Rabu, 26 Oktober 2011

Mengenal Hukum Riba


Tidak asing lagi bahwa riba adalah salah satu hal yang diharamkan dalam syariat Islam. Banyak dalil yang menunjukkan akan keharaman riba dan berbagai sarana terjadinya riba.

Firman Allah Ta'ala berikut adalah salah satu dalil yang nyata-nyata menegaskan akan keharaman praktik riba:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan."  (Qs. Ali Imran: 130).

Ibnu Katsir rahimahullah  ketika menafsirkan ayat ini berkata, "Allah Ta'ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari praktik dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu, di zaman jahiliyyah, bila piutang telah jatuh tempo mereka berkata kepada yang berhutang, ‘engkau melunasi hutangmu atau membayar riba’, bila ia tidak melunasinya, maka pemberi hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali lipat. Dan pada ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di akhirat." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/404).

Pada ayat lain, Allah Tala'a berfirman,
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (Qs. al-Baqarah: 275-280).

Kelima ayat ini merupakan larangan sekaligus ancaman berat bagi orang-orang yang memakan riba. Dan pada kelima ayat ini terdapat berbagai petunjuk (alasan) kuat  lagi tegas bagi keharaman riba:

Pertama: Pemakan riba akan dihinakan di hadapan seluruh makhuk, yaitu ketika ia dibangkitkan dari kuburannya, ia dibangkitkan dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan bagaikan orang kesurupan lagi gila.

Ibnu 'Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, "Pemakan riba akan dibangkitkan dari kuburannya dalam keadaan gila dan tercekik."

Penjelasan yang senada dengan ini juga disampaikan oleh Sa'id bin Jubair, Qatadah, dan Ibnu Zaid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobary dalam tafsirnya (Tafsir At Thobary 3/102).

Kedua: Penegasan bahwa riba diharamkan oleh Allah Ta'ala, sehingga tidak termasuk ke dalam perniagaan yang nyata-nyata dihalalkan.

Ketiga: Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktik riba setelah datang kepadanya penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syariat Islam, akan dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekedar masuk ke dalamnya, akan tetapi dinyatakan pada ayat di atas bahwa "ia kekal di dalamnya."

Disebutkannya ancaman berupa adzab neraka atau hukuman di dunia merupakan salah satu bukti bahwa perbuatan tersebut adalah dosa besar, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama (Silakan baca keterangan lebih lanjut tentang definisi dosa besar dalam kitab: al-Fishal Fi Milal wal Ahwa' Wal Ahwa'  oleh Ibnu Hazem al-Andalusy, 4/48,  al-Kabair oleh Imam adz-Dzahaby, 7).

Imam adz-Dzahaby rahimahullah berkata:
"Barangsiapa yang melakukan salah satu dari perbuatan besar ini, yang padanya ditetapkan hukum had (pidana) di dunia, misalnya pembunuhan, perzinaan, dan pencurian atau datang suatu ancaman di akhirat berupa adzab atau kemurkaan (Allah) atau ancaman atau kutukan terhadap pelakunya melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berarti perbuatan tersebut adalah dosa besar." (Idem).

Dan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyata-nyata menyebutkan perbuatan memakan riba sebagai perbuatan dosa besar.
"Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jauhilah olehmu tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka).’ Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah dosa-dosa itu?’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan, dan menuduh wanita mukmin yang menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia telah zina).’"  (HR. Muttafaqun 'alaihi).

Keempat: Penegasan bahwa Allah akan menghapuskan dan memusnahkan riba.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala mengabarkan bahwa Ia akan memusnahkan riba, maksudnya bisa saja memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian pemilik riba tidak mendapatkan kemanfaatan harta ribanya, bahkan Allah akan membinasakannya dengan harta tersebut dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah akan menyiksanya akibat harta tersebut." (Tafsir Ibnu Katsir 1/328).
Penafsiran Ibnu Katsir ini semakna dengan hadits berikut:
"Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya, pada akhirnya akan menjadi sedikit." (Riwayat Imam Ahmad, at-Thabrany, al- Hakim dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dan al-Albany).
Bila kita mengamati kehidupan orang-orang yang menjalankan praktik-praktik riba, niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits di atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah ruah, hingga tak terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satupun dari mereka yang merasakan keberkahan dan kebahagiaan dari harta haram tersebut.
Agar kita sedikit mengetahui betapa besar peranan keberkahan harta dalam kehidupan seseorang, maka saya mengajak para pembaca untuk merenungkan beberapa hadits berikut:
Hadits Pertama:
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang berbagai kejadian yang mendahului kebangkitan hari Kiamat, beliau bersabda,
"Akan diperintahkan (oleh Allah) kepada bumi: tumbuhkanlah buah-buahanmu, dan kembalikan keberkahanmu, maka pada masa itu, sekelompok orang akan merasa cukup (menjadi kenyang) dengan memakan satu buah delima, dan mereka dapat berteduh di bawah kulitnya. Dan air susu diberkahi, sampai-sampai sekali peras seekor onta dapat mencukupi banyak orang, dan sekali peras susu seekor sapi dapat mencukupi manusia satu kabilah, dan sekali peras susu seekor domba dapat mencukupi satu cabang kabilah." (Riwayat Imam Muslim).
Demikianlah ketika keberkahan telah Allah turunkan, sehingga rezeki yang sedikit jumlahnya akan tetapi manfaatannya amat banyak, sampai-sampai satu buah delima dapat mengenyangkan segerombolan orang, dan susu hasil perasan seekor sapi dapat mencukupi kebutuhan orang satu kabilah.
Hadits Kedua:
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda, "Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Isra'il, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk." (HR. Muttafaqun 'alaih).
Para ulama menjelaskan, bahwa tatkala Bani Isra'il diberi rezeki oleh Allah Ta'ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-daging burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, dan kemudian mereka simpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah menghukumi mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk (Ma'alim at-Tanzil, oleh al-Baghawy 1/97, Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi 10/59, dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 6/411).
Hadits Ketiga:
Dari sahabat Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu, ia mengisahkan, "Pada suatu saat aku pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliaupun memberiku, kemudian aku kembali meminta kepadanya, dan beliau kembali memberiku, kemudian aku kembali meminta kepadanya, dan beliaupun kembali memberiku, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini bak buah yang segar lagi manis, dan barang siapa yang mengambilnya dengan tanpa ambisi (tama' atau atas kerelaan pemiliknya), maka akan diberkahi untuknya harta tersebut. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan keserakahan, niscaya harta tersebut tidak akan diberkahi untuknya, dan ia bagaikan orang yang makan dan tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang berada di atas lebih mulia dibanding tangan yang berada di bawah.’ Hakim melanjutkan kisahnya dengan berkata, ‘Kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak akan pernah lagi meminta harta seorangpun sepeninggalmu hingga aku meninggal dunia.’" (HR. Muttafaqun 'alaih).
Ibnu Batthal berkata, "Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan barang siapa yang mengambilnya dengan tanpa ambisi (tama' atau atas kerelaan pemiliknya), maka akan diberkahi untuknya harta tersebut) menunjukkan bahwa sifat qana’ah, senantiasa merasa kecukupan, dan upaya mencari rezeki dari jalan yang baik senantiasa diiringi oleh keberkahan. Dan bahwa barangsiapa yang mencari harta dengan penuh ambisi dan keserakahan, niscaya harta penghasilannya tidak akan diberkahi, dan ia akan terhalangi dari keberkahan seluruh hartanya." (Syarah Ibnu Batthal, 6/47).
Imam an-Nawawi berkata, ”Pada hadits ini dan juga hadits sebelumnya, terdapat anjuran untuk senantiasa menjaga kehormatan diri, merasa kecukupan, dan ridha dengan apa yang berhasil ia peroleh dengan cara-cara yang terhormat, walau hanya sedikit, serta anjuran untuk mencari rezeki dari jalan-jalan yang baik (halal). Sebagaimana seseorang hendaknya tidak terbuai oleh banyaknya harta yang berhasil ia peroleh melalui keserakahan dan ambisi atau yang serupa, karena ia tidak akan pernah mendapatkan keberkahan padanya. Hal ini sangat menyerupai firman Allah Ta'ala,
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
"Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah." (Syarah Shahih Imam Muslim oleh Imam an-Nawawi, 3/486).
Hadits Keempat:
"Dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku melihat surga, kemudian aku berusaha untuk mengambil setandan buah anggur, seandainya aku berhasil mengambilnya, niscaya kalian akan dapat memakannya selama dunia masih ada." (HR. Muttafaqun 'alaih).
Demikianlah bila keberkahan benar-benar telah dilimpahkan kepada sesuatu hal, sampai-sampai setandan buah anggur dapat dimakan oleh umat manusia sepanjang masa. Hal ini bukanlah suatu hal yang mustahil, sebagai salah satu pembuktiannya, marilah kita simak kisah berikut,
"Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab baduwi, lalu ia memakan makanan beliau dalam dua kali suapan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ketahuilah, seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Basmallah-pen), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian." (Riwayat Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban).
Demikianlah contoh nyata pada makanan yang diberkahi dan yang tidak diberkahi.
Bila kita telah memahami hadits di atas, maka akan menjadi mudah bagi kita untuk memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
طعام الواحد يكفي الاثنين وطعام الاثنين يكفي الأربعة
"Makanan satu orang dapat mencukupi dua orang, dan makanan dua orang dapat mencukupi empat orang." (Riwayat ath-Thabrani, dan lain-lain).
Kelima: Allah Ta'ala menyifatkan pemakan riba sebagai "orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa".
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Sesungguhnya, pemakan riba tidak rela dengan pembagian Allah untuknya, berupa rezeki yang halal, dan merasa tidak cukup dengan syariat Allah yang telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan yang halal. Oleh karenanya, ia berusaha untuk mengeruk harta orang lain dengan cara-cara yang batil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian, sikapnya merupakan pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan, dan amat zhalim lagi berlaku dosa, yang senantiasa memakan harta orang lain dengan cara-cara yang batil." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/330).
Keenam: Allah Ta'ala memerintahkan kaum muslimin agar bertakwa, dan hakikat ketakwaan adalah menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan. Bukan hanya hal-hal yang nyata-nyata haram, bahkan hal-hal yang tergolong sebagai syubhat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk meninggalkannya.
"Sesungguhnya yang halal itu nyata dan yang haram itu nyata pula, dan antara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syubhat), banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka barang siapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjatuh ke dalam hal-hal syubhat, niscaya ia terjatuh ke dalam hal yang diharamkan. Perumpamaannya bagaikan seorang penggembala yang menggembala (gembalaannya) di sekitar wilayah larangan, tak lama lagi gembalaannya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki wilayah larangan. Ketahuilah, bahwa wilayah larangan Allah adalah hal-hal yang Ia haramkan. Ketahuilah, bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging (jantung), bila ia baik niscaya seluruh jasad (raga) akan baik, dan bila ia rusak, niscaya seluruh jasad akan rusak pula. Ketahuilah, segumpal daging itu ialah jantung.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Ketujuh: Perintah tegas agar meninggalkan riba. Dan dari perintah tegas semacam inilah disimpulkan hukum wajibnya sesuatu. Dengan demikian, meninggalkan riba adalah wajib hukumnya. Bila suatu hal telah diwajibkan untuk ditinggalkan, maka tidak diragukan lagi akan keharamannya.
Kedelapan: Allah menjadikan perbuatan meninggalkan riba sebagai bukti akan keimanan seseorang, dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tetap memakan riba berarti imannya cacat dan tidak sempurna.
Kesembilan: Allah Ta'ala mengumandangkan peperangan dengan orang-orang yang enggan meninggalkan riba.
Sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu ‘anhu menjelaskan maksud ini dengan berkata, "Yakinilah (wahai para pemakan riba) bahwa Allah dan Rasul-Nya pasti memerangi kalian." (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabary dalam kitab Tafsir-nya, 3/107).
Pada riwayat lain, beliau berkata, "Kelak pada hari Kiamat, akan dikatakan kepada pemakan riba, ‘Ambillah senjatamu untuk berperang (melawan Allah dan Rasul-Nya)." (Idem: 3/101).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala menekankan hukum keharaman riba dengan suatu hal yang paling berat dan keras, yaitu berupa peperangan pemakan riba melawan Allah dan Rasul-Nya, Allah Ta'ala berfirman,
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ
"Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu". Pada ancaman ini, dinyatakan bahwa pemakan riba adalah orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah juga telah mengumandangkan peperangan dengannya. Ancaman semacam ini tidak pernah ditujukan kepada pelaku dosa besar selain memakan riba, perampokan dan upaya membuat kerusakan di muka bumi (sebagaimana disebutkan dalam ayat 33 surat al-Maidah). Hal ini dikarenakan masing-masing dari keduanya sedang berupaya membuat kerusakan di muka bumi. Perampok membuat kerusakan dengan kekuatannya dan tindak sewenang-sewenangnya terhadap orang lain. Sedangkan pemakan riba, berbuat kerusakan dengan sikapnya yang enggan memudahkan kesusahan orang lain melainkan dengan cara membebankan kepada mereka kesusahan yang lebih berat. Allah mengabarkan, bahwa para perampok sedang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan Allah mengumandangkan kepada pemakan riba peperangan dari-Nya dan dari Rasul-Nya." (Thariqul Hijratain wa Babus Sa'adatain, oleh Ibnul Qayyim, 558-559).
Kesepuluh: Allah Ta'ala menyifatkan orang yang berhenti dari memungut riba dan hanya memungut modalnya (uang pokoknya) saja, dengan firman-Nya, "Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." Dari penggalan makna ayat ini dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang yang memungut riba, berarti ia telah berbuat zhalim atau aniaya terhadap saudaranya, karena ia telah mengambil sebagian dari hartanya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam syariat.
Kesebelas : Allah Ta'ala menjadikan riba sebagai lawan dari sedekah.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Allah Yang Maha Suci telah menyebutkan sikap seluruh manusia dalam hal harta benda pada akhir surat al-Baqarah, yaitu terbagi menjadi tiga bagian: adil, zhalim, dan keutamaan. Keadilan berupa akad jual beli, zhalim berupa perbuatan riba, dan keutamaan berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang bersedekah dan menyebutkan pahala mereka, Ia mencela pemakan riba dan menyebutkan hukuman mereka, dan Ia membolehkan jual beli serta hutang-piutang hingga tempo yang telah ditentukan." (I'ilamul Muwaqqi'in oleh Ibnul Qayyim, 2/37.).
Dan di antara dalil dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan akan haramnya riba, ialah hadits berikut:
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya.’" (HR. Muslim).
Orang yang dilaknat ialah orang yang dijauhkan atau didoakan agar dijauhkan dari kerahmatan Allah Ta'ala.
Agar kita semua semakin memahami tentang betapa besarnya dosa memakan harta riba, maka saya mengajak pembaca untuk merenungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut yang menjelaskan kadar dosa memakan harta riba,
(الربا اثنان وسبعون بابا، أدناها مثل إتيان الرجل أمه، وإن أربى الربا استطالة الرجل في عرض أخيه). رواه الطبراني وغيره، وصححه الألباني.
"(Dosa) riba itu memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melangggar kehormatan / harga diri saudarnya." (Riwayat ath-Thabrany dan lainnya serta dishahihkan oleh al-Albany).
Pada hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dengan cara riba, dosanya lebih besar di sisi Allah dibanding tiga puluh enam kali perzinaan yang dilakukan oleh seseorang. Dan riba yang paling besar ialah yang berkaitan dengan kehormatan seorang muslim." (Riwayat Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab Zammul Ghibah, al-Baihaqy dan dishahihkan oleh al-Albany).
Dalil-dalil di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak dalil dari al-Qur'an dan hadits yang dengan tegas mengharamkan riba dengan berbagai bentuknya. Dan berdasarkan dalil-dalil tersebutlah para ulama' mensepakati/berijma' akan keharamannya (baca Maratibul Ijma' oleh Ibnu Hazem al-Andalusi 89, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/52, Mughnil Muhtaj oleh As Syarbiny, 2/21).
Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Keharaman riba telah disepakati oleh ulama, oleh karena itu barang siapa yang mengingkari keharamannya, sedangkan ia tinggal di masyarakat muslim, berarti ia telah murtad (keluar dari agama Islam), karena riba termasuk hal-hal haram yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang serta telah disepekati." (as-Syarhul Mumti' oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, 8/387).
Karena hukum dan dosa riba demikian besarnya, maka sudah semestinya atas setiap orang Islam untuk memahaminya dan mengetahui berbagai transaksi yang tergolong ke dalamnya, agar tidak tergelincir dalam perbuatan dosa besar ini. Terlebih-lebih pada zaman sekarang, dimana ambisi untuk mengeruk harta telah menguasai kebanyakan manusia, sampai-sampai sebagian mereka bersemboyan,
الحلال ما حل في اليد والحرام ما حرم منه اليد
"Yang halal adalah yang sampai ke tangan kita, dan yang haram adalah yang tidak sampai ke tangan kita.” La haula wala quwwata illa billah.
Oleh karena itu, jauh-jauh hari Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu telah berpesan kepada kaum muslimin secara umum,
(لا يتجر في سوقنا إلا من فقه وإلا أكل الربا). ذكره ابن عبد البر بهذا اللفظ.
ورواه مالك والترمذي بلفظ: (لا يبع في سوقنا إلا من قد تفقه في الدين) حسنه الألباني
"Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita selain orang yang telah paham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba." Ucapan beliau dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar al-Maliky.
Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam at-Tirmidzy dengan teks yang sedikit berbeda, "Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita, selain orang yang telah memiliki bekal ilmu agama." Riwayat ini dihasankan oleh al-Albany.
Hal semakna juga ditegaskan oleh Imam al-Qurthuby, "Adapun orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan yang terlarang dari yang dibenarkan, transaksi yang halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan akan melakukan praktik riba dan transaksi haram lainnya, demikian juga halnya dengan orang kafir yang tinggal di negeri Islam." (Ahkaamul Qur'an oleh Imam al-Qurthuby al-Maaliky, 5/29).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. –hafizhahullah-
Artikel: www.PengusahaMuslim.com



2 komentar:

  1. saya merasa prihatin adanya rentenir di lingkungan BJI...mungkin yg bisa kita lakukan adalah jgn pinjam uang ke rentenir tsb, dan mari kita batasi ruang gerak mereka...
    Bgmn kalo kita bikin BMT di BJI..?

    BalasHapus
  2. Usulan yang bagus Pak, kami setuju sekali. kapan - kapan perlu diskusi melibatkan lebih banyak orang lagi pak.

    BalasHapus