Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda,
"Seandainya dunia ini sama nilainya dengan sayap nyamuk di sisi Allah.
Niscaya Ia tidak akan memberikan minuman dari dunia itu kepada orang kafir,
meskipun hanya seteguk air" (HR. Tirmidzi. Syeikh Albani menshahihkan
hadis ini).
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam semoga tercurahkan kepada Rasul junjungan; Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam.
Dunia ini tidak lebih baik dari seekor nyamuk!
Mungkin Anda bersungut-sungut ketika membaca kalimat di
atas. Benarkah dunia yang sebegitu besar dan indahnya lebih hina dari seekor
nyamuk? Makhluk yang sering kita pandang tak berharga itu? Makhluk kecil yang
sering mengusik ketenangan kita. Ternyata ia mengalahkan kemegahan dan
kebesaran dunia. Apa pasal? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menyamakan
persepsi terlebih dahulu.
Sebagaimana sudah maklum, bahwa pandangan orang terhadap
dunia itu berbeda-beda. Di satu sisi, orang memandang dunia ini adalah ‘surga’,
namun di sisi lain orang memandang dunia sekadar mampir ngombe saja. Perbedaan
pandang ini bertolak dari perbedaan cara memahami makna kehidupan dunia itu
sendiri.
Yang pertama mengartikan kehidupan dunia dengan kesenangan
dan foya-foya. Sedangkan yang kedua mengartikan kehidupan dunia ini sebagai
ladang amal dan ibadah. Jika yang pertama mereka akan berbuat apa saja demi
tercapainya cita-cita, tanpa menghormati nilai-nilai kemanusian, bahkan dengan
menghalalkan segala cara. Tipu, dusta, manipulsi, kolusi, dan korupsi adalah
‘makanan’ sehari-hari. Bahkan membunuh pun bukanlah ‘barang baru’. Mereka
inilah sekumpulan orang yang tidak bernurani dan ingin menang sendiri. Orang
yang hatinya telah mati dan tidak mengenal kasih sayang, yang kerjaannya hanya
memperturutkan hawa nafsu belaka. Maka yang kedua adalah orang-orang berhati
lembut, penuh kasih sayang, dan bernurani sehat.
Sejatinya, yang menjadikan nilai dunia lebih rendah dari
nyamuk bukanlah karena dunia itu lebih jelek dari segi penciptaannya daripada
nyamuk. Bukan, bukan karena itu. Sebab kalau dari sisi ini jelas dunia jauh
lebih bernilai. Apa yang ada di dunia adalah semata-mata karunia dan nikmat
dari Allah, sang Pencipta. Gunung, lautan, matahari, bulan, bintang, dan
seterusnya adalah pemberian yang wajib disyukuri. Dan tanpa diragukan lagi, semua
itu jauh lebih baik dan berharga dibanding nyamuk.
Tetapi yang menjadikan nilai dunia ini lebih rendah dari
nyamuk adalah dikarenakan polah dan tingkah laku manusia itu sendiri. Lalu apa
hubungannya dengan soalan ini? Ya jelas ada hubungannya, karena manusia adalah
pemakmur dan penanggung jawab bumi. Terlebih-lebih mayoritas penduduk bumi
berjenis manusia pertama, sebagaimana diuraikan di atas. Jadi, kesimpulannya
adalah tingkah laku manusia itu lebih hina dan rendah dari pada tingkah laku
nyamuk.
عن سهل بن سعد
قال : قال رسول الله
صلى الله عليه و
سلم: لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا
تَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ
بَعُوضَةٍ، مَا سَقَى كَافِرًا
مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ.
Dari Sahl bin Sa’ad berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pernah bersabda, “Seandainya dunia ini sama nilainya dengan sayap
nyamuk di sisi Allah. Niscaya Ia tidak akan memberikan minuman dari dunia itu
kepada orang kafir, meskipun hanya seteguk air” (HR. Tirmidzi. Syeikh Albani
menshahihkan hadis ini).
Tapi, bagaimana mungkin manusia bisa lebih hina dan rendah
daripada nyamuk? Bukankah manusia diberi kelebihan akal, sedangkan nyamuk
tidak? Justru, di sinilah letak pokok persoalannya.
Jika manusia memang memiliki akal, kenapa ia mengganggu yang
lain? Kenapa buang sampah sembarangan, misalnya? Kenapa pula merokok di
sembarang tempat, bukankah ia punya mata, kenapa tidak digunakan? Lalu kenapa
juga ada penebangan liar, perusakan alam dan pemusnahan satwa? Bukankah
kerusakan yang terjadi di bumi ini sebagian besar adalah ulah tangan manusia?
Bukankah error-nya ekosistem itu juga disebabkan manusia?
Belum lagi kerusakan moral: pembunuhan, pemerkosaan,
pemerasan, penganiayaan, pencurian, dan seterusnya. Bukankah itu juga tingkah
laku manusia? Ya, memang, kerusakan itu manusialah biang keladinya. Sungguh
benar apa yang diberitakan Al-Qur`an.
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ
بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar (Q.s. ar-Rûm [30]: 41).
Itu pun masih ditambahi penyimpangan-penyimpangan agama yang
dilakukan manusia. Kemusyrikan di mana-di mana. Kedustaan sudah menjadi hal
yang biasa. Bahkan larangan-larangan agama pun dianggap sepele. Lalu di mana
akal manusia? Di mana pula mata dan telinganya? Kenapa tidak digunakan?
Pantaslah memang, jika manusia menjadi lebih hina dan rendah
daripada nyamuk. Tingkah lakunya saja sudah tidak mencerminkan sisi
kemanusiaan. Jika hal itu dilakukan oleh binatang kita bisa memaklumi, karena
binatang tidak berakal. Kalau manusia? Adakah pembelaan yang pantas bagi orang
yang tidak mau menggunakkan akalnya? Maka Allah mencela orang yang tidak mau
menggunakan akalnya, bahkan menyebutnya lebih sesat dari binatang.
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ
لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ
بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا
وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ
بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka Itulah orang-orang yang lalai (Q.s. al-A’râf [7]: 179).
Itulah tingkah laku manusia jika tidak ada keimanan di dalam
dadanya. Iman akan mengikat batin manusia dengan sang Pencipta, membuat
hidupnya serasi dan seimbang antara tampilan luar dan dalamnya. Manakala hati
kosong dari cahaya ilahi, manusia menjadi tidak terkendali. Sebab tidak ada
pengikat antara dirinya dan Tuhannya. Itulah hal paling mendasar kenapa manusia
seringkali tidak punya nurani.
Alih-alih menunaikan hak orang lain, hak dirinya yang asasi
saja ia abaikan. Yang terpikirkan olehnya adalah bagaimana hidup senang. Hanya
ada nafsu dalam benaknya. Kecintaannya kepada dunia telah membuat mata hatinya
buta. Meskipun cahaya petunjuk terang benderang di depan matanya, ia tidak akan
melihatnya. Tidak ada ketaatan dan kebaktian. Yang ada hanya ketamakan dan
kerakusan. Inilah alasan kenapa Allah ‘Azza wa Jalla memandang dunia ini hina,
lebih rendah dari sayap nyamuk. Berikut ini alasan kenapa dunia disifati dengan
kehinaan.
Kecintaan seseorang kepada dunia akan membuatnya
mengagungkan dunia, padahal ia rendah di sisi Allah. Dan di antara dosa-dosa
besar adalah mengagungkan sesuatu yang dianggap-Nya rendah.
Kecintaan seseorang terhadap dunia akan menjadikan tujuan
hidupnya untuk dunia semata, sehingga ia akan melakukan segala cara untuk
mewujudkannya. Bahkan sarana yang seharusnya ditujukan untuk mencari keridhaan
Allah dan akhirat pun ia tujukan untuk dunianya. Akibatnya, semuanya menjadi
terbalik, dan hatinya menjadi berbalik arah ke belakang.
Kecintaan kepada dunia juga akan menghalangi seseorang
melakukan amalan yang akan bermanfaat baginya di akhirat, karena ia terlalu
sibuk oleh dunia yang dicintainya.
Kecintaan kepada dunia juga akan menjadikan seseorang
terlalu bergantung pada dunia. Padahal seberat-berat siksa adalah karena dunia.
Jika kecintaan itu menjadikan seseorang lebih mengutamakan
dunia daripada akhirat, maka ia termasuk sebodoh-bodoh manusia. Sebab ia
mendahulukan kehidupan yang semu dari kehidupan yang hakiki.
***
Penulis: Ust. Abu Hasan Abdillah, BA., MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar