Bagaimanakah orang mukmin memandang dunia? Orang mukmin
adalah sebaik-baik makhluk dalam memanfaatkan dunia. Baginya, dunia bukanlah
tempat untuk mencari kepuasan lahiriah semata, karena ada hal yang lebih
penting dari sekadar kesenangan duniawi
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan
salam semoga tercurahkan kepada Rasul junjungan; Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam.
Bagaimanakah orang mukmin memandang dunia?
Orang mukmin adalah sebaik-baik makhluk dalam memanfaatkan
dunia. Baginya, dunia bukanlah tempat untuk mencari kepuasan lahiriah semata,
karena ada hal yang lebih penting dari sekadar kesenangan duniawi. Menurutnya,
kebahagiaan tidak terletak pada materi, namun lebih pada ketentraman hati.
Yaitu hati yang disirami oleh cahaya keimanan, hati yang tersentuh oleh
panggilan ilahi. Itulah sumber kebahagiaan. Oleh karena itu, ia tidak memandang
dunia sebagai tujuan utama hidupnya.
Dunia adalah tempat baginya untuk menyusun dan merencanakan
hari esoknya yang lebih cerah. Ketika manusia tertunduk lesu menyesali apa yang
telah mereka lakukan dengan muka pucat kebingungan mencari-cari suaka dan
pertolongan, ia dengan ‘gagah’ menegakkan wajahnya karena mendapatkan apa yang
dulu dijanjikan.
Ketika manusia satu persatu dihinakan di hadapan seluruh
makhluk sebagai akibat atas apa yang telah diperbuat, ia dengan tenangnya
menghadapi semua itu tanpa rintangan. Ya, itulah hari perhitungan atau dalam
istilah syar’i “Yaumul Hisab“. Hari ditimbangnya amalan manusia. Dan hal itu
semua tidak akan terjadi, kecuali karena ia menjadikan dunia bukan sebagai
tujuan utamanya. Berikut ini pandangan orang mukmin terhadap dunia:
Penjara dunia
Di matanya, dunia tak lebih dari sebuah penjara karena ia
tidak bisa bebas sepuas-puasnya. Ia tidak bisa mengumbar nafsu semaunya. Ada
aturan yang membatasinya. Jika ia melewati batas itu, ia akan terjungkal
sedalam-dalamnya ke lembah kenistaan yang berujung penyesalan. Namun,
sebaliknya, bagi orang kafir dunia ini adalah kesenangannya. Dunia ini adalah
‘surga’nya. Ia bebas melakukan apa saja semaunya; tak ada yang melarang.
Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengabarkan, dalam sabdanya;
الدُّنْيَا
سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang
kafir” (HR. Muslim).
Selain itu pun, orang mukmin masih dituntut menjalankan
ketaatan-ketaatan yang memberatkan, yang
tidak boleh disia-siakan. Sebagaimana ia juga terlarang melakukan perkara-perkara
yang diharamkan. Berikut Rasulullah menegaskan.
إنّ اللَّهَ حدَّ حُدُوداً
فلا تَعْتَدُوْهَا وفَرَضَ فَرَائِضَ فلا
تُضَيِّعُوْهَا وحَرَّمَ أشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا وتَرَكَ
أشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ
مِنْ رَبِّكُمْ وَلكِنْ رَحْمَةً مِنْهُ
لَكُمْ فَاقْبِلُوْهَا وَلتَبْحَثُوْافِيْهَا
“Sesungguhnya Allah telah menentukan batasan-batasan,
janganlah kalian melampauinya. Juga menetapkan perkara-perkara wajib, janganlah
kalian menyia-nyiakannya. Selain itu, juga mengharamkan beberapa hal, jangan
pula kalian melanggarnya. Dan mendiamkan beberapa macam perkara, bukan karena
lupa, tapi sebagai bentuk kasih sayang kepada kalian, maka terimalah dan
janganlah kalian mencari-carinya” (HR. Hakim).
Dunia ibarat lautan dalam
Siapa pun tahu seperti apa laut. Hamparan air yang
membentang nan luas, dari ujung pantai ke pantai lainnya, tempat di mana
sungai-sungai ‘memuntahkan’ airnya. Pada galibnya, garis-garis pantai adalah
titik dangkal di mana manusia bisa menikmati air laut, dengan cara menceburkan
diri. Atau tempat di mana perahu-perahu nelayan berlabuh. Sesuatu yang sudah
maklum, jika dasar laut itu semakin ke tengah semakin dalam. Sehingga para
perenang itu, jika semakin ke tengah berenang, semakin tinggi pula risiko
tenggelamnya. Dan jika sudah tenggelam, semakin susah pula selamatnya.
Begitu juga dunia. Ketika masih di pinggiran, ia belum
kelihatan menarik di mata. Semakin ke dalam manusia mencari, semakin tampak
pula keindahannya. Hingga apabila sudah sampai titik puncaknya, manusia pun
dibuat terlena olehnya. Kini, ia bukan hanya
menarik di mata, tetapi juga memikat jiwa. Oleh karena itu, orang mukmin
akan ekstra hati-hati ketika menceburkan diri ke dunia, jangan sampai terseret
ombak yang akan menjerumuskannya. Sebab jika sudah terjerumus, sangat susah
untuk melepaskan diri darinya.
Petiklah nasihat Hasan al-Bashri (wafat 728) berikut,
seperti yang diungkap Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Dzamm ad-Dunyâ di halaman
21, “Berhati-hatilah kalian dari menyibukkan diri dengan perkara dunia, karena
ia dipenuhi kesibukan. Sesiapa yang berani membuka salah satu pintu kesibukan
itu, niscaya akan terbuka untuknya sepuluh pintu kesibukan lainnya, tidak
seberapa lama kemudian.”
Oleh sebab itu, kendaraan orang mukmin ketika mengarungi
samudera dunia adalah perahu takwa, berdayung iman dan berlayar tawakal. Itulah
kunci keselamatan. Sungguh, betapa sedikit yang selamat!
Catatan nabi Ibrahim untuk dunia
Disebutkan dalam lembaran Suhuf nabi Ibrahim kata-kata
berikut, “Wahai dunia betapa hinanya dirimu di mata orang baik, meskipun engkau
hiasi dirimu sedemikian rupa. Percuma saja, karena Aku telah menyusupkan di
hatinya rasa benci dan sikap penolakan terhadapmu. Aku tidak menciptakan
sesuatu yang lebih hina di mata-Ku melebihi dirimu. Apa yang ada padamu
hanyalah sesuatu yang tidak bernilai, bahkan dirimu pun akan mengalami
kefanaan. Sebab telah Aku putuskan, ketika menciptakanmu, engkau tidak abadi
dan tidak ada satu pun yang bisa membuatmu abadi, meskipun para pecintamu pelit
terhadapmu. Sungguh, beruntunglah orang yang baik itu. Ia senantiasa
mengingat-Ku dengan penuh kerelaan, kejujuran, dan istiqamah. Sungguh,
beruntunglah ia. Tak ada balasan di sisi-Ku melainkan cahaya yang akan menuntunnya
ketika dibangkitkan dari kuburan. Sementara para malaikat akan mengelilinginya
hingga Aku penuhi apa yang ia harapkan dari rahmat-Ku.” Begitulah sang Pencipta
mensifati bumi, seperti yang ditulis oleh Ibnu Abi Dunya dalam Dzamm
ad-Dunyânya.
Bagai makan buah simalakama
Begitulah ungkapan yang tepat menurut orang mukmin. Makan
ini salah, makan itu juga salah. Pilih yang ini, yang satunya tidak bisa
diraih. Satu dikejar, satunya lagi lepas dari genggaman. Mau, tidak mau, harus
ada yang dikorbankan. Begitulah orang mukmin membandingkan dunia dan akhirat.
Jika dunia yang dipilih maka akhirat akan terlantarkan. Adapun jika akhirat
yang dikejar, dunia tidak maksimal didapatkan. Ingin dapat dua-duanya,
sepertinya hampir mustahil. Harus satu yang didahulukan. Ya, dan pilihannya ada
pada akhirat. Dengan pertimbangan, jika dunia yang didahulukan, kemungkinan
mendapatkan akhirat nol persen. Namun, jika akhirat yang didahulukan, dunia
masih bisa didapatkan, meskipun cuma satu persen. Itu lebih baik. Baca dan
cermati firman Allah ‘‘Azza wa Jalla berikut (yang artinya), “Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. al-Qashash
[28]: 77).
Apa pesan yang terkandung dari ayat tersebut? Menurut para
ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Jami’ al-Bayannya misalnya, hendaknya harta yang
Allah berikan itu digunakan untuk kebaikan akhirat, dengan cara
mendistribusikannya pada ketaatan dengan tetap memerhatikan bagian kita di
dunia, alias tidak melupakannnya. Ambil dan gunakanlah untuk sesuatu yang akan
menyelamatkan kita besok dari azab Allah.
Atau, seperti kata as-Sa’di dalam kitab Taisirnya, harta
yang diperoleh itu adalah sarana menuju akhirat, maka seyogyanya digunakan
untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah. Hendaknya disedekahkan dan tidak
digunakan untuk pemenuhan syahwat semata. Tidak mengapa jika ingin
bersenang-senang dengan dunia, hanya saja jangan sampai membahayakan agama dan
akhiratnya. Nah, begitulah seharusnya. Hidup di dunia cuma sekali, itu pun
tidak abadi.
Lalu seperti apakah nasib seseorang kelak jika ia
mendahulukan dunia? Mendahulukan akhirat, bukan berarti tidak boleh
bersenang-senang menikmati dunia. Itu boleh-boleh saja, asalkan jangan sampai
terlena dan lupa pada tujuan yang sesungguhnya. Bahkan, seandainya kenikmatan
itu digunakan sebagai sarana menuju tujuan yang asasi, yaitu akhirat, itu
adalah sesuatu yang sangat bagus. Bukankah demikian?
Di samping itu, hal ini juga akan mengurangi ketergantungan
hati pada dunia. Sebab hati tersibukkan oleh perkara akhirat, meskipun secara
lahiriah sedang menikmati dunia. Sebaliknya, jika hati disibukkan dengan
perkara dunia, ketergantungannya pun pasti ada padanya, meskipun secara
lahiriah sedang melakukan amalan akhirat.
“Jika dunia dan akhirat berkumpul dalam satu hati,”
begitulah Sayyar Abu Hakam memaparkan yang kemudian dinukil Ibnu Abi Dunya
dalam kitabnya Dzamm ad-Dunyâ, “Maka salah satunya akan saling mengalahkan yang
lainnya. Siapa pun yang kalah ia akan ikut dan tunduk kepada pemenangnya,”
Inilah waktunya
Mungkin pernah terpikirkan atau bahkan terbayangkan di benak
kita, seseorang yang melakukan perjalanan jauh dan kehabisan bekal, lalu di
tengah perjalanan singgah dan istirahat sebentar untuk membeli perbekalannya.
Apa yang akan diperbuatnya? Tentunya, ia akan memanfaatkan waktu singgahnya
yang sebentar itu dengan sebaik-baiknya, dan hanya membeli barang pokok yang
dibutuhkannya saja, tanpa menoleh sedikit pun ke barang lainnya, meskipun itu
menarik. Sedikit saja ia tertarik kepada barang itu, lalu mulai melihat dan
memerhatikannya satu persatu, itu akan menghambat dan memperlambat
perjalanannya.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan ia akan mengurungkan niat
untuk meneruskan perjalanan, karena terlanjur tertarik oleh ‘mainan’ baru itu.
Begitu pula dunia ini sejatinya, tidak jauh beda dengan permisalan di atas.
Dunia adalah tempat bercocok tanam, dan akhirat adalah tempat panennya. Di
sinilah kita berusaha dengan amalan kita, dan di sana nanti kita memetik
hasilnya. Sekaranglah saatnya untuk beramal; sebelum datang waktu menyesal.
Sebab di sana nanti tidak ada lagi amalan, yang ada hanyalah imbalan, balasan,
dan ganjaran. Sekaranglah saatnya, dan inilah waktunya.
Sekecil apa pun amalannya, kita pasti akan mendapatkan
ganjaran yang setimpal. Jika amalan itu baik maka akan dilipatgandakan
ganjarannya. Jika jelek, maka semisal pula balasannya. Semua akan dipertanyakan
dan dimintai pertanggungjawabannya. Tidak ada yang terlewatkan.
Oleh karena itu, gunakanlah waktu ini sebaik-baiknya. Jangan
biarkan kesempatan berlalu begitu saja. Manfaatkanlah sebelum jalan buntu
menghadang, yaitu kata “terlambat”. Camkanlah nasihat dari orang yang paling
mulia berikut:
اغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ
قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ
قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ
قَبْلَ مَوْتِكَ
“Gunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. (1)
Mudamu sebelum tuamu; (2) sehatmu sebelum sakitmu; (3) kayamu sebelum miskinmu;
(4) waktu senggangmu sebelum waktu sibukmu; dan (5) hidupmu sebelum matimu”
(HR. Hakim. Hadis ini sahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan Muslim).
Ya, itulah kesempatan satu-satunya. Jika ia dilewatkan
begitu saja, ia tidak akan terulang lagi. Kesempatan itu tidak datang dua kali.
Perbanyaklah amalan yang berkualitas, dan jangan terlena oleh gemerlapnya
dunia. Beramallah dan jangan berpanjang angan-angan. Berusahalah dan jangan
memperturutkan hawa nafsu; karena itu menyesatkanmu.
Simaklah petuah yang disebutkan al-Baihaqi dalam Syu’ab
al-Imânnya pada jilid VII halaman 329 berikut ini. Ali bin Abu Thalib
menuturkan, “Hai manusia, yang paling aku takutkan atas diri kalian adalah
panjangnya angan-angan dan hawa nafsu yang dituruti. Adapun angan-angan yang
panjang akan membuatmu lupa akhirat. Sedangkan menuruti hawa nafsu akan
membuatmu tersesat dari jalan kebenaran. Ketahuilah, dunia ini pergi
membelakangimu, di saat akhirat datang menghadangmu. Setiap masing-masing
mempunyai anak, oleh karena itu jadilah anak akhirat, bukan anak dunia.
Camkanlah, karena hari ini adalah harinya amalan, bukan perhitungan. Sedangkan
besok adalah harinya perhitungan, bukan amalan”.
***
Bersambung ke: Agar Dunia Tak Memenjara (4): Petuah
Orang-Orang Bijak
Penulis: Abu Hasan Abdillah, BA., MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar