JATILUHURONLINE, id - WISATA, Seperti telah disebutkan,
Masjid Agung Purwakarta didirikan hampir bersamaan dengan pendopo. Di Jawa
Barat khususnya dan di Pulau Jawa umumnya, setiap kota tradisional yang
didirikan sebagai pusat pemerintahan kabupaten, memiliki komponen utama berupa
pendopo, alun-alun, dan masjid agung. Ketiga komponen itu dibangun hampir
bersamaan. Hal itu berarti, pada awal berdirinya Masjid Agung Purwakarta
dibangun oleh penduduk Sindangkasih, dipimpin oleh hoofdpanghulu (penghulu
kepala) dan di bawah pengawasan Bupati R.A.A. Suriawinata alias “Dalem
Sholawat” (1830 – 1849). Pada waktu itu yang menjadi hoofdpanghulu Kabupaten
Karawang adalah Raden Haji Yusuf (Baing Yusuf). Ia menjadi Hoofdpanghulu
Karawang sejak tahun 1828 (Almanak van Nederlandsch Indie, 1828 : 59). Dalam
kedudukan itu, Baing Yusuf juga berperan sebagai pengelola Masjid Agung
Purwakarta.
Pada tahap awal, kondisi bangunan masjid masih sangat
sederhana, sama dengan kondisi bangunan pendopo, yaitu belum berupa bangunan
permanen. Atap masjid berbentuk atap tumpang, ciri khas masjid tradisional.
Waktu itu, atap umumnya terbuat dari ijuk, dan badan bangunan dibuat dari kayu
dan bambu.
Masjid dibangun tidak jauh dari Situ Buleud agar kebutuhan
air tidak mengalami kesulitan. Pembangunan masjid tentu dimaksudkan untuk
tempat beribadat orang Islam penduduk kota Purwakarta dan Distrik Sindangkasih.
Sangat disayangkan, sumber atau data yang menunjukkan jumlah penduduk daerah
itu pada tahun 1830-an belum ditemukan.
Telah disebutkan, bahwa tahun 1854 pendopo di Purwakarta
direnovasi. Pada waktu itu, pemerintah kabupaten di Tatar Sunda bukan hanya
merenovasi bangunan pendopo, tetapi juga masjid agung. Kegiatan merenovasi
kedua bangunan itu dilakukan hampir bersamaan. Hal itu antara lain terjadi di
Kabupaten Bandung tahun 1850 (Hardjasaputra, 2002 : 66). Dengan beranalogi pada
kejadian di Kabupaten Bandung pada waktu yang hampir sama (pertengahan abad
ke-19), boleh jadi Masjid Agung Purwakarta pun pertamakali direnovasi sekitar
tahun 1854, masa pemerintahan Bupati R.T.A. Sastradiningrat I (1854 – 1863).
Renovasi itu dilakukan atas dasar kebutuhan pemakai dan
sejalan dengan kemajuan kehidupan di ibukota kabupaten. Pemakai masjid agung
khususnya tentu penduduk pribumi daerah setempat. Pada tahun 1845, penduduk
pribumi Distrik Sindangkasih berjumlah lebih dari 7000 jiwa (Tidschrift voor
Neerlands Indie, 1847 : 120). Pada tahun-tahun berikutnya dapat dipastikan
jumlah penduduk terus bertambah. Penduduk itulah pemakai utama Masjid Agung
Purwakarta waktu itu.
Sebelum ada pesantren, diduga masjid agung juga difungsikan
sebagai tempat belajar agama. Selain itu, masjid juga biasa digunakan untuk
kegiatan yang menyangkut aturan agama, seperti nikah, talak, rujuk, dan
lain-lain. Akad nikah lazim dilaksanakan di masjid, sehingga pergi ke masjid
untuk melaksanakan akad nikah dikenal dengan sebutan “ka bale nyungcung”. Nyungcung
yang berarti kerucut mengacu pada bentuk atap masjid. Sudah menjadi kelaziman
pula, menjelang akhir bulan Ramadhan tiap tahun, masjid juga difungsikan
sebagai tempat pengumpulan zakat fitrah dan zakat lainnya. Semaraknya masjid
agung tiap tahun terjadi pada acara Idul Fitri dan Idul Adha.
Masjid Agung Purwakarta dikelola oleh Baing Yusuf sampai ia
menjelang wafat tahun 1856. Pengelolaan masjid itu kemudian dilanjutkan oleh
keturunan Baing Yusuf, yaitu Kiyai Haji R. Marjuki (Baing Marjuki) sampai tahun
1937.
Sejak pertengahan abad ke-19 sampai sekarang, Masjid Agung
Purwakarta mengalami beberapa kali renovasi. Tahun 1926 masjid itu dilengkapi
dengan bak air dan tempat mandi. Pembangunan fasilitas masjid itu dipelopori
oleh R. Ibrahim Singadilaga, seorang tokoh masyarakat Purwakarta (Panitia
Pem-bangunan Masjid Agung Purwakarta, 1993/1994 : 2).
Pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, masjid
agung adalah satu-satunya bangunan fasilitas kota yang tidak diganggu atau
diduduki oleh pihak penjajah. Hal itu terjadi karena penjajah khawatir akan
timbulnya gerakan Islam yang kuat dan besar menentang penjajah, apabila mereka
mengganggu fungsi masjid.
Setelah Indonesia merdeka, Masjid Agung Purwakarta kembali
mengalami beberapa kali renovasi. Tahun 1955, di sebelah kiri masjid dibangun
ruangan untuk Kantor Pengadilan Agama. Pembangunan ruang kantor itu diprakarsai
dan dipimpin oleh R. Endis, K.H. R. Santang, dan K.H. Moh. Aop. Tahun 1967
ruangan masjid diperluas dengan menambah bangunan sayap dan tempat wudlu.
Lebih-kurang 12 tahun kemudian (1979), masjid itu direnovasi
secara besar-besaran, tetapi tetap mempertahankan bentuk asli dan nilai
artistiknya. Pelaksanaan renovasi dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Purwakarta, diketuai oleh Hj. Mamie Satibi Darwis, istri Letjen. Drs. H.R.A.
Satibi Darwis. Setelah selesai direnovasi, Masjid Agung Purwakarta diresmikan
oleh Menteri Agama RI, Letjen. H. Alamsyah Ratu Perwiranegara tahun 1980.
Beberapa tahun kemudian, sejumlah warga masyarakat Purwakarta
menginginkan agar masid agung dipugar, sejalan dengan perkembangan kehidupan
agama khususnya dan pembangunan daerah umumnya. Menanggapi aspirasi masyarakat
itu, Drs. H. Bunyamin Dudih, S.H. selaku Bupati/Kepala Daerah Tingkat II
Purwakarta mengambil prakarsa untuk memusyawarahkan pemugaran masjid agung.
Dalam musyawarah itu, bupati mendapat kepercayaan dari peserta musyawarah
menjadi ketua panitia pemugaran masjid.
Kelanggengan fungsi Masjid Agung Purwakarta dari zaman ke zaman, menambah nilai dan makna masjid dalam perjalanan sejarah kota Purwakarta. Hal itu menunjukkan gambaran perkembangan syiar Islam di Purwakarta dari zaman ke zaman. Meskipun bangunan masjid berkali-kali direnovasi, bahkan akhirnya dipugar, tetapi masjid itu tetap bernilai sejarah, walaupun tidak setinggi nilai sejarah pendopo. Satu hal yang memperkuat nilai sejarah situs Masjid Agung Purwakarta adalah keberadaan makan Bupati R.T.A. Gandanegara -- Bupati Karawang ke-15 (1911 – 1925) yang berkedudukan di Purwakarta -- di halaman belakang masjid. Hal yang disebut terakhir merupakan alasan kuat untuk tidak memindahkan lokasi masjid, karena memang – seperti telah disebutkan – masjid agung adalah salah satu komponen utama kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar