Jumat, 02 Oktober 2015

Agar Dunia Tak Memenjara (5): Sadarilah Dunia Itu Menipu

Bagaikan fatamorgana, seperti itulah dunia. Ia adalah kehidupan yang tidak abadi, kebahagiaan yang menipu, dan kesenangan yang semu. Namun, sangat disayangkan masih saja banyak yang tertipu. Apakah mereka ini tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu akan hakikat dunia yang sebenarnya?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasul junjungan; Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Inilah dunia, maka berhati-hatilah.

“Bagaikan fatamorgana,” seperti itulah dunia. Ia adalah kehidupan yang tidak abadi, kebahagiaan yang menipu, dan kesenangan yang semu. Namun, sangat disayangkan masih saja banyak yang tertipu. Apakah mereka ini tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu akan hakikat dunia yang sebenarnya? Dunia ini fana, dan kenikmatan di dalamnya juga sementara. Dunia ini hina, tidak sebanding dengan nilai seekor nyamuk yang lemah tanpa daya. Bahkan dunia ini pun terlaknat, beserta apa yang ada di dalamnya, kecuali kebaktian, kebajikan, dan amal saleh.

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. al-Hadîd [57]: 20).

Inilah dunia yang banyak membuat orang teperdaya. Ia tak lain sekadar permainan yang hasilnya hanya kecapekan dan kelalaian belaka. Dunia menyibukkan orang dari hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat. Dunia tak lebih dari sebuah tanaman yang tumbuh subur di musim hujan, yang tidak seberapa lama kemudian layu dan mengering di musim kemarau. Dan akhirnya bak anai-anai yang beterbangan ditiup angin. Sungguh, betapa cepatnya tanaman itu binasa.

Ketahuilah, kebahagiaan di dunia ini tak akan tercapai kecuali dengan menjadikannya jalan menuju akhirat. Di sanalah kenikmatan yang abadi berada. Sesuatu yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas di hati manusia.

Beginilah hakikat dunia, wahai saudaraku! Jangan sampai ia menipumu. Bukankah kita datang ke dunia ini atas kehendak dari sang Pencipta? Kita pun kelak akan berpulang atas kehendak-Nya juga. Dan jika Ia telah menghendaki, kita tidak akan pernah mampu menolaknya. Berapa banyak orang yang sudah berpulang mendahului kita? Dan berapa banyak orang yang akan datang menggantikan kita? Perumpamaannya seperti sebuah ombak di lautan yang datang silih berganti. Satu ombak hilang ditelan pantai, datang berikutnya susul-menyusul. Begitu pula dunia ini, hilang satu tumbuh seribu. Jika saatnya nanti tiba, semua akan binasa.

Dunia ini, Saudaraku! Tak ubahnya seperti sebuah ruang ujian. Di mana engkau tidak lebih dari seorang peserta ujian yang hanya diberi waktu terbatas untuk mengerjakan soal-soal ujian itu. Begitu pula manusia di dunia ini, ia selalu menghadapi ujian, semenjak baligh sampai meninggal dunia. Peserta ujian akan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, terlebih jika masa ujian sudah dekat. Sedangkan manusia masih saja berleha-leha dan lalai, padahal ia tidak tahu kapan waktu ajalnya tiba. Bisa lusa, besok, ataupun nanti.

Para peserta ujian masih punya kesempatan untuk mengulangi ujiannya jika gagal di ujian pertama itu. Sedangkan ujian hidup ini cuma sekali, tidak ada kesempatan kedua. Jika manusia gagal di ujian yang hanya sekali itu, berarti ia gagal untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, gunakanlah waktu dengan sebaik-baiknya, karena penyesalan di hari esok tiada guna. Peserta ujian bisa beralasan kenapa gagal ujian. Sedangkan engkau, apa yang akan engkau ajukan? Al-Qur`an sudah diturunkan, Rasul sudah diutuskan, halal dan haram sudah dijelaskan, dan jalan yang menuju ke surga maupun ke neraka juga sudah ditunjukkan. Bahkan engkau sendiri pun sudah dibekali dengan akal pikiran; bukankah itu untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan? Bacalah firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (Q.s. al-Insân [76]: 3).

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (jalan kebajikan dan jalan kejahatan)” (QS Al-Balad: 10).

Maka, hujjah dan alasan apa lagi yang akan engkau berikan? Dan sekali-kali Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menzhalimi hambanya, seorang pun.

Saudaraku! Berusahalah agar hasil dari ujianmu di dunia ini baik dan memuaskan. Bergembiralah, meskipun engkau hidup seakan-akan dalam penjara, namun pastinya kelak engkau menjadi orang yang beruntung. Jadikanlah iman kepada Allah dan amal saleh sebagai bekalmu selalu. Hiduplah di dunia ini seolah-olah engkau dalam perjalanan yang jauh dan jadikanlah ia sebagai ladang untuk akhiratmu.

Sobatku! Dunia ini hanya akan tampak menakjubkan di mata orang yang tidak mengetahuinya, layaknya orang memimpikan sesuatu yang menyenangkan. Apa yang ia lihat hanyalah khayalan, bukan kenyataan. Oleh karenanya, jangan sampai tertipu. Bukankah dunia sering merusak impian para pengejarnya?

Pernahkah engkau mendengar kisah seorang yang celaka karena dunia? Yakni kisah yang terjadi pada zaman nabi Isa ‘Alaihissalam.? Begini ceritanya, seperti yang dikisahkan Ibnu Abi Dunya dalam Dzam ad-Dunyanya, suatu hari, seorang laki-laki meminta izin kepada nabi Isa agar diperbolehkan menemani beliau dalam suatu perjalanan. Tanpa banyak berpikir, nabi Isa pun mengizinkannya. Lalu berjalanlah mereka berdua hingga sampai di sebuah sungai, seketika itulah mereka berdua istirahat sejenak untuk makan siang. Saat itu, perbekalan yang mereka punyai hanyalah tiga potong roti; dua dimakan, dan satunya disisakan.

Selesai makan, nabi Isa beranjak ke arah sungai untuk minum, dan sedetik kemudian kembali ke tempatnya semula. Namun, ia tidak mendapati sisa roti yang satu itu. Spontan beliau pun bertanya kepada laki-laki yang menemaninya, “Siapa yang memakan sisa satu roti tadi?” Ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Lalu mereka berdua pun melanjutkan sisa perjalanannya. Tiba-tiba tampaklah seekor rusa bersama dua anaknya. Tanpa pikir panjang lagi, keduanya langsung menyembelih seekor anak rusa itu, lantas memakannya hingga kenyang. Kemudian nabi Isa berkata kepada bangkai rusa yang telah disembelih tersebut, “Dengan izin Allah, hiduplah kembali wahai rusa.” Sejurus kemudian rusa itu pun kembali hidup, lalu pergi meninggalkan keduanya.

Lantas Nabi Isa bertanya kepada laki-laki yang menemaninya, “Demi Allah yang memperlihatkanmu keajaiban ini, siapa yang memakan roti itu?” Ia pun tetap menjawab, “Aku tidak tahu”. Kemudian keduanya berjalan lagi hingga tiba di sebuah lembah yang penuh air. Serta merta nabi Isa menggandeng tangan laki-laki itu dan berjalan di atas air seraya menanyainya lagi, “Sekarang, jawablah! Siapa yang mengambil roti itu.” Kali ini pun ia masih menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku tidak tahu.”

Lalu keduanya melanjutkan perjalanannya lagi hingga akhirnya tiba di sebuah padang sahara yang tandus. Segera nabi Isa mengumpulkan tanah atau pasir, lantas berkata, “Dengan izin Allah, jadilah emas!” Maka tanah atau pasir itu pun berubah menjadi emas. Kemudian nabi Isa membagi emas itu menjadi tiga, “Satu bagian untukku, satu bagian untukmu, dan satu bagian lagi untuk yang memakan roti itu,” ujarnya. Tiba-tiba teman laki-lakinya itu mengaku, “Akulah yang memakan roti itu.” Begitu mendengarnya nabi Isa pun menimpali, “Kalau begitu, semua emas ini untukmu saja.” Lalu beliau pergi meninggalkan temannya itu sendirian.

Tak berselang lama, teman laki-laki nabi Isa kedatangan dua orang yang ingin merebut emas itu dari tangannya. Karena takut dibunuh, laki-laki itu pun berkata, “Bagaimana kalau emas ini kita bagi bertiga saja?” Tanpa basa-basi kedua orang itu menerimanya. Sejurus kemudian ketiganya memutuskan untuk berteman. Tiba-tiba salah seorang dari mereka diminta untuk membeli makanan ke desa terdekat. Di tengah perjalanan, laki-laki yang membeli makanan itu berujar dalam hati, “Kenapa emas itu harus dibagi tiga? Biarlah aku racuni makanan ini; agar kedua temanku itu mampus. Kalau sudah begitu kan emas itu menjadi milikku seorang,” seraya menaruh racun pada makanan itu.

Sementara, salah seorang dari kedua temannya yang menunggu juga berujar, “Kenapa sih teman kita yang satu ini meski mendapat bagian sepertiga? Kenapa tidak kita bunuh saja dia sekembalinya dari desa? Lalu kita bagi emas ini berdua saja,” ujarnya kepada teman satunya. Begitu ia kembali, keduanya langsung membunuhnya, lalu memakan apa yang telah dibelinya. Tak berselang lama, keduanya pun ikut menyusul menemui ajal karena keracunan. Ketiga-tiganya akhirnya meninggal dunia sebagai korban dari emas itu. Pada akhirnya emas itu pun tak bertuan. Beberapa saat kemudian, nabi Isa melewati tempat tersebut, seraya mendapati apa yang telah terjadi. Serta merta beliau pun berkata, “Inilah dunia, berhati-hatilah.” []



Penulis: Abu Hasan Abdillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar