[Komentar UPPS]
Peluang untuk mengkritisi DSN sangat terbuka lebar, dan saya adalah orang yg sering mengkritik beberapa fatwa DSN khususnya di forum "Kompartemen Perbankan Syariah". Akan tetapi harus diingat mereka sudah berupaya sekuat mungkin untuk melakukan tugasnya, dan jika hasil ijtihad mereka salah, masih diberi satu pahala (insya Allah).
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya rasa peluang yang sama juga masih terbuka di hadapan kita terhadap DPS. Saya yakin Anda tetap komitmen terhadap ucapan Anda di atas bahwa mencapai kesempurnaan itu sulit dicapai. Karenanya saya yakin Anda pun masih menyadari bahwa DPS masih berpeluang melakukan kesalahan, baik disengaja atau tidak dalam menjalankan peranan dan tugasnya. Oleh karena itu sudah sepantasnya para praktisi perbankan syariat, dan seluruh komponen terkait untuk tetap legowo menghadapi kritikan dan hujatan dari berbagai pihak, selama kritikan itu berdasarkan dalil dan alasan yang kuat.
Masalah DSN MUI atau DPS telah berupaya sekuat tenaga, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menutup pintu kritik, sehingga bila terbukti ada kesalahan sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk tidak mengikuti kesalahan tersebut. Walaupun di sisi Allah para anggota DSN atau DPS tidak dianggap berdosa (bahkan mendapatkan pahala) bila tidak melakukan kesalahan yang disengaja.
Dan sebaliknya, sudah sepantasnya pula DPS dan DSN untuk menerima koreksi yang terbukti benar dan meninggalkan kesalahan mereka. Tidak sepantasnya usaha keras itu dijadikan alasan untuk mempertahankan kesalahan.
[DIALOG 4]
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, saya ingin bertanya: Bila terjadi pertentangan antara hukum dan paktek di lapangan, manakah yang harus diubah dan disesuaikan?
Saya yakin setiap muslim akan berpendapat bahwa yang harus aktif menyesuaikan diri adalah para praktisi dan bukan para ustadz, ulama atau para ahli fatwa. Jadi menurut hemat saya, istilah MEMBUMI harus diganti dengan istilah MELANGIT. Maksudnya, segala praktek dan pola hidup manusia haruslah diupayakan agar selaras dengan hukum Allah, sehingga para praktisilah yang harus aktif menyelaraskan produk ekonomi mereka dengan hukum-hukum Allah, bukan sebaliknya para ustadz dan ahli fatwa yang sibuk menyelaraskan fatwa mereka dengan paktek para praktisi ekonomi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al-Hujurat: 1)
Ibnu Katsir berkata:
"Hendaknya kalian tidak terburu-buru dalam setiap urusan sehingga melangkahi kehendak Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi seyogyanya kalian senantiasa menuruti kehendak Allah dan Rasul-Nya dalam segala urusanmu." (Tafsir Ibnu Katsir 7/364)
Bila para para ahli fatwa yang sibuk menyelaraskan fatwanya dengan praktek masyarakat maka sangat dimungkinkan para ahli fatwa akan terjerumus ke dalam kenistaan. Kenistaan yang saya maksud ialah menjual ayat-ayat Allah dan syariat-Nya, sehingga berfungsi sebagai label halal yang oleh para pedagang dijadikan sarana untuk mengeruk keuntungan.
Saya yakin Anda mengetahui sepenuhnya bahwa seorang ahli fatwa yang benar-benar bertakwa dan berilmu tidaklah akan berani berfatwa kecuali setelah mengetahui seluk beluak kejadian yang hendak ia hukumi. Karena bila seorang ahli fatwa belum menguasai permasalahan dengan baik maka ia terjerumus ke dalam ancaman firman Allah Ta'ala berikut:
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (Qs. An Nahl: 116)
[DIALOG 5]
[Komentar UPPS]
Saya pribadi beberapa kali membaca pengkritisan terhadap bank syariah yang dilakukan oleh alumni madinah, akan tetapi belum menyentuh aspek maslahat dan common practice sebuah bank.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, saya jadi kurang mengerti dengan pola pikir Anda dalam berijtihad dan menghukumi suatu masalah. Sebab dalam syariat Islam, maslahat dan kepentingan umat manusia dibatasi oleh syariat, bukan sebaliknya syariat dibatasi oleh maslahat dan kepentingan manusia. Saya kira Anda sudah tahu lebih banyak daripada saya tentang perbedaan antara keduanya. Terlebih-lebih syariat Islam diturunkan demi mewujudkan kemaslahatan ummat manusia, sehinga seorang muslim yang benar-benar beriman ialah orang yang senantiasa yakin dan mengimani bahwa kemaslahatannya terletak pada tindakan penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Tidak heran bila imam Izzuddin bin Abdissalam menuliskan bukunya:
قواعد الأحكام في مصالح الأنام
Pada kitab ini, beliau menjelaskan bahwa seluruh syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Oleh karena itu, manusia yang paling banyak mendapatkan maslahah ialah yang paling komitmen dengan ajaran agamanya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu." (Qs. Al Baqarah: 208)
Upaya para praktisi perbankan syariah yang ada di negeri kita dengan merintis dan mendirikan bank-bank yang berbasis syariat adalah salah satu bukti nyata akan apa yang saya utarakan di atas.
Dengan demikian, bila yang Anda maksudkan dari kata "maslahah" ialah maslahah yang masih berada dalam batasan syariat maka saya setuju dengan Anda. Akan tetapi bila yang Anda maksud adalah kemaslahatan yang berupa "yang penting perusahaan untung" maka saya tidak setuju, dan saya yakin Anda termasuk orang yang terdepan dalam memerangi "maslahat" semacam ini.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.' Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir." (Qs. Al Baqarah: 219)
Pada ayat ini dengan jelas Allah menyatakan bahwa pada khamr dan perjudian terdapat kemaslahatan, akan tetapi dikarenakan kemaslahatannya lebih kecil dibanding mafsadahnya, maka keduanya diharamkan.
Singkat kata, kata "maslahah" harus ditimbang dengan hukum syariat bukan hukum syariat ditimbang dengan "maslahah".
[DIALOG 6]
[Komentar UPPS]
Menurut hemat saya, orang yang paling "kriminil" adalah orang yang mencemooh praktek bank syariah dengan men-judge belum syariah sementara dirinya dan rekeningnya ada di bank ribawi, bahkan tidak malu-malu bertransaksi kartu kredit yang kontraknya jelas-jelas bunga.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang saya hormati, kalau masalah persepsi, maka kebalikan dari pendapat Anda pun tidak kalah besar nilai "kriminal"nya.
Dalam syariat Islam, mengharamkan yang halal sama dengan menghalalkan yang haram, sama-sama dosa besar:
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (Qs. An Nahl: 116)
Masalah kartu kredit, saya yakin Anda lebih mengetahui tentangnya dari pada saya, karena alhamdulillah hingga saat ini saya tidak pernah mempunyai kartu kredit, apatah pula kartu kredit, rekening bank saja alhamdulillah saya tidak punya. Semoga Allah Ta'ala senantiasa melindungi saya dan seluruh saudara kita seiman dan seakidah dari riba dan debunya. Wallahu a'alam bisshowab, mohon maaf sebelumnya bila ada kata-kata saya yang jahil ini yang mungkin kurang berkenan atau kurang santun.
Semoga sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
DISKUSI PERBANKAN SYARIAH (Bag. 3)
[Komentar UPPS]
Ass. Wr. Wb
Terima kasih ustadz M. Arifin Badri atas nasehat dan petuahnya, jika berkenan ana (saya –ed) akan sedikit berikan penjelasan atas pendapat ana yang lalu sbb:
Ana sependapat dengan ustadz bahwa menjual sesuatu yang belum dimiliki (al bai fiimaa laa yumlak) adalah dilarang adanya, namun demikian yang dilakukan oleh bank syariah adalah mekanisme qabdh hukmy dengan instrumen PO seperti yang sudah ana jelaskan, dan bukan qabdh fi'ly sebagaimana yang dilakukan pedagang di sektor riil pada umumnya.
Kenapa demikian? Regulasi di Indonesia, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI), serta peraturan perpajakan yang melatarbelakangi fatwa DSN akan bolehnya transaksi murabahah dengan wakalah.
Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank umum melarang seluruh bank umum untuk bertindak sebagaimana pedagang sektor riil (menyetok barang dan dijual). Artinya direct selling oleh bank dilarang oleh regulasi, karena bank adalah sektor intermediasi.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Wa'alaikumussalam. UPPS, semoga Allah Ta'ala melimpahkan keberkahan kepada Anda dan keluarga.
Pertama saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya, karena Anda telah mengakui bahwa perbankan syariah yang ada telah menjual barang yang mereka beli sebelum terjadi qabdh fi'ly. Pengakuan ini secara tidak langsung adalah pengakuan bahwa perbankan telah melakukan hal yang nyata-nyata terlarang.
Karena dalam syariat Islam yang dimaksud dengan qabdh (serah terima) yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas dan lainny adalah al qabdh al fi'li (benar-benar diserah terimakan) karena saya yakin Anda mengetahui bahwa akad jual beli adalah akad yang mulzimah (mengikat) sehingga sekedar akad jual-beli selesai ditanda tangani, kepemilikan barang dan uang secara otomatis berpindah. Barang berpindah kepemilikan kepada pembeli dan uang dari pembeli menjadi milik penjual. Walau demikian adanya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengizinkan kepada pembeli untuk menjual ulang barang itu (walaupun secara hukum telah menjadi miliknya). Yang demikian itu dikarenakan bila pembeli menjual ulang barang yang ia beli sebelum sepenuhnya diserah-terimakan, maka pembeli telah mendapatkan keuntungan dari barang yang belum menjadi tanggung jawabnya. Dan keuntungan semacam ini terlarang.
"Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli, juga tidak halal dua persyaratan dalam satu akad jual-beli, sebagaimana tidak halal keuntungan yang diperoleh dari barang yang belum menjadi tanggung jawab penjual, tidak pula menjual barang yang tidak ada (tidak engkau miliki) padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Pendek kata, status barang yang telah menjadi milik perbankan belum cukup, akan tetapi harus benar-benar telah diserahterimakan oleh penjual kepada bank.
Masalah peraturan Bank Indonesia, maka itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melanggar ketentuan hukum Islam ini.
Apakah layak bagi seorang muslim untuk mengalahkan hukum Allah demi mematuhi peraturan manusia?
"Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menta'ati, baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menta'ati." (Muttafaqun 'alaih)
Pada hadits lain beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak ada keta'atan kepada makhluk dalam memaksiati sang pencipta." (Riwayat At Tirmizy)
Walau demikian, saya yakin Anda mengetahui bahwa peraturan PBI di atas masih bisa diakali alias disiasati, karena peraturan itu hanya urusan administrasi, sedangkan praktek di lapangan, sepenuhnya urusan operator.
Sebagai contoh: Bisa saja operator suatu bank membeli barang terlebih dahulu, dengan pembayaran ditunda satu minggu (misal) tanpa dibuatkan surat pembelian atau penjualan. Selanjutnya dealer mengantarkan kendaraan ke Bank atau ke rumah nasabah. Setiba di rumah nasabah dan setelah petugas dari dealer pergi, segera petugas dari bank dan nasabah mengadakan akad jual beli. Setelah akad jual-beli antara bank dengan nasabah selesai ditandatangani, maka bank dapat membuat surat penjualan dan pembelian dengan dealer. Dengan demikian, tanggal penjualan antara Bank dan nasabah lebih dahulu dibanding tanggal pembelian dan penjualan antara bank dan dealer.
Dalam praktek perundang-undangan di negeri kita, manipulasi atau akal-akalan semacam ini biasa terjadi, dan itu telah menjadi rahasia umum. Mengapa para praktisi perbankan syariah kok ciut nyali, sehingga tunduk dan patuh seratus persen, sehingga melanggar ketentuan syariat ini?
Solusi ini selamat secara syariat dan secara peraturan BI. Hanya saja solusi ini memiliki resiko, misalnya nasabah ingkar janji, atau terjadi kerusakan pada barang setelah diserahkan oleh dealer, misal terjadi gempa, atau banjir, atau perampokan. Tapi resiko semacam ini adalah konsekuensi dari dunia perniagaan yang wajar. Karena kesiapan menanggung resiko semacam inilah, akad ini halal, dan menyelisihi akad hutang piutang atau riba. Demikianlah karakter dunia usaha yang tidak mungkin bisa dirubah. Oleh karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dinyatakan hasan oleh Al Albani)
Dengan cara ini, apa yang di khawatirkan berupa peraturan BI dan repot menimbun barang dapat dihindari.
Bila solusi ini tidak bisa atau belum bisa diterapkan, mengapa kita memaksakan diri? Bukankah masih ada solusi lain selain perbankan, sehingga kita bisa menjalankan akad murabahah atau mudharabah yang sebenarnya. Misalnya dengan mendirikan perusahaan publik biasa, sehingga bebas membeli dan menjual. Dan benar-benar menggerakkan perekonomian umat.
Praktek perbankan syari'ah selama ini menurut hemat saya adalah solusi pemalas belaka. Betapa tidak, perbankan yang ada hanya menerima dana dan kemudian mencari para pengelola dari pihak ketiga. Seharusnya perbankan yang memiliki segudang tenaga handal, menerima dana dari masyarakat lalu ia kelola dalam sektor riil. Bukan malah masyarakat yang jelas memiliki banyak kekurangan diminta mengembangkan dana milik perbankan.
[Komentar UPPS]
Kendala kedua, isu double tax yang memberatkan industri. Ketika bank syariah harus membeli barang maka secara langsung masuk dalam buku kita sebagai aset bank dan menjadi obyek pajak. Kemudian bank menjual asetnya kepada nasabah, kondisi ini juga menjadi obyek pajak (Ppn), berdasarkan hal tersebut bank syariah menjadi tidak efisien karena over head costnya melambung tinggi.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang saya hormati, apa yang Anda khawatirkan berupa double tax, dapat disiasati, misalnya dengan cara yang saya gambarkan di atas. Atau dengan membeli barang dari agen besar atau PMT suatu merek dagang atau bahkan langsung ke perusahaan pemroduksi barang, dengan meminta agar bank mendapatkan harga yang jauh lebih murah dari yang berlaku umum di pasaran.
Karena pajak dan yang serupa hanya berlaku bila transaksi kita lakukan dengan formal; dibukukan, ada surat penjualan dan pembelian. Akan tetapi bila surat menyurat ditunda, atau penjualan antara dealer dengan pihak bank surat menyuratnya ditiadakan, maka tidak akan ada Ppn.
Saya yakin bila pihak operator perbankan syariat benar-benar serius mencari solusi yang sesuai syariat dan mengedepankan hukum agama dibanding undang-undang manusia, pasti ada celah yang bisa ditempuh.
[Komentar UPPS]
Ust, kami sedang berjuang untuk membebaskan diri dari pajak dengan loby kepada pemerintah agar treathment double tax bagi bank syariah dihapuskan, karena dalam jangka panjang sisi madharatnya lebih terlihat dari pada maslahatnya.
Dan info terbaru bahwa pemerintah AKAN menghapus regulasi tersebut bagi bank syariah, karena hal yang sama tidak diberlakukan bagi bank ribawi, dimana mereka berlindung di bawah UU tahun 1998, dimana aktifitas perbankan, asuransi, dan leasing bebas Ppn.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, kembali saya ucapkan banyak terimakasih atas info yang sangat berharga ini. Betapa tidak, info bahwa para praktisi perbankan syariat diantaranya Anda yang berusaha meminta kebijaksanaan agar dapat terhindar dari double tax merupakan pengakuan bahwa praktek murabahah yang sekarang diterapkan belum selaras dengan syariat. Karena kalau Anda sudah meyakini praktek perbankan syariat yang sekarang telah selaras dengan syariat, maka apa gunanya perjuangan meminta dibebaskan double tax semacam ini?
Upaya ini merupakan kilas dari kesadaran bahwa praktek murabahah yang ada belum selaras dengan syariat.
[Komentar UPPS]
Ust, sekalipun regulasi tersebut tidak lagi diberlakukan, dan bank syariah harus memiliki inventory dalam transaski murabahahnya, maka regulasi BI atau PBI tetap melarang bank untuk melakukan aktifitas direct selling.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, pengakuan ini sangat berharga bagi saya, karena pengakuan ini artinya Anda menyadari bahwa akad yang dijalin antara bank dengan nasabah hanyalah berkutat pada kegiatan pembiayaan alias mudayanah dan bukan akad jual-beli. Karena andai murabahah yang dijalankan oleh perbankan syari'ah adalah benar-benar murabahah, niscaya dilarang oleh BI atau PBI. Saya yakin pihak BI dan PBI tidak sebodoh yang dibayangkan oleh sebagian orang. Mereka tahu sepenuhnya apa perbedaan konsekuensi direct selling dari murabahah yang diterapkan oleh perbankan syariat.
Direct selling memiliki resiko untung rugi, barang rusak, dicuri dan resiko lain, sedangkan murabahah yang diterapkan perbankan syari'ah sama sekali tidak ada resiko di atas, sehingga tidak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh perbankan konvensional, sama-sama aman tanpa resiko. Bedanya hanya dasi, baju koko, dan sebutan, adapun hakekatnya kosong.
Tidak heran bila Singapura dan Inggris mengibarkan bendera bahwa mereka sebagai kiblat perekonomian/perbankan syariat internasional. Lucu bukan? Masak negara semisal Singapura dan Inggris sudi menerapkan syariat Islam yang sebenarnya?
[Komentar UPPS]
Selain itu, kalau bank syariah harus menyetok barang, maka berapa banyak gudang yang harus dimiliki bank? Gedung, mobil, motor, mesin berat, rumah, dll, itu semua madharat bagi bank karena over head cost menjadi sangat tinggi dan tidak efisien.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya yakin masalah gudang bukan masalah yang prinsipil, karena pihak perbankan bisa saja menjual barang tanpa harus memiliki gudang, yaitu dengan cara tidak membeli barang kecuali setelah ada nasabah yang janji akan membeli. Setelah membeli barang di dealer atau agen, maka barang bisa langsung dikirim ke rumah atau tempat calon pembeli, dan selanjutnya diadakan serah terima barang di sana, dan selanjutnya langsung diadakan akad jual beli antara perwakilan/pegawai bank nasabah pemesan.
Mudah bukan? Tidak perlu gudang, sehingga tidak ada pajak bangunan, sewa, gedung, satpam dan lainnya.
[Komentar UPPS]
Dulu Islamic Bank di Sudan awalnya menyetok barang, karena berupaya mengamalkan hadits-hadits Nabi, bahwa menjual barang yang belum dimiliki dilarang. Namun demikian sekarang mereka kembali ke konsep bank sebagai lembaga intermediasi karena tidak efisien dan over head cost yang besar.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, kembali info ini adalah info yang sangat berharga bagi saya, betapa tidak info ini semakin menambah banyak data yang saya ketahui tentang perilaku perbankan syariat di negeri kita. Para praktisi perbankan syariat siap mengadakan study banding dengan perbankan yang ada di mana saja, sampaipun yang ada di benua afrika, akan tetapi saya heran kenapa mereka terkesan menutup mata dari praktek perbankan Islam yang ada di Saudi Arabia.
Saya yakin Anda mengetahui bahwa Ar Rajhi Bank yang ada di Saudi Arabia menyelisihi praktek perbankan syari'ah yang ada di indonesia. Ar Rajhi Bank memiliki banyak gudang bahan bangunan, gudang kendaraan, dan alat-alat berat. Bahkan saya beberapa kali mendapatkan info dari penduduk saudi bahwa Ar Rajhi Bank mengadakan lelang kendaraan-kendaraannya yang kurang laku jual, dan telah berlalu beberapa tahun dari pembeliannya.
Di antara faktor yang menjadikan perbankan syariat di negeri kita tidak siap untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh Ar Rajhi Bank ialah karena perbankan syari'ah di negeri kita memiliki kewajiban atau komitmen untuk memberikan "bagi hasil" kepada setiap nasabah yang menyimpan dana di tempatnya. Walaupun pada kenyataannya dana nasabah tersebut belum disalurkan kepada pihak ketiga. Oleh karena itu kita sering mendengar berita bahwa perbankan syariat mengalami over likuiditas, sehingga akhirnya dananya yang melimpah itu disalurkan ke Sertifikat Bank Indonesia.
Sedangkan di Ar Rajhi Bank, kewajiban ini tidak ada, sehingga walaupun seorang nasabah menabungkan puluhan juta real atau bahkan mungkin miliaran real, pihak Ar Rajhi Bank tidak akan pernah memberinya fee atau bagi hasil walau hanya 1 real saja, bila ia tidak menginvestasikannya dalam proyek-proyek yang dijalankan oleh Ar Rajhi. Dengan demikian, walaupun Bank Ar Rajhi belum atau tidak bisa menyalurkan sebagian dana nasabahnya, tidak menjadi masalah baginya.
Fakta ini menjadikan kita meragukan status "bagi hasil" yang diberikan oleh perbankan syariat yang ada di negri kita. Bagi hasil kok diberikan kepada setiap nasabah, tanpa ada beda, nasabah yang dananya telah disalurkan dalam unit usaha dari nasabah yang dananya masih macet di bank.
[Komentar UPPS]
Ada investor besar dari timteng (tumur tengah –ed) yang akan invest bank syariah di Indonesia, namun karena adanya regulasi double tax tersebut, mereka mundur dengan pasti. Inilah ijtihad DSN MUI sampai hari ini, tidak menutup kemungkinan akan ada fatwa baru yang disesuaikan dengan hajat, dan kami berupaya loby secara mudawamah kepada regulator agar regulasi tersebut dihapuskan.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Semoga perubahan fatwa yang akan datang berdasarkan dalil dan bukan berdasarkan hajat (kebutuhan). Saya yakin pembaca mengetahui perbedaan antara perubahan fatwa karena hajat dari perubahan fatwa karena dalil.
[Komentar UPPS]
Bank syariah di Indonesia terhitung baru, dan inilah upaya kita untuk membumikan nash-nash langit ke dalam bisnis bank, walaupun kendala regulasi mengharuskan kita untuk melakukan ijtihad semampu kami.
Semoga prinsip taghayyur ahkam bitaghayyuri azman yang dimaknai positif tidak disalahgunakan dalam prakteknya.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Kembali saya kritisi istilah membumikan nash-nash langit, dan saya mengusulkan agar diganti melangitkan praktek-praktek bumi. Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui bahwa hukum syariah adalah baku, sedangkan yang harus dirubah dan disesuaikan adalah praktek masyarakat dan bukan nash-nash Al Qur'an dan As sunnah. Oleh karena itu, kalaupun di kemudian hari terjadi perubahan ijtihad, maka perubahan itu berdasarkan dalil dan bukan karena perubahan praktek dan tuntutan masyarakat.
Adapun kaedah yang Anda sebutkan: "taghayyur ahkam bitaghayyuri azman" maka perlu dicatat, bahwa ahkam yang dimaksudkan dalam kaedah ini ialah ahkam yang berdasarkan adat istiadat, semisal hukum yang berkaitan dengan kadar nafkah seorang suami untuk istrinya, ahkam yang berkaitan dengan bahasa, semisal hukum yang ada pada kata-kata nikah, talak, sumpah dan yang serupa.
Adapun hukum yang berdasarkan dalil, maka tidak dapat diubah-ubah walaupun zaman dan daerah telah berubah. Dengan demikian prinsip-prinsip perniagaan yang telah digariskan dalam Al Qur'an dan As Sunnah tidak boleh diubah untuk selama-lamanya.
[Komentar UPPS]
Prinsip fiqh sebagaimana diketahui bersama banyak khilafiyah di dalamnya, bahkan ada persoalan baru yang belum pernah dibahas oleh para fuqaha dan ulama kita, yang mengharuskan kita melakukan ijtijad semampunya sesuai dhuruf dan hal.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, saya yakin khilaf ulama' yang ada bukanlah masalah yang harus dirisaukan, karena kita beragama bukan dengan agama satu ulama' tertentu, akan tetapi kita beragama dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Dengan demikian, pendapat siapapun yang selaras dengan kedua dasar hukum Islam ini, maka itulah yang wajib di amalkan.
Oleh karena itu, dahulu ulama' salaf kita senantiasa menekankan agar kita meninggalkan pendapat mereka yang terbukti salah dan menyelisihi dalil.
لَيْسَ أَحَدٌ إِلاَّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُدَعّ غَيْرَ النَّبي صلى الله عليه و سلم.
"Tidaklah ada seorangpun, melainkan pendapatnya bisa diambil dan juga bisa ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu'jam Al Kabir 11/339, dari sahabat Ibnu Abbas dengan sanad yang marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) dan dinyatakan oleh Al Haitsami bahwa para perawinya adalah tsiqah. (Majma' Az Zawaid 1/179). Walaupun yang masyhur, ini adalah ucapan Imam Malik bin Anas rahimahullah.)
Imam As Syafi'i juga berpesan:
إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي، وَإِذَا صَحَّ الحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَولِي الحَائِطَ.
"Bila ada hadits yang shohih, maka itulah pendapat (mazhab)ku, dan bila suatu hadits telah terbukti keshahihannya, maka campakkanlah pendapatku ke dinding." (Siyar A'alam An Nubala' oleh Adz Zahaby 10/35, dan Qaulul Imam Al Muthalliby: Idza Shohhal Hadits Fahuwa Madzhaby)
Pada riwayat lain beliau menyatakan:
أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه و سلم لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَولِ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ
"Para ulama' telah sepakat bahwa apabila telah terbukti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bagi seseorang, maka tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan sunnah itu hanya karena ucapan seseorang."
Penjelasan ini bukan berarti seruan untuk tidak menjaga kehormatan mereka. Ahlussunnah adalah orang yang paling hormat dan paling santun terhadap para ulama'. Betapa tidak, mereka adalah para penerus atau ahli waris Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah mewarisi ilmu dan teladan beliau.
Terlebih dari itu, walaupun banyak permasalahan kontemporer yang belum pernah disebut oleh ulama' kita, akan tetapi permasalahan-permasalahan tersebut tidak akan keluar dari kaedah dan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh para ulama' berdasarkan dalil-dalil Al Qur'an dan As Sunnah.
Benar bila kita berkutat seputar perubahan nama, maka kita akan kebingungan, akan tetapi bila kita berpedoman pada hakikat dari setiap permasalahan, niscaya semuanya menjadi gamblang.
Bila Anda berpegangan pada nama besar "Bank Syariah" maka saya yakin Anda akan kebingungan. Akan tetapi bila Andamelepaskan nama besar "Bank Syariah" kemudian mengkaji masalah akad "murabahah" berdasarkan dalil-dalil yang ada, dan kaedah-kaedah yang telah digariskan oleh para ulama' niscaya akan gamblang semuanya. Nyata-nyata menjual barang yang belum dimiliki, nyata-nyata tidak siap menanggung resiko perdagangan, maka jelaslah bahwa yang terjadi bukanlah jual-beli murabahah, akan tetapi hutang-piutang atau permainan istilah atau nama belaka.
[Komentar UPPS]
Kehadiran Bank Syariah di indonesia sedikit banyak memberikan maslahat bagi umat, dan bukankah kewajiban menegakkan syariah berlaku bagi setiap individu muslim, karena jika syariah tidak ditegakkan maka dosa kolektif yang akan diperoleh.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya tidak begitu paham akan maksud dari ucapan Anda ini, apakah maksudnya bila umat Islam tidak mendirikan bank maka seluruh umat akan dosa? Bila ini maksud Anda, maka itu jelas-jelas tidak benar, karena seluruh kegiatan yang dilakukan oleh perbankan adalah amalan-amalan mubah, dan bukan amalan ibadah mahdhah, apalagi fardhu 'ain atau kifayah, sehingga tidak ada dosa. Yang berdosa ialah yang menghalalkan riba, melanggar prinsip perniagaan yang diajarkan dalam Syariat hanya karena mengikuti trend dan kehendak masyarakat. Atau mengharamkan yang halal. Adapun amalan mubah, jual-beli, hutang-piutang, transfer dana, atau yang serupa maka itu sepenuhnya terserah kepada masing-masing individu. Dengan demikian, umat tidak berdosa apabila tidak ada bank, atau tidak ada pabrik.
Dan kalau yang dimaksud ialah menegakkan syariat dengan menjalankan transaksi melalui bank syariat, maka itupun juga tidak benar. Karena tidak ada dalil yang mengharuskan agar umat Islam menjalankan transaksi perniagannya melalui bank syariah. Mereka bebas menjalankan transaksinya dengan cara apa saja, asalkan tidak melanggar syariat. Sehingga orang yang tidak bertransaksi dengan bank syariah sama sekali tidak akan pernah berdosa karenanya. Betapa banyak umat Islam yang sampai mati ia tidak penah membutuhkan kepada jasa perbankan sama sekali, sebagaimana yang dialami oleh banyak dari penduduk desa.
Terlebih-lebih syariat Islam dalam hal muamalah dapat ditegakkan tanpa harus melalui badan keuangan semisal bank. Syariat muamalah dapat diterapkan di pasar tradisional, perusahaan, organisasi atau lainnya.
Jadi saya harap Anda tidak hidup dalam daun kelor, akan tetapi hiduplah dalam alam nyata. Umat manusia bisa hidup dan bisa menjalankan syariat agamanya walau tanpa menggunakan jasa perbankan syariat, terlebih-lebih yang ekonomi rendah, sehingga tidak butuh terhadap layanan perbankan sama sekali.
Kalo yang dimaksud ialah menegakkan syariat dalam artian "mendirikan negara Islam, menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar" maka itu bisa ditempuh walau tanpa melalui jalur perbankan.
Dengan demikian, komentar Anda di atas harus diklarifikasi ulang agar jelas maksud dan arahnya. Semoga Anda berkenan melakukannya.
[Komentar UPPS]
Ustadz Dr. Al Ushaimy (guru besar ekonomi syariah di Jamiah Muhammad Ibnu Saud Riyadh pernah mengatakan kepada saya dalam konteks bank syariah saat ini:
"Ayyuhuma afdhal min an namsyia 'uryaanan awa namsyi 'ala tsaubin muraqa'?"
Sungguh ini akan menjadi amal shalih bagi umat Islam jika lembaga keuangan syariah dijadikan pusat transaksi umat Islam di seluruh dunia. Sementara itu dulu ust jawaban dari kami, semoga mafhum muqtadha al hal dapat dipraktekan dengan baik.
Wallahu a'lam
Akhukum fillah
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, ucapan Dr. Al Ushaimy di atas saya rasa hanya tepat diterapkan pada masyarakat, dan hanya dari satu sisi pandang. Bagi masyarakat, memang lebih baik baik bertransaksi dengan orang yang pelanggarannya 70% dibanding dengan orang yang pelanggarannya 100%
Akan tetapi dari sisi lain, yaitu dari sisi operator perbankan, itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk menempuh filsafat lilin, menerangi orang lain, akan tetapi diri sendiri luluh terbakar. Mungkin orang lain menjadi nyaman, karena dananya dijaga sehingga tidak dicuri, mudah bertransaksi, dan lainnya, akan tetapi itu tidak cukup untuk menghapus dosa-dosa pelanggaran syariat yang dilakukan oleh operator perbankan.
Masing-masing dari kita akan mempertanggung jawabkan amalan kita sendiri di hadapan Allah.
لاَ تَزُولَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ. رواه الترمذي والطبراني وصححه الألباني
"Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga dipertanyai tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?, ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya?, harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan?, badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?" (Riwayat At Tirmizy, At Thabrany dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Sebagaimana perbuatan Anda menukil ucapan Dr. Al Ushaimy yang menggambarkan konteks perbankan Islam yang ada sebagai seseorang yang mengenakan pakaian bertambal sulam layaknya seroang gembel. Penukilan ini bagi saya sebagai pengakuan terselubung bahwa perbankan syariat yang ada gambarannya bagaikan baju tambalan, bolong sana-sini, compang-camping, layaknya gembel, dan bahkan sangat dimungkinkan terdapat banyak robekan yang belum atau tidak kuasa ditambal karena begitu luasnya robekan yang ada. Dalam pepatah arab disebutkan:
اتسعت الرقعة على الراقعي
"Apa daya bila robekan baju telah terlalu lebar untuk ditambal" atau dalam pepatah indonesia: Maksud hati memeluk gunung apa daya bila tangan tak sampai.
Pertanyaannya: Seberapa luas dan seberapa banyakkah robekan yang ada di baju yang Anda kenakan? Inilah yang menjadi inti permasalahan dan tema diskusi kita.
Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan, sungguh tiada maksud sedikitpun di hati untuk menggunakan kata-kata yang tidak layak atau tidak santun. Wallahu a'alam.
DISKUSI PERBANKAN SYARIAH (Bag. 4)
Pada diskusi keempat ini, saudara AH, seorang anggota milis Pengusaha Muslim, membuka diskusi dengan mengomentari komentar UPPS yang ditanggapi oleh ustadz Muhammad Arifin Badri di atas.
[Komentar AH]
Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Ihwan wa ahwat fillah member milis pengusaha muslim (yang semoga dirahmati Allah), ikutilah orang karea dia benar, dan Janganlah mengikuti kebenaran karena orang, carilah kebenaran itu niscaya engkau akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Insya Allah saya merasa yakin bagi siapa yang telah menyimak dan memahami dan berusaha kuat agar mencari kebenaran disertai doa ....maka akan bisa memilah/memilih pendapat yang benar/mendekati kebenaran di antara 2 pendapat yang ada. Begitu pula dari diskusi ini ....tanyakan pada hati nurani anda sebagai tempat masuknya Taufik Hidayah sehingga menjadikan ia berjiwa Haniif... lapang menerima kebenaran dari siapapun dan kapanpun kebenaran itu sampai maka ia bergegas meninggalkan hawa nafsu & kesalahannya menuju pengampunan Allah.
Semoga Allah memudahkan kita agar lapang menerima kebenaran meskipun pahit bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Semoga kita termasuk hamba yang berusaha keras untuk mengamalkan DALIL dan bukan men-DALIL amal.
Baarokallaahu fiikum....
NB: afwan ahsannya ucapan salam tidak disingkat!?
Komentar AH di atas kemudian dijawab oleh UPPS, dan jawaban UPPS tersebut ditanggapi oleh ustadz Muhammad Arifin Badri. Silakan menyimak diskusinya berikut ini:
[Komentar UPPS Buat AH]
Kita semua sepakat bahwa kita berislam harus menggunakan rujukan atau dalil, dan ketika dalil yang dicari tidak ditemukan maka peranan ijtihad lah yang mengambil alih, terlebih lagi untuk transaksi muamalah kontemporer yang belum diakomodir dalam fiqh dan ijtihad ulama zaman dahulu, hujiyatu ijtihad sangat kuat. Kita bukan men-DALIL kan amalan, akan tetapi berupaya membentuk maslahat dengan ijtihad.
Dalam hal fiqh, selama memiliki acuan baik naqly, aqly, dan hissy, serta landasan ijtihad insya Allah ahlan wa sahlan, dan dalam hal fiqh terlebih lagi umur khilafiyah tidak ada yang berhak mengklaim mana yang benar dan mana yang salah. Yang benar adalah yang membawa maslahat bagi semua sesuai dengan dhuruf (muqtadha al hal).
Bersikaplah mature dalam menyikapi perbedaan, dengan tidak saling menyalahkan, INGAT para imam mujtahid muthlaq saja saling ta'dhim terhadap persoalan yang mereka berbeda pendapat, sementara orang sekarang yang realitanya memiliki jaudah ilmiyah munkhafidhah mengekpresikan sikap al bathar dan ghamthu naas, bukankah hal demikian madzmum dalam syariah ini.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, saya kurang setuju dengan ucapan ustadz di atas. Betapa banyak para ulama menyalahkan sebagian lainnya dalam urusan ijtihadiyah.
Sebagai contoh misalnya dalam masalah hukum jual-beli 'inah (A menjaul barang kepada B dengan pembayaran terhutang, selanjutnya B menjual kembali barang itu kepada A dengan pembayaran kontan dan lebih murah dari harga pertama). Simaklah ucapan 'Aisyah radhiallahu 'anha:
أَخْبِرِي زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ أَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَّا أَنْ يَتُوبَ
"Sampaikanlah kepada Zaid, bahwa ia telah menggugurkan nilai jihadnya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bila ia tidak bertobat." (Riwayat Ad Daraquthni dan Al Baihaqi)
Bila Anda kurang percaya, silahkan buka kitab Al Umm karya imam As Syafi'i. Padanya Anda akan dapatkan, bagaimana imam As Syafi'i membantah gurunya sendiri yaitu Imam Malik, begitu juga Abu Hanifah, Al Laits Bin Sa'ad dan lainnya.
Perlu dibedakan antara menyalahkan dengan menghormati. Urusan salah dan benar itu urusan dalil, mana yang terbukti dalilnya lebih kuat maka itulah yang benar dan sebaliknya adalah yang salah. Adapun urusan menghormati itu urusan harga diri seorang muslim. Dengan demikian tidak sepantasnya dicampuradukkan. Makanya dalam diskusi ini, walaupun saya menganggap pendapat Anda kurang benar akan tetapi saya tetap menghormati dan menghargai Anda sebagai seorang muslim yang berilmu.
[Komentar UPPS Buat AH]
Kalau yang diminta dalil yang termasuk dalam dairah ijtihad pasti tidak ada, sebab jika ada dalil atau nash runtuh atau tidak berlaku ijtihad.
Model transaksi kontemporer yang belum ada rujukannya zaman salaf shalih pasti metode ijtihad yang digunakan, bahwa hal tersebut adalah ijtihad DSN, dengan mengambil ijma ulama tentang bolehnya wakalah dalam melakukan perkara.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, ucapan Anda ini menurut hemat saya sangat rancu. Betapa tidak, Anda mengesankan bahwa pada masalah ijtihadiyah tidak ada dalil secara mutlak. Padahal nyatanya tidak demikian.
Benar, bila yang Anda maksudkan dengan dalil ialah dalil yang dikategorikan sebagai (nash atau shorih), akan tetapi bila yang dimaksudkan ialah dalil secara mutlak, maka itu tidak benar. Karena itu artinya mengesankan ulama' berijtihad tanpa dasar dalil sama sekali.
Saya yakin Anda mengetahui sepenuhnya bahwa dalam masalah-masalah ijithadiyah yang tidak ada dalil nash/sharih para ulama' berusaha berpegang atau berusaha menerapkan dalil-dalil umum atau kaedah umum dalam syariat. Karena ijtihad menurut ulama' terbagi menjadi dua:
UPPS, ucapan Dr. Al Ushaimy di atas saya rasa hanya tepat diterapkan pada masyarakat, dan hanya dari satu sisi pandang. Bagi masyarakat, memang lebih baik baik bertransaksi dengan orang yang pelanggarannya 70% dibanding dengan orang yang pelanggarannya 100%
Akan tetapi dari sisi lain, yaitu dari sisi operator perbankan, itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk menempuh filsafat lilin, menerangi orang lain, akan tetapi diri sendiri luluh terbakar. Mungkin orang lain menjadi nyaman, karena dananya dijaga sehingga tidak dicuri, mudah bertransaksi, dan lainnya, akan tetapi itu tidak cukup untuk menghapus dosa-dosa pelanggaran syariat yang dilakukan oleh operator perbankan.
Masing-masing dari kita akan mempertanggung jawabkan amalan kita sendiri di hadapan Allah.
لاَ تَزُولَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ. رواه الترمذي والطبراني وصححه الألباني
"Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga dipertanyai tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?, ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya?, harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan?, badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?" (Riwayat At Tirmizy, At Thabrany dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Sebagaimana perbuatan Anda menukil ucapan Dr. Al Ushaimy yang menggambarkan konteks perbankan Islam yang ada sebagai seseorang yang mengenakan pakaian bertambal sulam layaknya seroang gembel. Penukilan ini bagi saya sebagai pengakuan terselubung bahwa perbankan syariat yang ada gambarannya bagaikan baju tambalan, bolong sana-sini, compang-camping, layaknya gembel, dan bahkan sangat dimungkinkan terdapat banyak robekan yang belum atau tidak kuasa ditambal karena begitu luasnya robekan yang ada. Dalam pepatah arab disebutkan:
اتسعت الرقعة على الراقعي
"Apa daya bila robekan baju telah terlalu lebar untuk ditambal" atau dalam pepatah indonesia: Maksud hati memeluk gunung apa daya bila tangan tak sampai.
Pertanyaannya: Seberapa luas dan seberapa banyakkah robekan yang ada di baju yang Anda kenakan? Inilah yang menjadi inti permasalahan dan tema diskusi kita.
Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan, sungguh tiada maksud sedikitpun di hati untuk menggunakan kata-kata yang tidak layak atau tidak santun. Wallahu a'alam.
DISKUSI PERBANKAN SYARIAH (Bag. 4)
Pada diskusi keempat ini, saudara AH, seorang anggota milis Pengusaha Muslim, membuka diskusi dengan mengomentari komentar UPPS yang ditanggapi oleh ustadz Muhammad Arifin Badri di atas.
[Komentar AH]
Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Ihwan wa ahwat fillah member milis pengusaha muslim (yang semoga dirahmati Allah), ikutilah orang karea dia benar, dan Janganlah mengikuti kebenaran karena orang, carilah kebenaran itu niscaya engkau akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Insya Allah saya merasa yakin bagi siapa yang telah menyimak dan memahami dan berusaha kuat agar mencari kebenaran disertai doa ....maka akan bisa memilah/memilih pendapat yang benar/mendekati kebenaran di antara 2 pendapat yang ada. Begitu pula dari diskusi ini ....tanyakan pada hati nurani anda sebagai tempat masuknya Taufik Hidayah sehingga menjadikan ia berjiwa Haniif... lapang menerima kebenaran dari siapapun dan kapanpun kebenaran itu sampai maka ia bergegas meninggalkan hawa nafsu & kesalahannya menuju pengampunan Allah.
Semoga Allah memudahkan kita agar lapang menerima kebenaran meskipun pahit bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Semoga kita termasuk hamba yang berusaha keras untuk mengamalkan DALIL dan bukan men-DALIL amal.
Baarokallaahu fiikum....
NB: afwan ahsannya ucapan salam tidak disingkat!?
Komentar AH di atas kemudian dijawab oleh UPPS, dan jawaban UPPS tersebut ditanggapi oleh ustadz Muhammad Arifin Badri. Silakan menyimak diskusinya berikut ini:
[Komentar UPPS Buat AH]
Kita semua sepakat bahwa kita berislam harus menggunakan rujukan atau dalil, dan ketika dalil yang dicari tidak ditemukan maka peranan ijtihad lah yang mengambil alih, terlebih lagi untuk transaksi muamalah kontemporer yang belum diakomodir dalam fiqh dan ijtihad ulama zaman dahulu, hujiyatu ijtihad sangat kuat. Kita bukan men-DALIL kan amalan, akan tetapi berupaya membentuk maslahat dengan ijtihad.
Dalam hal fiqh, selama memiliki acuan baik naqly, aqly, dan hissy, serta landasan ijtihad insya Allah ahlan wa sahlan, dan dalam hal fiqh terlebih lagi umur khilafiyah tidak ada yang berhak mengklaim mana yang benar dan mana yang salah. Yang benar adalah yang membawa maslahat bagi semua sesuai dengan dhuruf (muqtadha al hal).
Bersikaplah mature dalam menyikapi perbedaan, dengan tidak saling menyalahkan, INGAT para imam mujtahid muthlaq saja saling ta'dhim terhadap persoalan yang mereka berbeda pendapat, sementara orang sekarang yang realitanya memiliki jaudah ilmiyah munkhafidhah mengekpresikan sikap al bathar dan ghamthu naas, bukankah hal demikian madzmum dalam syariah ini.
//
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS yang terhormat, saya kurang setuju dengan ucapan ustadz di atas. Betapa banyak para ulama menyalahkan sebagian lainnya dalam urusan ijtihadiyah.
Sebagai contoh misalnya dalam masalah hukum jual-beli 'inah (A menjaul barang kepada B dengan pembayaran terhutang, selanjutnya B menjual kembali barang itu kepada A dengan pembayaran kontan dan lebih murah dari harga pertama). Simaklah ucapan 'Aisyah radhiallahu 'anha:
أَخْبِرِي زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ أَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَّا أَنْ يَتُوبَ
"Sampaikanlah kepada Zaid, bahwa ia telah menggugurkan nilai jihadnya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bila ia tidak bertobat." (Riwayat Ad Daraquthni dan Al Baihaqi)
Bila Anda kurang percaya, silahkan buka kitab Al Umm karya imam As Syafi'i. Padanya Anda akan dapatkan, bagaimana imam As Syafi'i membantah gurunya sendiri yaitu Imam Malik, begitu juga Abu Hanifah, Al Laits Bin Sa'ad dan lainnya.
Perlu dibedakan antara menyalahkan dengan menghormati. Urusan salah dan benar itu urusan dalil, mana yang terbukti dalilnya lebih kuat maka itulah yang benar dan sebaliknya adalah yang salah. Adapun urusan menghormati itu urusan harga diri seorang muslim. Dengan demikian tidak sepantasnya dicampuradukkan. Makanya dalam diskusi ini, walaupun saya menganggap pendapat Anda kurang benar akan tetapi saya tetap menghormati dan menghargai Anda sebagai seorang muslim yang berilmu.
[Komentar UPPS Buat AH]
Kalau yang diminta dalil yang termasuk dalam dairah ijtihad pasti tidak ada, sebab jika ada dalil atau nash runtuh atau tidak berlaku ijtihad.
Model transaksi kontemporer yang belum ada rujukannya zaman salaf shalih pasti metode ijtihad yang digunakan, bahwa hal tersebut adalah ijtihad DSN, dengan mengambil ijma ulama tentang bolehnya wakalah dalam melakukan perkara.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
UPPS, ucapan Anda ini menurut hemat saya sangat rancu. Betapa tidak, Anda mengesankan bahwa pada masalah ijtihadiyah tidak ada dalil secara mutlak. Padahal nyatanya tidak demikian.
Benar, bila yang Anda maksudkan dengan dalil ialah dalil yang dikategorikan sebagai (nash atau shorih), akan tetapi bila yang dimaksudkan ialah dalil secara mutlak, maka itu tidak benar. Karena itu artinya mengesankan ulama' berijtihad tanpa dasar dalil sama sekali.
Saya yakin Anda mengetahui sepenuhnya bahwa dalam masalah-masalah ijithadiyah yang tidak ada dalil nash/sharih para ulama' berusaha berpegang atau berusaha menerapkan dalil-dalil umum atau kaedah umum dalam syariat. Karena ijtihad menurut ulama' terbagi menjadi dua:
- Ijtihad fi fahmi an nash (ijtihad dalam memahami dalil). Ijithad jenis ini pasti ada dalilnya.
- Ijtihad fi tathbiq an nash (penerapan ijtihad jenis pertama pada kejadian yang ada di masyarakat). Pada ijtihad jenis ini pun pasti ada dalilnya, baik dalil yang sharih atau keumuman suatu dalil dan yang serupa dengannya.
[Komentar UPPS Buat AH]
Dalil-dalil yang dinukil ust Badri itu sangat tepat diterapkan 100% dalam sektor riil atau person to person. Namun ketika dijalankan pada industri bank syariah khususnya di Indonesia berpotensi adanya constraint. Langkah ijtihad adalah solusi.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya tidak mempermasalahkan diperlukannya ijtihad dalam menyesuaikan aplikasi perbankan dan undang-undang yang ada agar selaras dengan syariat. Akan tetapi, itu tidak berarti ada kebebasan bagi kita untuk keluar dari ketentuan dan prisnip-prinsip perniagaan yang telah digariskan pada dalil-dalil yang ada.
Karenanya, bila peraturan dan aplikasi perbankan yang ada tidak bisa disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada, maka yang harus dirombak adalah perbankannya, kalo perlu dibuat badan usaha lain selain perbankan yang lebih bisa bebas dan leluasa mengembangkan perekonomian umat tanpa melanggar syariat. Misalnya dengan mendirikan perusahaan investasi, atau perusahaan multinasional yang bergerak dalam berbagai sektor perdagangan, industri, pemasaran, jasa dan lainnya.
Dan komentar ustadz ini menurt saya juga sebagai pengakuan lain bahwa praktek perbankan syariat yang ada masih sangat layak untuk dikritisi, bahkan disalahkan. Betapa tidak, perbankan yang ada hanyalah sebatas produk ijtihad segelintir orang saja. Tentunya produk ijitihad mereka masih menyisakan peluang untuk itu.
Oleh karena itu pada kesempatan ini saya menyeru kepada saudara-saudaraku sekalian untuk bersama-sama mengkritisi dan mengawasi hasil ijtihad beberapa saudara kita di perbankan syariat agar tidak terjadi kesalahan. Bila tidak, bisa-bisa terjadi pergeseran pemahaman terhadap syariat Islam, terutama yang berkaitan dengan berbagai akad dan unit usaha perbankan syariat. Wallahu a'alam bisshowab.
***
Artikel www.pengusahamuslim.com
Dalil-dalil yang dinukil ust Badri itu sangat tepat diterapkan 100% dalam sektor riil atau person to person. Namun ketika dijalankan pada industri bank syariah khususnya di Indonesia berpotensi adanya constraint. Langkah ijtihad adalah solusi.
[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]
Saya tidak mempermasalahkan diperlukannya ijtihad dalam menyesuaikan aplikasi perbankan dan undang-undang yang ada agar selaras dengan syariat. Akan tetapi, itu tidak berarti ada kebebasan bagi kita untuk keluar dari ketentuan dan prisnip-prinsip perniagaan yang telah digariskan pada dalil-dalil yang ada.
Karenanya, bila peraturan dan aplikasi perbankan yang ada tidak bisa disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada, maka yang harus dirombak adalah perbankannya, kalo perlu dibuat badan usaha lain selain perbankan yang lebih bisa bebas dan leluasa mengembangkan perekonomian umat tanpa melanggar syariat. Misalnya dengan mendirikan perusahaan investasi, atau perusahaan multinasional yang bergerak dalam berbagai sektor perdagangan, industri, pemasaran, jasa dan lainnya.
Dan komentar ustadz ini menurt saya juga sebagai pengakuan lain bahwa praktek perbankan syariat yang ada masih sangat layak untuk dikritisi, bahkan disalahkan. Betapa tidak, perbankan yang ada hanyalah sebatas produk ijtihad segelintir orang saja. Tentunya produk ijitihad mereka masih menyisakan peluang untuk itu.
Oleh karena itu pada kesempatan ini saya menyeru kepada saudara-saudaraku sekalian untuk bersama-sama mengkritisi dan mengawasi hasil ijtihad beberapa saudara kita di perbankan syariat agar tidak terjadi kesalahan. Bila tidak, bisa-bisa terjadi pergeseran pemahaman terhadap syariat Islam, terutama yang berkaitan dengan berbagai akad dan unit usaha perbankan syariat. Wallahu a'alam bisshowab.
***
Artikel www.pengusahamuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar