Jumat, 25 September 2015

Agar Dunia Tak Memenjara (4): Petuah Orang-Orang Bijak

Lukman Hakim berkata, "Wahai anakku tercinta jika mulai hari ini engkau berpaling dari dunia berarti engkau telah melepaskannya, dan engkau bisa segera bergegas menuju akhiratmu. Ketahuilah engkau ini lebih dekat ke akhirat yang mendatangimu daripada dunia yang menjauhimu"

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasul junjungan; Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dunia memang melenakan. Lantas, bagaimanakah orang bijak bersikap?

Adalah sebuah keteledoran jika kita tidak mau belajar kepada ahli yang lebih berpengalaman. Dalam bidang otomotif misalnya, terdapat ahli-ahli handal yang kenyang pengalaman menangani berbagai jenis kendaraan, dan paham betul seluk-beluk perbengkelan. Jika motor atau mobil kita rusak parah, kemudian kita bawa ke tukang bengkel amatiran, tentu ini sebuah kesalahan. Dijamin, servisnya berhari-hari atau berminggu-minggu, itu saja masih untung kalau kendaraan kita tidak dibikin lebih parah kerusakannya. Lebih parah jika kita tidak datang ke pihak yang salah (bukan tukang bengkel), tidak tahu seperti apa jadinya.

Demikian pula dunia ini, ia punya ahli-ahli bijak yang telah lama melanglang buana di jagat kehidupan. Sebagai pemain lama, tentu mereka telah banyak makan asam garam perjuangan. Seluk beluk kehidupan telah mereka pahami dari A sampai Z, dari Z sampai A lagi. Mereka tahu betul mana yang harus dicari dan mana yang harus dihindari. Apa yang mesti dikerjakan dan apa yang mesti ditinggalkan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita belajar dari sejuta pengalaman yang mereka dapatkan. Berikut ini untaian mutiara emas dari para bijak bestari.

Wasiat Lukman Hakim

Adalah Lukman Hakim, laki-laki yang namanya disebut-sebut dalam Al-Qur`an, bahkan diabadikan dalam sebuah surat “Luqman”, pernah berpetuah kepada buah hatinya. “Wahai anakku tercinta jika mulai hari ini engkau berpaling dari dunia berarti engkau telah melepaskannya, dan engkau bisa segera bergegas menuju akhiratmu. Ketahuilah engkau ini lebih dekat ke akhirat yang mendatangimu daripada dunia yang menjauhimu.“ Seperti itulah Ibnu Abi Dunya menyebutkannya di halaman 12 pada kitab Dzamm ad-Dunyâ.

Jadi, menurut Lukman sang bijak, kehidupan kita ini cuma sekali, umur kita juga terbatas. Hari-hari yang kita lewati sama dengan nilai bertambahnya umur kita. Semakin banyak umur kita, semakin banyak pula hari yang kita lewati. Itu berarti masa usia kita di dunia ini semakin berkurang. Nah, jika usia kita semakin berkurang berarti makin dekat pula ajal kita. Kesimpulannya adalah jika jumlah hari yang kita lewati kian hari kian bertambah, maka semakin jauh kita meninggalkan dunia di belakang kita, dan semakin dekat pula akhirat yang ada di hadapan kita. Jika sudah demikian, kenapa harus bersusah payah mengejar dunia? Toh, mau tidak mau nantinya pasti ditinggalkan juga. Begitulah kira-kira inti dari nasihat Lukman untuk anaknya.

Nasihat nabi Isa ‘Alaihissalam

Suatu hari, tulis Ibnu Abi Dunya, di halaman 17 dari kitab Dzamm ad-Dunyâ, nabi Isa menuturkan, “Dengan sebenarnya aku katakan, sebagaimana orang sakit yang tidak bisa menikmati makanan enak dikarenakan rasa sakit yang dideritanya. Begitu juga pencari dunia, ia tidak bisa memperoleh nikmat dan manisnya ibadah jika di dalam dirinya masih bercokol rasa cinta dunia. Ada kalanya jika hewan tunggangan itu tidak dinaiki dan dimanfaatkan tenaganya, tabiatnya akan berubah dan susah dijinakkan. Seperti itu pula keadaan hati, jika tidak dilembutkan dengan mengingat mati, dan tidak ditenangkan dengan ibadah, ia akan mengeras dan membatu. Pun juga geriba, jika tidak pecah atau kering, maka akan dijadikan bejana untuk madu. Sama halnya hati, jika tidak dipanasi api syahwat, dikotori rasa tamak, atau dibekukan oleh rasa nikmat, ia akan menjadi penampungan hikmah”.

Sungguh sangat dalam maknanya, bukan? Inti dari nasihat di atas adalah keadaan hati akan sangat dipengaruhi oleh sikap manusia terhadap dunia. Jika manusia berusaha mengejar dan menggapai dunia, maka bisa dipastikan hatinya akan ikut ternoda dan terluka. Namun, sebaliknya, jika ia berusaha menjadikan dunia hanya sebagai sarana menuju akhirat, maka hatinya pun akan ikut tersirami ketenteraman dan ketenangan. Sebab dunia dan akhirat itu tidak bisa disatukan dalam satu hati.

Permisalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah pernah kedatangan Umar, saat itu beliau tengah duduk di atas tikar kasar yang menggurat bekas di badan beliau. Spontan Umar pun bertanya kepada beliau, “Wahai baginda Nabi! Kenapa engkau tidak memilih kasur yang lebih empuk dari tikar ini? Rasulullah pun menjawab, “Kenapa aku mesti menyibukkan diri dengan dunia? Perumpaman antara aku dan dunia adalah seperti seseorang yang melakukan perjalanan di tengah hari di musim panas. Lalu ia istirahat sambil berteduh di bawah sebuah pohon tidak seberapa lama. Kemudian melanjutkan perjalanannya kembali seraya meninggalkan pohon itu” (H.r. Ahmad dan Hakim. Hadis ini sahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan Muslim).

Perhatikanlah, dunia seperti sebuah pohon yang dijadikan tempat berteduh oleh orang-orang yang melakukan perjalanan jauh di bawah terik matahari. Tentunya, waktu untuk beristirahat di bawah naungan pohon itu sangat singkat dan sebentar; karena ia harus melanjutkan perjalanan. Seenak dan serindang apa pun pohon itu tetap harus ditinggalkan. Jadi, untuk apa ngotot dan “ngoyo” mengejar dunia. Toh nantinya juga akan ditinggal juga, seindah dan seelok apa pun dunia itu.

Dunia versi Ali bin Thalib radhiallahu ‘anhu

Ibnu Abi Dunya di halaman 31 dari kitabnya Dzam ad-Dunya menulis, suatu ketika, Ali bin Abi Thalib mendengar seseorang mencaci maki dunia. Serta merta beliau pun menegurnya seraya menasihati,

“Dunia ini adalah sebenar tempat bagi yang membenarkannya, sebenar kesehatan bagi yang memahaminya, dan sebenar kekayaan bagi yang berbekal darinya. Tempat di mana masjid-masjid didirikan untuk para pencari kecintaan Allah. Tempat diturunkannya wahyu. Dunia ini adalah mushalanya para malaikat, dan tempat perniagaannya para kekasih Allah. Untung yang mereka dapatkan adalah rahmat Allah dan laba yang mereka peroleh adalah surga-Nya. Lantas siapakah engkau hingga berani mencela dunia?”

Hingga akhirnya beliau pun berkata, “Wahai manusia yang terjangkiti penyakit dunia, yang tertipu oleh tipuan dunia. Ketahuilah, kapan saja engkau tergoda maupun tertipu oleh rayuan dunia, itu sama saja engkau tertipu oleh tanah tempat pembaringan bapakmu, atau musibah yang merenggut nyawa ibumu. Seberapa sering engkau menyesal dan putus asa dari mencari kesembuhan, namun engkau tetap tidak dapat menemukan obatnya, meskipun semua dokter telah engkau datangi. Sungguh, dunia ini telah menggambarkan tempat di mana kematian menjemputmu, yaitu besok ketika tidak berguna lagi tangisanmu, dan tidak berdaya lagi kekasihmu”.

Petuah seorang ulama

Berikut ini isi surat yang ditulis seorang ulama untuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz,

“Wahai Khalifah, ketahuilah dunia ini bukanlah tempat yang abadi. Dunia ini adalah tempat diturunkannya nabi Adam dari surga, sebagai akibat atas perbuatannya (makan buah “Khuldi”). Orang yang tidak bisa membedakan antara ganjaran dan hukuman menganggap bahwa turunnya nabi Adam ke dunia ini adalah sebagai ganjaran untuknya, dan sebagian lainnya menganggap itu adalah hukuman atasnya. Pergumulan dunia ini membuat hina orang yang memuliakannya, merendahkan orang yang menyanjungnya, dan menjadikan miskin orang yang mengejarnya.

Setiap saat dunia ini meminta korban, dan bekal untuk selamat darinya adalah dengan meninggalkannya. Ketahuilah, orang yang paling kaya adalah yang tidak membutuhkan dunia.

Wahai Khalifah, demi Allah, dunia ini bagaikan racun yang dikonsumsi orang yang tidak memahaminya; ia menyangka bahwa itu obat, tapi ternyata racun yang membunuhnya. Oleh karena itu, jadilah di dunia ini seperti seorang yang mengobati lukanya. Baginya, menahan rasa sakit untuk sementara waktu–ketika mengobati lukanya-itu lebih baik daripada membiarkannya semakin parah, yang justru akan membuatnya merasa kesakitan yang berkepanjangan. Menurutnya, rasa sakit karena obat tidaklah seberapa dibanding rasa sakit karena luka.

Orang mulia itu adalah yang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri), tidak boros, berkata benar, dan memilih makanan yang baik. Pandangan matanya jauh menerawang ke depan, tidak hanya terpaku pada dunia semata. Rasa takutnya dalam hal kebaktian seperti rasa takut seseorang yang berada di atas laut. Doa yang ia panjatkan di waktu senang tidak berbeda dengan doa yang ia panjatkan di waktu susah.

Sungguh, jika bukan karena ajal yang telah ditentukan atasnya, niscaya arwahnya hanya akan sebentar berada dalam jasadnya, karena takut akan siksaan dan rindu terhadap ganjaran. Baginya, kebesaran Sang Pencipta dan kekerdilan si ciptaan adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Wahai khalifah, cukuplah apa yang engkau dapatkan sekarang” demikianlah Ibnu Abi Dunya menyebutkannya dalam kitabnya Dzam ad-Dunya di hal. 54. []



Penulis: Abu Hasan Abdillah, BA., MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar