Panglima
Besar Sudirman di usia 30-an tahun sakit berat digerogoti bakteri
tuberkolosis. Paru-parunya bahkan tinggal sebelah karena yang satunya
begitu rusak sehingga harus diangkat.
Namun
pemuda yang dikenal jujur dan keras hati itu pantang menyerah pada
kondisi. Sifat ini melekat sejak kanak-kanak. Sudirman yang aktif
menjadi pandu HW (Hizbul Wathan) Muhammadiyah pernah membuat guru dan
kawan-kawannya geleng-geleng kepala.
Waktu
itu unit HW tempat Sudirman aktif menggelar perkemahan. Hujan turun
begitu deras di kawasan Banyumas, membuat tenda-tenda banjir dan tak
layak didiami. Kawan-kawan Sudirman memilih mengungsi ke rumah
penduduk, meninggalkan tenda dan menyerah pada keadaan. Tapi tidak
Sudirman.
Ia
memilih bertahan di tenda sendirian. Bujukan kawan dan gurunya tak
membuat ia luluh. “Saya pandu, berkemah untuk melatih kesabaran dan
bersahabat dengan kerasnya tantangan alam. Percuma mendirikan tenda
kalau hanya untuk ditinggalkan.” Kurang lebih begitu jawaban
Sudirman kecil.
Sikap
tsabat (ketetapan hati) Sudirman pernah menyelamatkan negara ini dari
keruntuhan total. Ahad pagi 19 Desember 1949, ibukota Yogyakarta
dihujani peluru dan bom pesawat Belanda. Setelah menguasai pangkalan
udara Maguwo, kini Bandara Adisutjipto, Belanda membanjiri kota gudeg
itu dengan ribuan pasukan payung berbaret merah dan komando berbaret
hijau.
Presiden
Soekarno dan para anggotanya pun menggelar sidang darurat.
Mereka
memutuskan tak meninggalkan kota dan memilih ditawan oleh Belanda.
Argumen mereka, kekuatan Belanda yang begitu besar tak mungkin
dilawan, lebih baik menyerah dan mencoba berunding.
Jenderal
Sudirman datang untuk mengajak presiden dan para menteri meninggalkan
kota. Sebelumnya telah ada kesepakatan bahwa semua pemimpin RI akan
naik gunung memimpin gerilya bersama TNI dan rakyat.
Namun
jenderal kurus berdada tipis itu harus menelan kekecewaan. Ajakannya
ditolak, bahkan ia dibujuk agar ikut menyerah pada keadaan. “Dik
Dirman kan sedang sakit keras, lebih baik tetap di kota agar bisa
mendapat perawatan kesehatan,” rayu Soekarno.
Sikap
sabar dan keras hati Sudirman, godokan pengajian Muhammadiyah dan
Kepanduan HW yang diikutinya sejak kecil, kembali muncul. Ia menolak
bujukan itu, “Saya panglima, tempat saya di medan tempur bersama
anak buah saya.”
Ucapan
Sudirman menunjukkan sikap tsabat seorang mujahid. Sekaligus
mengandung sindiran tajam kepada Soekarno, “Apa artinya retorika
perjuangan di atas podium. Buat apa mendirikan negara jika hanya
untuk diserahkan kepada musuh.” Kurang lebih mungkin itu yang ada
di batin Sudirman.
Maka
kedua pemimpin itupun memilih jalan masing-masing. Yang satu diam di
kota dan menyambut musuh dengan bendera putih. Yang satunya
meninggalkan kota dan menyambut musuh dengan paru-paru sebelah namun
aqidah pantang menyerah.
Sejarah
kemudian membuktikan, Republik Indonesia hampir runtuh hari itu.
Betapa tidak, hampir seluruh wilayah dikuasai Belanda. Kepemimpinan
pun demikian, presiden dan kabinetnya ditawan dan diasingkan. Tinggal
para pejuang dan TNI yang masih bertahan dan terus melawan.
Eksistensi
Republik Indonesia pun terjaga dengan sikap kukuh Sudirman. Masih ada
panglima dan tentara yang berjihad bersama rakyat. Tak semua simbol
republik menyerah. Apalagi Mr Syafruddin Prawiranegara, politisi
Muslim dari Masyumi, mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Bukittinggi.
Alhamdulillah,
Allah Ta’ala masih menyisakan sikap sabar dan tsabat kepada seorang
Sudirman. Subhanallah, ternyata Allah pernah menyelamatkan bangsa dan
negara ini melalui seorang hamba-Nya yang begitu ringkih fisiknya
namun begitu kuat aqidahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar