Lukman Hakim berkata, "Wahai anakku tercinta jika mulai
hari ini engkau berpaling dari dunia berarti engkau telah melepaskannya, dan
engkau bisa segera bergegas menuju akhiratmu. Ketahuilah engkau ini lebih dekat
ke akhirat yang mendatangimu daripada dunia yang menjauhimu"
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam semoga tercurahkan kepada Rasul junjungan; Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam.
Dunia memang melenakan. Lantas, bagaimanakah orang bijak
bersikap?
Adalah sebuah keteledoran jika kita tidak mau belajar kepada
ahli yang lebih berpengalaman. Dalam bidang otomotif misalnya, terdapat
ahli-ahli handal yang kenyang pengalaman menangani berbagai jenis kendaraan,
dan paham betul seluk-beluk perbengkelan. Jika motor atau mobil kita rusak
parah, kemudian kita bawa ke tukang bengkel amatiran, tentu ini sebuah
kesalahan. Dijamin, servisnya berhari-hari atau berminggu-minggu, itu saja
masih untung kalau kendaraan kita tidak dibikin lebih parah kerusakannya. Lebih
parah jika kita tidak datang ke pihak yang salah (bukan tukang bengkel), tidak
tahu seperti apa jadinya.
Demikian pula dunia ini, ia punya ahli-ahli bijak yang telah
lama melanglang buana di jagat kehidupan. Sebagai pemain lama, tentu mereka
telah banyak makan asam garam perjuangan. Seluk beluk kehidupan telah mereka
pahami dari A sampai Z, dari Z sampai A lagi. Mereka tahu betul mana yang harus
dicari dan mana yang harus dihindari. Apa yang mesti dikerjakan dan apa yang
mesti ditinggalkan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita belajar dari
sejuta pengalaman yang mereka dapatkan. Berikut ini untaian mutiara emas dari
para bijak bestari.
Wasiat Lukman Hakim
Adalah Lukman Hakim, laki-laki yang namanya disebut-sebut
dalam Al-Qur`an, bahkan diabadikan dalam sebuah surat “Luqman”, pernah
berpetuah kepada buah hatinya. “Wahai anakku tercinta jika mulai hari ini
engkau berpaling dari dunia berarti engkau telah melepaskannya, dan engkau bisa
segera bergegas menuju akhiratmu. Ketahuilah engkau ini lebih dekat ke akhirat
yang mendatangimu daripada dunia yang menjauhimu.“ Seperti itulah Ibnu Abi
Dunya menyebutkannya di halaman 12 pada kitab Dzamm ad-Dunyâ.
Jadi, menurut Lukman sang bijak, kehidupan kita ini cuma
sekali, umur kita juga terbatas. Hari-hari yang kita lewati sama dengan nilai
bertambahnya umur kita. Semakin banyak umur kita, semakin banyak pula hari yang
kita lewati. Itu berarti masa usia kita di dunia ini semakin berkurang. Nah,
jika usia kita semakin berkurang berarti makin dekat pula ajal kita.
Kesimpulannya adalah jika jumlah hari yang kita lewati kian hari kian
bertambah, maka semakin jauh kita meninggalkan dunia di belakang kita, dan semakin
dekat pula akhirat yang ada di hadapan kita. Jika sudah demikian, kenapa harus
bersusah payah mengejar dunia? Toh, mau tidak mau nantinya pasti ditinggalkan
juga. Begitulah kira-kira inti dari nasihat Lukman untuk anaknya.
Nasihat nabi Isa ‘Alaihissalam
Suatu hari, tulis Ibnu Abi Dunya, di halaman 17 dari kitab
Dzamm ad-Dunyâ, nabi Isa menuturkan, “Dengan sebenarnya aku katakan,
sebagaimana orang sakit yang tidak bisa menikmati makanan enak dikarenakan rasa
sakit yang dideritanya. Begitu juga pencari dunia, ia tidak bisa memperoleh
nikmat dan manisnya ibadah jika di dalam dirinya masih bercokol rasa cinta
dunia. Ada kalanya jika hewan tunggangan itu tidak dinaiki dan dimanfaatkan
tenaganya, tabiatnya akan berubah dan susah dijinakkan. Seperti itu pula keadaan
hati, jika tidak dilembutkan dengan mengingat mati, dan tidak ditenangkan
dengan ibadah, ia akan mengeras dan membatu. Pun juga geriba, jika tidak pecah
atau kering, maka akan dijadikan bejana untuk madu. Sama halnya hati, jika
tidak dipanasi api syahwat, dikotori rasa tamak, atau dibekukan oleh rasa
nikmat, ia akan menjadi penampungan hikmah”.
Sungguh sangat dalam maknanya, bukan? Inti dari nasihat di
atas adalah keadaan hati akan sangat dipengaruhi oleh sikap manusia terhadap
dunia. Jika manusia berusaha mengejar dan menggapai dunia, maka bisa dipastikan
hatinya akan ikut ternoda dan terluka. Namun, sebaliknya, jika ia berusaha
menjadikan dunia hanya sebagai sarana menuju akhirat, maka hatinya pun akan
ikut tersirami ketenteraman dan ketenangan. Sebab dunia dan akhirat itu tidak
bisa disatukan dalam satu hati.
Permisalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah pernah kedatangan Umar,
saat itu beliau tengah duduk di atas tikar kasar yang menggurat bekas di badan
beliau. Spontan Umar pun bertanya kepada beliau, “Wahai baginda Nabi! Kenapa
engkau tidak memilih kasur yang lebih empuk dari tikar ini? Rasulullah pun
menjawab, “Kenapa aku mesti menyibukkan diri dengan dunia? Perumpaman antara
aku dan dunia adalah seperti seseorang yang melakukan perjalanan di tengah hari
di musim panas. Lalu ia istirahat sambil berteduh di bawah sebuah pohon tidak
seberapa lama. Kemudian melanjutkan perjalanannya kembali seraya meninggalkan
pohon itu” (H.r. Ahmad dan Hakim. Hadis ini sahih berdasarkan persyaratan
Bukhari dan Muslim).
Perhatikanlah, dunia seperti sebuah pohon yang dijadikan
tempat berteduh oleh orang-orang yang melakukan perjalanan jauh di bawah terik
matahari. Tentunya, waktu untuk beristirahat di bawah naungan pohon itu sangat
singkat dan sebentar; karena ia harus melanjutkan perjalanan. Seenak dan
serindang apa pun pohon itu tetap harus ditinggalkan. Jadi, untuk apa ngotot
dan “ngoyo” mengejar dunia. Toh nantinya juga akan ditinggal juga, seindah dan
seelok apa pun dunia itu.
Dunia versi Ali bin Thalib radhiallahu ‘anhu
Ibnu Abi Dunya di halaman 31 dari kitabnya Dzam ad-Dunya
menulis, suatu ketika, Ali bin Abi Thalib mendengar seseorang mencaci maki
dunia. Serta merta beliau pun menegurnya seraya menasihati,
“Dunia ini adalah sebenar tempat bagi yang membenarkannya,
sebenar kesehatan bagi yang memahaminya, dan sebenar kekayaan bagi yang
berbekal darinya. Tempat di mana masjid-masjid didirikan untuk para pencari
kecintaan Allah. Tempat diturunkannya wahyu. Dunia ini adalah mushalanya para
malaikat, dan tempat perniagaannya para kekasih Allah. Untung yang mereka
dapatkan adalah rahmat Allah dan laba yang mereka peroleh adalah surga-Nya.
Lantas siapakah engkau hingga berani mencela dunia?”
Hingga akhirnya beliau pun berkata, “Wahai manusia yang
terjangkiti penyakit dunia, yang tertipu oleh tipuan dunia. Ketahuilah, kapan
saja engkau tergoda maupun tertipu oleh rayuan dunia, itu sama saja engkau
tertipu oleh tanah tempat pembaringan bapakmu, atau musibah yang merenggut nyawa
ibumu. Seberapa sering engkau menyesal dan putus asa dari mencari kesembuhan,
namun engkau tetap tidak dapat menemukan obatnya, meskipun semua dokter telah
engkau datangi. Sungguh, dunia ini telah menggambarkan tempat di mana kematian
menjemputmu, yaitu besok ketika tidak berguna lagi tangisanmu, dan tidak
berdaya lagi kekasihmu”.
Petuah seorang ulama
Berikut ini isi surat yang ditulis seorang ulama untuk
Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
“Wahai Khalifah, ketahuilah dunia ini bukanlah tempat yang
abadi. Dunia ini adalah tempat diturunkannya nabi Adam dari surga, sebagai
akibat atas perbuatannya (makan buah “Khuldi”). Orang yang tidak bisa
membedakan antara ganjaran dan hukuman menganggap bahwa turunnya nabi Adam ke
dunia ini adalah sebagai ganjaran untuknya, dan sebagian lainnya menganggap itu
adalah hukuman atasnya. Pergumulan dunia ini membuat hina orang yang
memuliakannya, merendahkan orang yang menyanjungnya, dan menjadikan miskin
orang yang mengejarnya.
Setiap saat dunia ini meminta korban, dan bekal untuk
selamat darinya adalah dengan meninggalkannya. Ketahuilah, orang yang paling
kaya adalah yang tidak membutuhkan dunia.
Wahai Khalifah, demi Allah, dunia ini bagaikan racun yang
dikonsumsi orang yang tidak memahaminya; ia menyangka bahwa itu obat, tapi
ternyata racun yang membunuhnya. Oleh karena itu, jadilah di dunia ini seperti
seorang yang mengobati lukanya. Baginya, menahan rasa sakit untuk sementara
waktu–ketika mengobati lukanya-itu lebih baik daripada membiarkannya semakin
parah, yang justru akan membuatnya merasa kesakitan yang berkepanjangan.
Menurutnya, rasa sakit karena obat tidaklah seberapa dibanding rasa sakit
karena luka.
Orang mulia itu adalah yang memiliki sifat tawadhu’ (rendah
diri), tidak boros, berkata benar, dan memilih makanan yang baik. Pandangan
matanya jauh menerawang ke depan, tidak hanya terpaku pada dunia semata. Rasa
takutnya dalam hal kebaktian seperti rasa takut seseorang yang berada di atas
laut. Doa yang ia panjatkan di waktu senang tidak berbeda dengan doa yang ia
panjatkan di waktu susah.
Sungguh, jika bukan karena ajal yang telah ditentukan
atasnya, niscaya arwahnya hanya akan sebentar berada dalam jasadnya, karena
takut akan siksaan dan rindu terhadap ganjaran. Baginya, kebesaran Sang
Pencipta dan kekerdilan si ciptaan adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Wahai
khalifah, cukuplah apa yang engkau dapatkan sekarang” demikianlah Ibnu Abi
Dunya menyebutkannya dalam kitabnya Dzam ad-Dunya di hal. 54. []
—
Penulis: Abu Hasan Abdillah, BA., MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar