Kita lahir ke dunia.
Tumbuh menjadi besar. Sekolah dari TK, SD, SMP, SMU dan jika
beruntung meneruskan kuliah. Lalu bekerja dan menikah. Punya anak.
Jika umur panjang, masih bisa lihat cucu, buyut, dan -jika beruntung-
canggah. Lalu mati. Itulah gambar kasar dari hidup kita. Lalu
hari-hari hidup itu adalah bangun, mandi, makan pagi, bekerja atau
sekolah, makan siang, mengisi waktu dengan berbagai aktivitas, mandi
lagi, makan malam, dan tidur lagi. Kebanyakan dari kita melakukan
hari-harinya seperti itu.
Lalu apa sebenarnya
hidup kita ini ? Karl Marx pernah berkata, " Hidup itu perut
kenyang". Maksudnya hidup itu untuk makan (saja). Sedangkan
Sigmund Freud berpendapat hidup itu pemenuhan kebutuhan seksual
belaka, lain tidak. Jika kita tanya orang-orang di sekitar kita
tentang 'untuk apa kita hidup ?' mungkin -dan sangat mungkin- jawaban
yang kita peroleh adalah sebanyak orang yang kita tanyai. Maksudnya
adalah satu orang menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda dari yang
lainnya, sebagaimana pendapat Karl Marx berbeda dengan Sigmund Freud.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat,
maka gunakan akal sehat kita ! Yang paling tahu untuk apa kita hidup
tentu saja ialah Yang Menghidupkan kita, yaitu Sang Pencipta, Alloh
subhaanahu wa ta'ala.
Alloh subhaanahu wa ta'ala
berfirman, yang artinya: " Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu.."
(QS: Adz-Dzaariyaat: 56).
Sekarang sudah jelas bagi kita, bahwa kita diciptakan dan dihidupkan hanya untuk beribadah kepada Alloh subhaanahu wa ta'ala saja dan tidak ada tujuan yang lain.
Mungkin timbul pertanyaan: Lalu apakah hidup kita ini hanya untuk sholat saja, ke masjid saja, mengaji saja ? Kemudian tidak mancari nafkah, tidak menikah ? Sebelum bertanya-tanya, lebih dulu harus kita pahami makna 'ibadah' itu.
Pengertian Ibadah yang biasa dirujuk oleh ulama adalah pengertian yang dirumuskan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, yaitu ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Alloh subhaanahu wa ta'ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang nampak (lahir) maupun yang tersembunyi (batin). Sebagian ulama menambahkan dengan: disertai oleh ketundukan yang paling tinggi dan rasa kecintaan yang paling tinggi kepada Alloh subhaanahu wa ta'ala.
Ibadah itu banyak macamnya dan terbagi menjadi
ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut kepada Alloh
subhaanahu wa ta'ala), raja' (mengaharap rahmat Alloh
subhaanahu wa ta'ala), mahabbah (cinta kepada Alloh
subhaanahu wa ta'ala), tawakkal adalah ibadah yang berkaitan
dengan hati. Sedangkan membaca Al-Qur'an, tasbih, tahlil, takbir,
tahmid adalah ibadah lisan dan hati. Sedangkan shalat, zakat, haji,
berbakti pada orang tua, membantu orang kesulitan adalah ibadah badan
dan hati.
Jadi ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang
mukmin jika diniatkan qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Alloh
subhaanahu wa ta'ala) atau apa saja yang membantu qurbah.
Bahkan adat kebiasaan yang mubah pun bernilai ibadah jika diniatkan
sebagai bekal untuk taat kepada Alloh subhaanahu wa ta'ala.
Seperti tidur, makan, minum, jual beli, bekerja mencari nafkah,
menikah, dan sebagainya. Jadi ibadah itu tidaklah sempit cakupannya,
bahkan ia mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid
maupun di luar masjid.
Sebagai contoh ibadah di luar masjid adalah bekerja.
Banyak hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bekerja dan
memuji para pelakunya. Rasululloh shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda, yang artinya: " Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu
makan adalah dari hasil kerjamu sendiri" (HR: Abu Dawud,
At-Tirmidzy, dan An-Nasa-i, dari 'A-isyah dengan sanad shahih).
Ketika para sahabat menyaksikan seorang laki-laki
berjalan dengan gesit, mereka berkomentar, " Seandainya (saja)
ia berjalan di jalan Allah (berjihad)." Kemudian Nabi
Shallaallaahu 'alaihi wa sallam meluruskan pernyataan
tersebut dan bersabda, yang artinya: "Jika ia keluar mencarikan
nafkah anaknya yang kecil, maka ia di jalan Alloh subhaanahu wa
ta'ala. Jika ia keluar mencarikan nafkah kedua orang tuanya yang
sudah tua, maka ia di jalan allah, dan jika ia keluar mencari nafkah
untuk dirinya dengan maksud menjauhkan diri dari yang tidak baik,
maka ia di jalan Allah. Dan jika ia keluar dengan maksud riya'
(pamer) dan sombong, maka ia di jalan setan. " (HR. Ath-Thabrany
dari Ka'ab bin Ujrah dengan sanad shahih).
Rasululloh shallaalaahu 'alaihi wa sallam
-yang merupakan teladan yang utama dan pertama dalam
beribadah- pada waktu kecil bekerja menggembala
kambing dengan upah beberapa dinar. Kemudian beliau juga pernah
berdagang. Begitu pula dengan para salafush-sholih (para pendahulu
Islam yang sholih) mereka juga mencari nafkah dan membenci
pengangguran. Abu Bakar, Utsman dan Thalhah Radhiyallahu 'anhum
adalah pedagang kain. Az-Zubair, dan Amr bin Al-Ash Radhiyallaahu
'anhuma bekerja menjual pakaian jadi. Imam Ahmad Rahimahullah
bekerja sebagai penulis kitab bayaran.
Jadi merupakan pandangan yang salah jika ada orang
yang menganggap bekerja itu tidak termasuk ibadah. Namun tentu saja,
bekerja yang dihitung sebagai ibadah adalah bekerja yang diniatkan
untuk mencari bekal agar bisa mendekatkan diri kepada Alloh
subhaanahu wa ta'ala dan menjaga kehormatan muslim serta
harus dengan cara yang halal. Jika bekerja namun diniatkan untuk
menumpuk harta atau berfoya-foya tanpa memikirkan hak anak, istri,
orang tua serta ditempuh dengan cara yang haram masih ditambah lagi
dengan melalaikan kewajiban agama (sholat dan mncari ilmu agama
misalnya), tentu saja bekerja yang seperti ini tidaklah bernilai
ibadah, bahkan hanya menambah dosa.
Ibadah yang bermanfaat adalah ibadah yang diterima
oleh Alloh subhaanahu wa ta'ala. Jika kita telah
berlelah-lelah beribadah namun tidak diterima oleh Alloh subhaanahu
wa ta'ala maka ibadah kita tidak bermanfaat dan arti hidup kita
akan tidak bermakna serta tujuan hidup kita tidaklah tercapai.
Agar bisa diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta'ala, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan syarat yaitu:
1. Ikhlas karena Alloh subhaanahu
wa ta'ala semata, bebas dari syirik besar dan kecil
2. Sesuai tuntunan Rasullulloh shallaallaahu
'alaihi wa sallam
Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa
ilaaha ilaaLlaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya
untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Syarat kedua adalah
konsekuensi dari syahadat Muhammadur-Rasululloh karena ia menuntut
wajibnya ta'at keada Nabi, mengikuti tuntunannya dan meninggalkan
bid'ah (ibadah atau cara beribadah yang tidak pernah dituntunkan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam).
Dalil bagi kedua syarat ini ialah firman Alloh
subhaanahu wa ta'ala, yang artinya: " Barang siapa
yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia
mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
(terhadap Alloh) dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS:
Al-Kahfi :110).
Kalimat "..maka hendaknya ia mengerjakan amal
shalih.." merupakan manifestasi syarat kedua, yaitu sesuai
tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena amal
shalih itu adalah amal yang pasti telah dituntunkan Nabi. Sedangkan
"..dan janganlah ia mermpersekutukan seorang pun (terhadap
Allah) dalam beribadah kepada Tuhannya." meruplakan manifestasi
syarat pertama, yaitu keharusan ikhlash.
Dua syarat ini merupakan keharusan yang mutlak. Jadi
adalah salah jika orang beribadah dengan cara yang tidak pernah
dituntunkan Nabi kemudian dia berkata untuk membenarkan ibadahnya : "
Yang penting kan niatnya" atau " Yang penting kan ikhlas".
Niat ikhlas tidak bisa mengubah cara beribadah yang
salah menjadi benar. Apalagi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, yang artinya: "Barang siapa melaksanakan suatu
amalan tidak atas perintah kami (yang Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak pernah memerintahkannya dan tidak pernah membolehkannya)
maka amal itu ditolak" (HR: Al-Bukhary dan Muslim ). Begitu
pula sebaliknya, jika kita telah sesuai dengan tuntunan Nabi namun
niatnya tidak ikhlas, maka amalan kita juga ditolak Alloh azza wa
jalla.
Dua syarat ini haruslah dipahami dan berusaha terus
untuk dikaji secara mendalam dan dipraktekkan. Maka tentu saja
merupakan suatu kebohongan yang besar jika ada seorang muslim banyak
ibadahnya tapi tidak pernah belajar bagaimana cara beribadah yang
benar dan bagaimana agar amal ibadahnya dapat diterima Alloh
subhaanahu wa ta'ala. Oleh karena itu, langkah awal seorang
muslim agar tujuan hidupnya tercapai adalah belajar dulu bagaimana
cara beribadah yang benar dan dapat diterima. Tidak mungkin seorang
yang tidak pernah mengaji, tidak pernah belajar agama bisa
benar ibadahnya. Padahal tujuan dihidupkannya kita ini adalah ibadah
-yang mencakup seluruh aspek kehidupan, lain tidak.
Maka marilah kita hidupkan semangat mencari ilmu
agama agar kemudian ibadah kita benar dan dapat diterima oleh Allah,
sehingga hidup kita benar-benar bermakna dan tujuan hidup kita
tercapai. Marilah kita baca Al-Qur'an, kita pelajari isinya melalui
buku-buku agama, kita baca hadits-hadits, kita pahami maknanya
melalui majelis-majelis pengajian, agar tak menyesal jika sudah
sampai di kuburan nanti.
(Sumber Rujukan: Kitab Tauhid, Asy-Syaikh Dr. Shaleh
Al Fauzan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar