Senin, 10 Agustus 2015

Agar Dunia Tak Memenjara (1): Carilah Kebahagiaan Yang Hakiki

Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga, siapa pun yang tidak masuk ke dalamnya, niscaya ia tidak akan masuk surga akhirat. Ada seseorang yang mengingatkanku tentang apa yang diperbuat musuh-musuh terhadapku. Maka aku katakan padanya, ‘Surga dan tamanku ada di dadaku, ia akan tetap selalu menyertaiku ke mana pun aku pergi

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasul junjungan; Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sudah menjadi watak manusia untuk mencintai keindahan, kesenangan, kebahagiaan, atau yang senada dengannya, karena memang manusia diciptakan dengan dilengkapi hawa nafsu. Oleh karena itu, setiap yang berbau enak pasti digandrunginya. Itu tidak bisa dipungkiri. Harta, tahta dan wanita adalah tiga hal yang tidak akan pernah sepi dari para pengejarannya. Pesta, perayaan, senang-senang, dan hura-hura adalah sesuatu yang akan selalu melekat pada diri manusia.

Sesuai fitrahnya, manusia memang bergerak karena dorongan syahwatnya. Ia akan berusaha mewujudkan apa yang diinginkannya, dan memenuhi apa yang menjadi hasrat kesenangannya. Apa yang diinginkannya akan selalu tampak indah di matanya. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut (yang artinya),

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (Q.s. Âli ‘Imran [3]: 14).

Nah, begitulah manusia diciptkan memiliki rasa suka. Suka wanita, suka anak, dan suka harta. Rasa suka itu bukan monopoli kalangan tertentu. Semua jenis manusia punya rasa itu. Baik laki-laki maupun perempuan. Tua, muda, sama saja. Kaya, miskin, sehat, sakit, tak ada bedanya. Semuanya punya. Itulah fitrah. Oleh karenanya, ia tidaklah tercela jika memenuhi hasrat rasa sukanya itu. Yang tercela adalah apabila ia berlebih-lebihan dalam hasratnya dan memperturutkan hawa nafsunya. Camkanlah hadis Nabi Muhammad Saw berikut ini.

عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ثلاث مهلكات: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بنفْسِهِ.

Dari Anas radhiallahu’anhu. berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda, “Tiga hal yang mencelakakan: sifat pelit yang diikuti; hawa nafsu yang dituruti; dan rasa bangga terhadap diri sendiri” (HR. Baihaqi. Syaikh Albani menghasankan hadis ini).

Namun, masih saja manusia lebih senang memperturutkan hawa nafsunya. Demi kesenangan, apa pun akan dilakukannya. Dunia memang tampak menyenangkan dan selalu lekat dengan yang berbau kesenangan: wanita, kekuasaan, perhiasan, permainan, dan lain-lain. Bahkan, sedari dulu pun pergulatan hidup manusia tidak lepas dari itu-itu saja. Gara-gara wanita, Al-Baghawi menyebutkan dalam kitab Tafsirnya Ma’âlim at-Tanzîl, bahwa si Qabil, anak laki-laki nabi Adam ‘Alaihissalam tega membunuh saudaranya sendiri Habil, demi merebut si cantik Iqlima.

Gara-gara kekuasaan, At-Thabari mencantumkan dalam kitabnya Jâmi’ al-Bayân, bahwa Walid bin Mus’ab, si Fir’aun Mesir, mengeluarkan perintah pembunuhan massal bayi laki-laki, karena takut kelak di antara bayi-bayi itu ada yang merebut kekuasaannya. Gara-gara kekayaan, Ibnu Katsir mengabadikan dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîmnya, bahwa si Qarun, konglomerat di zaman nabi Musa ‘Alaihissalam itu menjadi congkak dan sombong. Ketika diingatkan agar tidak bertingkah demikian, bukannya insyaf, justru kecongkakan dan kesombongannya semakin menjadi-jadi. Lalu Allah benamkan dirinya beserta seluruh harta kekayaannya ke dalam perut bumi, hingga tak tersisa sedikit pun.

Begitu pula intrik-intrik yang terjadi di sepanjang sejarah manusia, selalu berkutat di situ-situ saja. Perseteruan antar preman, tawuran massal antar kampung, perkelahian antar anak bangsa, bahkan peperangan antar negara, juga seringkali disebabkan oleh hal-hal tersebut? Memang menyenangkan menjadi seorang pemenang. Lalu apa hasil yang dicapai dari sebuah kemenangan? Kesenangan, mungkin itulah yang akan mereka ucapkan. Tapi kesenangan yang seperti apa? Hakiki? Tentu bukan! Tidak seberapa lama kemudian kesenangan itu juga akan hilang. Karena kesenangan tersebut bersifat semu, tidak hakiki.

Lihatlah, bagaimana kesudahan Qabil setelah berhasil membunuh Habil? Apa yang terjadi pada Fir’aun setelah melenyapkan semua bayi laki-laki? Dan apa yang didapat Qarun setelah memamerkan kekayaannya? Bukankah kesenangan? Ya, kesenangan-lah yang mereka dapatkan, namun hanya sesaat. Setelah itu, mereka ditimpa kesusahan yang teramat, hasil dari apa yang mereka perbuat.

Sebab, kesenangan hakiki itu tempatnya ada di hati, hati yang tersentuh oleh cahaya ilahi. Seberapa banyak orang yang berharta namun tidak bahagia? Seberapa sering dijumpai orang yang bertahta namun tidak tenang hidupnya? Dan tidak jarang kita jumpai orang yang beristri cantik namun hidupnya sengsara. Orang lain menganggap hidupnya senang, namun dirinya mendapati batinnya ‘berteriak’ karena tersiksa oleh derapan rasa kekosongan yang berkepanjangan.

Sebaliknya, tidak sedikit orang yang hidupnya melarat, untuk sekedar makan saja ia kesusahan, tetapi secara batin ia bahagia. Tidak jarang pula orang yang istrinya tidak begitu cantik tetapi ia berbahagia dengan hidupnya. Apa pasal? Karena ia telah menemukan ketenangan di dalam hatinya. Sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari harta, tahta, dan wanita. Ya, itulah keimanan. Itulah kebahagiaan yang sebenarnya.

Penyair Arab pernah berdendang,

Tidak kutemukan kebahagiaan pada kumpulan harta

Namun pada ketakwaan kutemui makna bahagia

Rasa takwa sebaik-baik bekal simpanan

Di sisi Tuhan pun ia mendapat tambahan

Ya, kebahagiaan itu hanya akan diperoleh dengan ketakwaan, keimanan dan amal salih. Bukan dengan tumpukan harta, kebesaran tahta, ataupun kecantikan wanita. Sebab semua itu semu. Maka sungguh celakalah orang yang menjual agamanya demi kebahagiaan yang tidak hakiki, menjual akhiratnya demi kepuasan hawa nafsu. Hanya kegundahan, kesedihan dan kesempitanlah yang akan didapatkannya. Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan;

Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (Q.s. Thâhâ [20]: 124).

Sekali lagi, kebahagiaan hanya akan didapatkan dengan keimanan. Sebab sesiapa yang merasakan nikmatnya iman, niscaya akan merasakan manisnya kebahagiaan yang hakiki. Sesuatu yang membuatnya merasa hidup dengan dada lapang, hati tenang, dan ketentraman batin.

Camkanlah kata-kata Ibnu Taimiyah yang dinukil  ad-Dimasyqi dalam Ar-Raddu al-Wâfirnya berikut ini,

Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga, siapa pun yang tidak masuk ke dalamnya, niscaya ia tidak akan masuk surga akhirat. Ada seseorang yang mengingatkanku tentang apa yang diperbuat musuh-musuh terhadapku. Maka aku katakan padanya, ‘Surga dan tamanku ada di dadaku, ia akan tetap selalu menyertaiku ke mana pun aku pergi

***

Bersambung ke: Agar Dunia Tak Memenjara (2): Sadarilah Dunia Lebih Hina Dari Sayap Nyamuk

Penulis: Abu Hasan Abdillah, BA., MA.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar