Sebatas yang kami ketahui seorang
wanita yang haidh atau nifas (pendarahan karena melahirkan) itu
dilarang untuk melakukan beberapa hal yaitu: sholat atau thawaf di
Ka’bah, berpuasa dan berhubungan suami istri. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sholat
tidak akan diterima tanpa suci.” (HR. Muslim)
Thawaf juga tidak boleh karena Nabi
menyebut thawaf termasuk sebagai sholat. Beliau bersabda, “Thawaf
mengelilingi Ka’bah adalah sholat, hanya saja Allah membolehkan
bercakap-cakap di dalamnya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Syaikh
Abdul ‘Azhim Badawi, Shahih Jami’ush Shaghir no. 3954, Al Wajiz,
hal. 38).
‘Aisyah radhiallahu ‘anha
mengatakan, “Dahulu kami mengalami haidh di masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kami pun diperintahkan untuk
mengqadha’ (mengganti) puasa (di hari lain) dan kami tidak
diperintahkan mengqadha’ sholat.” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan larangan berhubungan intim
bagi wanita haidh terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Lakukanlah apapun kecuali hubungan intim.”(HR. Muslim,
dll Shahih Jami’ush Shaghir 527, Al Wajiz, hal. 52)
Adapun larangan bagi kaum wanita dan
juga kaum pria ketika terjadi musibah kematian di antara mereka
ialah:
- Meratapi mayit (niyahah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Perempuan yang meratap dan tidak bertaubat sebelum matinya maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan mengenakan jubah dari ter dan dibungkus baju dari kudis.” (HR. Muslim, Ash Shahihah 734, Al Wajiz, hal. 162).
- Menampar-nampar pipi dan merobek-robek kain pakaian sebagai ekspresi perasaan tidak terima dengan takdir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
- Mencukur rambut karena tertimpa musibah. Sahabat Abu Musa mengatakan,“Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari shaaliqah, haaliqah dan syaaqqah.” (Muttafaq ‘alaih). Shaaliqah adalah perempuan yang menangis dengan keras-keras.Haaliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya ketika tertimpa musibah, sedangkan Syaaqqah adalah wanita yang menyobek-nyobek pakaiannya karena tidak terima dengan ketetapan takdir dari Allah (lihat Al Wajiz, hal. 162, Taisirul ‘Allaam, I/319).
- Mengurai atau mengacak-acak rambut. Hal ini berdasarkan salah satu isi janji setia kaum wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu,“(Kami berjanji) untuk tidak mengacak-acak rambut (ketika tertimpa musibah).” (HR. Abu Dawud, Al Jana’iz, hal. 30, shahih, lihat Al Wajiz hal. 162).
Sedangkan amalan yang sangat dianjurkan
berkenaan dengan jenazah adalah menyolati jenazah dan mengikuti
iringan jenazahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,“Barang siapa yang menyolati jenazah dan tidak ikut
mengiringi jenazahnya maka dia mendapat pahala satu qirath. Dan
apabila dia juga mengiringinya maka dia mendapat pahala dua qirath”
Ditanyakan kepada beliau, “Apa maksud dari dua qirath?” Beliau
menjawab, “Yang terkecil dari keduanya (satu qirath) ialah serupa
dengan besarnya Gunung Uhud.” (HR. Muslim). Akan tetapi keutamaan
mengikuti iringan jenazah ini hanya berlaku bagi kaum lelaki, bukan
bagi kaum perempuan. Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha mengatakan,
“Kami (kaum wanita) dilarang untuk mengikuti iringan jenazah namun
beliau tidak keras dalam melarangnya.”(Muttafaq ‘alaih)
Dan termasuk amalan yang disyariatkan
ialah melakukan ta’ziyah. Ta’ziyah ialah menyuruh keluarga yang
ditinggal mati untuk bersabar, membuat mereka terhibur dan tabah
sehingga akan meringankan penderitaan yang mereka rasakan dan
mengurangi kesedihan hati mereka. Ini bisa dilakukan oleh kaum
laki-laki maupun wanita. Nabi bersabda, “Tidaklah seorang mukmin
menta’ziyahi saudaranya karena musibah yang menimpanya melainkan
Allah ‘azza wa jalla memberinya pakaian kemuliaan pada hari
kiamat.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad jayyid,Ensiklopedi Muslim,
hal. 391). Hal itu bisa dilakukan dengan menyampaikan nasihat dan
ucapan yang baik kepada keluarganya, semacam mengatakan,
“Sesungguhnya hak Allah untuk mengambil sesuatu yang menjadi
milik-Nya. Dan Dia lah yang berhak menarik apa yang sudah diberikan.
Dan segala sesuatu sudah ditetapkan ajalnya maka sabar dan
harapkanlah pahala.” atau perkataan sejenis lainnnya.
Nah, berdasarkan keterangan-keterangan
diatas tidak disebutkan adanya larangan bagi kaum wanita yang haidh
untuk ikut berta’ziyah.
Alhamdulillah. Dan apabila ada pendapat
yang lebih kuat dari pendapat ini maka kami siap untuk rujuk kepada
al haq. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Wallahu
a’lam bish shawaab.
Disarikan dari Jawaban Ustadz Abu
Muslih Ari Wahyudi (Melalui http://konsultasisyariah.com)
dan karena artikel aslinya sangat panjang silahkan Bapak Ibu merujuk aslinya D I S I N I karena kami khawatir ringkasan ini tidak bisa mewakili apa yang jadi jawaban Ustadz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar