Pendahuluan
Alhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Akad pegadaian ialah suatu akad yang berupa
penahanan suatu barang sebagai jaminan atas suatu piutang. Penahanan
barang ini bertujuan agar pemberi piutang merasa aman atas haknya.
Dengan demikian, barang yang ditahan haruslah memiliki nilai jual,
agar pemberi piutang dapat menjual barang gadaian, apabila orang yang
berutang tidak mampu melunasi piutangnya pada tempo yang telah
disepakati.
Syariat pegadaian ini merupakan salah satu bukti
bahwa Islam telah memiliki sistem perekonomian yang lengkap dan
sempurna, sebagaimana syariat Islam senantiasa memberikan jaminan
ekonomis yang adil bagi seluruh pihak yang terkait dalam setiap
transaksi. Penerima piutang dapat memenuhi kebutuhannya, dan pemberi
piutang mendapat jaminan keamanan bagi uangnya, selain mendapat
pahala dari Allah atas pertolongannya kepada orang lain.
Dalil-dalil Dihalalkannya Pegadaian
Agar tidak ada yang mempertanyakan tentang dasar
hukum pegadaian, maka berikut ini saya akan sebutkan sebagian dalil
yang mendasari akad pegadaian.
Firman Allah Ta’ala,
وَإِن
كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ
كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Bila kalian berada dalam perjalanan (dan
kalian bermuamalah secara tidak tunai), sedangkan kalian tidak
mendapatkan juru tulis, maka hendaklah ada barang gadai yang
diserahkan (kepada pemberi piutang).” (Qs. al-Baqarah: 283)
Pada akhir hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau menggadaikan perisai beliau kepada orang
Yahudi, karena beliau berutang kepadanya beberapa takar gandum.
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ:
اِشْتَرَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَاماً
نَسِيْئَةً وَرَهْنَهً درعَهُ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia
mengisahkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli
bahan makanan (gandum) secara tidak tunai dari seorang Yahudi, dan
beliau menggadaikan perisainya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan kedua dalil di atas, juga dalil-dalil
lainnya, maka para ulama dari zaman dahulu hingga sekarang, secara
global telah menyepakati bolehnya akad pegadaian. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya oleh
Ibnu Munzir dalam kitabnya al -Ijma’ hlm. 96, Ibnu Hazm
dalam kitabnya Maratibul Ijma’ hlm. 60, serta Ibnu Qudamah
dalam kitabnya al-Mughni: 6/444.
Pegadaian Dapat Dilakukan Di Mana Pun
Mungkin ada dari kita yang bertanya-tanya, “Bukankah
pada teks ayat di atas, Allah Ta’ala mempersyaratkan berlangsungnya
syariat pegadaian adalah ketika sedang dalam perjalanan?”
Pertanyaan ini sebenarnya telah timbul dan
dipermasalahkan oleh sebagian ulama sejak zaman dahulu. Bahkan,
sebagian ulama, diantaranya Mujahid bin Jaber, ad-Dhahhak, dan
diikuti oleh Ibnu Hazm –berdasarkan teks ayat di atas– berfatwa
bahwa pegadaian hanya diperbolehkan ketika dalam perjalanan saja. [1]
Adapun jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan akad
pegadaian di mana pun kita berada, baik ada saksi atau tidak ada,
baik ada juru tulis atau tidak.[2] Hal ini berdasarkan hadits riwayat
Anas bin Malik berikut ini:
لَقَدْ
رَهَنَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ درعاً لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ
عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ
شَعِيْراً لِأَهْلِهِ، وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ
يَقُوْلُ: مَا
أَمْسَى عِنْدَ آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَاعَ برٍّ
وَلاَ صَاعَ حُبٍّ وَإِنًّ عِنْدَهُ
لتِسْع نِسْوَةٍ
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menggadaikan perisainya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan
beliau berutang kepadanya sejumlah gandum untuk menafkahi
keluarganya. Sungguh aku pernah mendengar beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Di rumah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak tersisa lagi gandum, walau hanya ada satu sha’
(takaran sekitar 2,5 kg),’ padahal beliau memiliki sembilan
isteri.” (Hr. Bukhari)
Pada hadits ini, dengan jelas kita dapatkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggadaikan perisainya
di Madinah, dan beliau tidak sedang berada dalam perjalanan.
Adapun teks hadits yang seolah-olah hanya
membolehkan pegadaian pada saat perjalanan saja, maka para ulama
menjelaskan, bahwa ayat tersebut hanyalah menjelaskan kebiasaan
masyarakat pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu, biasanya, tidaklah
ada orang yang menggambil barang gadaian, melainkan ketika tidak
mendapatkan cara lain untuk menjamin haknya, yaitu pada saat tidak
ada juru tulis atau saksi yang terpercaya. Keadaan ini biasanya
sering terjadi ketika sedang dalam perjalanan. Penjabaran ini akan
tampak dengan sangat jelas, bila kita mengaitkan surat al-Baqarah:
283 di atas, dengan ayat sebelumnya (yaitu, ayat 282). [3]
Barang yang Dapat Digadaikan
Dari definisi pegadaian di atas, dapat disimpulkan
bahwa barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai
ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan
demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan
tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah
tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu
dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat
dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa
tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat
saham, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, bila ada orang yang
hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah,
karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ
الْبَغْيِ وَحِلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan
upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Imam as-Syafi’i berkata, “Seseorang tidak
dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai
berlangsung , (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal
untuk diperjual-belikan.”[4]
Beliau juga berkata, “Bila ada orang yang hendak
menggadaikan seekor anjing, maka tidak dibenarkan, karena anjing
tidak memiliki nilai ekonomis. Demikian juga bagi setiap barang yang
tidak halal untuk diperjual-belikan.”[5]
Waktu Pegadaian
Waktu Pegadaian
Sebagaimana dapat dipahami dari teks ayat di atas
dan juga dari tujuan akad pegadaian, maka waktu pelaksanaan akad ini
ialah setelah atau bersamaan dengan akad utang-piutang berlangsung.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ketika beliau berutang setakar gandum dari
seorang Yahudi.
عَنْ
أَبِي رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
ضَيْفاً نَزَلَ بِرَسُوْلِ اللهَ،
فَأَرْسَلَنِي أَبْتَغِي لَهُ طَعَاماً،
فَأَتَيْتُ رَجُلاً مِنَ الْيَهُوْدِ
فَقُلْتُ:
يَقُوْلُ
لَكَ مُحَمَّدٌ إِنَّهُ قَدْ نَزَلَ
بِنَا ضَيْفٌ، وَلَمْ يَلْقِ عِنْدَنَا
بَعْضَ الَّذِي يُصْلِحُهُ، فَبِعْنِي
أَوْ اَسْلِفْنِي إِلَى هِلاَلِ رَجَب.
فَقَالَ
الْيَهُوْدِيُّ:
لاَ
وَاللهِ لاَ أُسْلِفُهُ وَلاَ أَبِيْعُهُ
إِلاَّ بِرَهْنٍ، فَرَجَعْتُ إِلَى
رَسُوْلِ اللهِ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ:
وَاللهِ
إِنِّي لَأَمِيْنٌ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ
أَمِيْنٌ فِي أَهْلِ اْلأَرْضِ، وَلَوْ
أَسْلَفَنِيْ أَوْ بَاعَنِيْ لَأَدَّيْتُ
إِلَيْهِ.
اِذْهَبْ
بِدِرْعِيْ!
Dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, ia
mengisahkan, “Pada suatu hari ada tamu yang datang ke rumah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengutusku
untuk mencari makanan sebagai hidangan. Lalu, aku pun mendatangi
seorang Yahudi, dan aku berkata kepadanya, ‘Nabi Muhammad berkata
kepadamu bahwa sesungguhnya ada tamu yang datang kepada kami,
sedangkan beliau tidak memiliki apa pun yang dapat dihidangkan untuk
mereka. Oleh karenanya, jual atau berilah utang (berupa gandum)
kepadaku, dengan tempo (pembayaran hingga) bulan Rajab.’ Maka,
orang Yahudi tersebut berkata, ‘Tidak, sungguh demi Allah, aku
tidak akan mengutanginya dan tidak akan menjual kepadanya, melainkan
dengan gadaian.’ Maka, aku pun kembali menemui Rasulullah, lalu aku
kabarkan kepada beliau, lalu beliau pun bersabda, Sungguh demi Allah,
aku adalah orang yang terpercaya di langit (dipercaya oleh Allah) dan
terpercaya di bumi. Andaikata ia mengutangiku atau menjual kepadaku,
pasti aku akan menunaikannya (melunasinya).’” (Hr.
Abdurrazzaaq, dengan sanad yang mursal/terputus)
Pada kisah ini, proses pegadaian terjadi bersamaan
dengan berlangsungnya akad jual-beli atau utang-piutang.
Akan tetapi, bila ada orang yang sebelum
berjual-beli atau berutang telah memberikan jaminan barang gadaian
terlebih dahulu, maka menurut pendapat yang lebih kuat, hal tersebut
juga diperbolehkan. Yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan
berikut:
- Hukum asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut.
- Selama kedua belah pihak yang menjalankan akad rela dan telah menyepakati hal tersebut, maka tidak ada alasan untuk melarangnya.[6]
Sebagai contoh, bila ada orang yang hendak berutang
kepada Anda, lalu Anda berkata kepadanya, “Saya tidak akan
mengutangi Anda, melainkan bila Anda menggadaikan sepeda motor atau
sawah Anda kepada saya.” Lalu, orang tersebut berkata kepada Anda,
“Ya, saya gadaikan sawah saya kepada Anda sebagai jaminan atas
piutang yang akan Anda berikan kepada saya.” Kemudian, setelah Anda
selesai melakukan akad pegadaian, dimulai dari penandatanganan surat
perjanjian gadai hingga penyerahan surat tanah, Anda baru bertanya
kepadanya, “Berapa jumlah uang yang Anda butuhkan?” Maka, dia pun
menyebutkan (misalnya) bahwa dia membutuhkan uang sejumlah Rp
30.000.000,-, dan Anda pun kemudian menyerahkan uang sejumlah yang
dia inginkan. Pada kasus ini, akad pegadaian terjadi sebelum akad
utang-piutang.
Hukum Pegadaian
Bila akad pegadaian telah dihukumi sah menurut
syariat, maka akad pegadaian memiliki beberapa konsekuensi hukum.
Berikut ini adalah hukum-hukum yang harus kita indahkan bila kita
telah menggadaikan suatu barang:
Hukum pertama: barang gadai adalah amanah
Sebagaimana telah diketahui dari penjabaran di atas,
bahwa gadai berfungsi sebagai jaminan atas hak pemiliki uang. Dengan
demikian, status barang gadai selama berada di tangan pemilik uang
adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya.
Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila
terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan
prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk
mengganti kerugian. Bahkan, seandainya Pak Ahmad mensyaratkan agar
Pak Ali memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa
disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib
dipenuhi.[7]
Misalnya, bila Pak Ahmad menggadaikan motornya
kepada Pak Ali, lalu Pak Ali menelantarkan motor tersebut, tidak
disimpan di tempat yang semestinya, sehingga motor tersebut rusak
atau hilang, maka Pak Ali berkewajiban memberi ganti rugi kerusakan
tersebut.
Sebaliknya, bila Pak Ali telah merawat dengan baik,
kemudian rumah Pak Ali dibobol oleh pencuri, sehingga motor tersebut
ikut serta dicuri bersama harta Pak Ali, maka ia tidak berkewajiban
untuk mengganti.
Hukum kedua: pemilik uang berhak untuk membatalkan
pegadaian
Akad pegadaian adalah salah satu akad yang mengikat
salah satu pihak saja, yaitu pihak orang yang berutang. Dengan
demikian, ia tidak dapat membatalkan akad pegadaian, melainkan atas
kerelaan pemilik uang. Adapun pemilik uang, maka ia memiliki wewenang
sepenuhnya untuk membatalkan akad, karena pegadaian disyariatkan
untuk menjamin haknya. Oleh karena itu, bila ia rela haknya terutang
tanpa ada jaminan, maka tidak mengapa.
Hukum ketiga: pemilik uang tidak dibenarkan untuk
memanfaatkan barang gadaian
Sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah
milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik
pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemilik uang, maka ia
hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas
uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemilik uang tidak dibenarkan untuk
memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau
tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu
nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik
barang, maka itu adalah riba. Bahkan, banyak ulama menfatwakan bahwa
persyaratan tersebut menjadikan akad utang-piutang beserta
pegadaiannya batal dan tidak sah.[8]
Demikianlah hukum asal pegadaian. Namun, ada dua
kasus, yang pada keduanya, pemilik uang (kreditur) dibenarkan untuk
memanfaatkan barang gadaian:
Kasus Pertama
Pemanfaatan barang gadai dipersyaratkan ketika akad
pegadaian dalam akad jual-beli atau sewa-menyewa dengan pembayaran
terutang. Hanya saja, para ulama menegaskan bahwa pemanfaatan barang
gadai ini hanya dibenarkan bila:
- Pada akad jual-beli, atau yang serupa.
- Pemanfaatan barang gadai disepakati ketika akad jual-beli sedang berlangsung.
- Batas waktu pemanfaatan yang jelas.
- Metode pemanfaatan yang jelas.
Pada kasus semacam ini, maka kreditur dibenarkan
untuk memanfaatkan barang gadaian, sebagaimana yang mereka berdua
sepakati.
Bila kita cermati kasus ini dengan baik, niscaya
kita dapatkan bahwa sebenarnya pada akad pegadaian ini terdapat dua
akad yang disatukan, yaitu akad jual-beli dan akad sewa-menyewa.[9]
Sebagai contoh nyata, bila Anda menjual kendaraan
kepada seseorang, dan ketika akad berlangsung terjadi kesepakatan
sebagai berikut:
- Harga sebesar Rp 30.000.000,- dengan cicilan Rp 3.000.000,- tiap bulan.
- Pembeli berkewajiban menggadaikan salah satu rumahnya selama sepuluh bulan, yaitu selama masa kredit.
- Selama masa kredit, yaitu sepuluh bulan, Anda menempati rumah yang digadaikan tersebut.
Pada kasus ini, Anda dibenarkan untuk menempati
rumah tersebut, karena pada hakikatnya, kendaraan Anda terjual dengan
harga Rp 30.000.000,- ditambah dengan uang sewa rumah selama sepuluh
bulan.
Akan tetapi, bila pada kasus ini, ketika pada proses
negoisasi harga hingga akad jual-beli kendaraan selesai, Anda tidak
mempersyaratkan untuk menempati rumah tersebut, maka anda tidak
dibenarkan untuk menempati rumah tersebut. Dengan demikian, bila
selang satu hari atau lebih, Anda mengutarakan keinginan itu kepada
pembeli, maka keinginan ini tidak dibenarkan, dan bila Anda tetap
melanggar, maka Anda berdua telah terjatuh dalam riba.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bila
akad pegadaian terjadi karena adanya akad utang-piutang, dan bukan
karena akad jual-beli atau akad sewa-menyewa, maka tidak dibenarkan
sama sekali untuk memanfaatkan barang gadaian.
Misalnya, bila Anda mengutangi seseorang uang
sejumlah Rp 10.000.000,-, dan orang tersebut menggadaikan sawahnya
kepada Anda. Pada kasus ini, Anda tidak dibenarkan untuk menggarap
sawahnya, karena bila Anda menggarap sawah tersebut, berarti Anda
telah diuntungkan dari piutang yang Anda berikan, dan setiap piutang
yang mendatangkan keuntungan adalah riba, sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Bila pemilik uang
mempersyaratkan kepada penggadai agar ia menempati rumah yang
digadaikan, mempekerjakan budak gadaian, mengambil kemanfaatan barang
gadai, atau sebagian dari kegunaannya, apa pun bentuknya, dan barang
gadainya berbentuk apa pun (rumah, hewan ternak, atau lainnya), maka
persyaratan ini adalah persyaratan yang batil (tidak sah). Bila ia
mengutangkan uang seribu (dirham) dengan syarat orang yang berutang
memberikan jaminan berupa barang gadaian, lalu pemilik uang
mempersyaratkan agar ia menggunakan barang gadaian tersebut, maka
syarat ini tidak sah, karena itu merupakan tambahan dalam piutang.”
[10]
Imam an-Nawawi berkata, “Tidaklah pemilik uang
(murtahin) memiliki hak pada barang gadaian selain hak sebagai
jaminan belaka. Murtahin tidak dibenarkan untuk ber-tasarruf
(bertindak), baik berupa ucapan atau perbuatan tentang barang
gadaiaan yang ada di tangannya, sebagaimana ia juga dilarang untuk
memanfaatkannya. ” [11]
Kasus Kedua
Bila barang gadaian adalah binatang hidup, sehingga
membutuhkan makanan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kedua belah
pihak. Karena bila makanan binatang tersebut dibebankan kepada
pemilik uang, ini merugikannya. Sebaliknya, bila dibebankan kepada
pemilik binatang, maka akan merepotkannya, terlebih–lebih bila
jarak antara mereka berdua berjauhan. Kasus ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
الظَّهْرُ
يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُوْناً، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْناً،
وَعَلَى الَّذِيْ يُرْكَبُ وَيُشْرَبُ
اَلنَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai
imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu
binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya
bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Pada hadits ini
terdapat dalil bagi orang yang memperbolehkan pemilik uang untuk
memanfaatkan barang gadaian, bila ia bertanggung jawab atas
perawatannya, walau pemiliknya tidak mengizinkan. Ini adalah pendapat
Imam Ahmad, Ishaq, dan sekelompok ulama lainnya. Mereka berpendapat
bahwa pemilik uang boleh memanfaatkan binatang gadaian dengan
ditunggangi dan diperah susunya, senilai makanan yang ia berikan
kepada binatang tersebut. Akan tetapi, dia tidak dibebani untuk
memanfaatkan dengan cara-cara lainnya. Pendapat ini berdasarkan
pemahaman terhadap hadits ini…..
Walaupun hadits ini sekilas tampak bersifat global,
namun hadits ini secara khusus berkaitan dengan pemilik uang. Yang
demikian itu, pemanfaatan barang gadaian oleh pemilik barang gadaian
berdasarkan atas kepemilikannya terhadap barang tersebut, bukan
karena sekadar ia memberi makanan kepada binatang gadaian, berbeda
halnya dengan pemilik uang.”[12]
Berikut ini adalah dua fatwa Komite Tetap untuk
Riset Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, yang berkaitan dengan
hukum pemanfaatan barang gadaian:
1. Pertanyaan:
Bagaiamana sikap Islam berkaitan dengan perbankan,
dan apa hukum bertransaksi dengannya (yaitu, dengan meminjam uang
yang berbunga kepadanya)? Apakah pegadaian itu halal atau haram?
Misalnya, saya memiliki sebidang tanah seluas dua hektar, sedangkan
saya tidak memiliki uang, maka saya datang ke seseorang yang siap
mengutangi uang sebesar 1500 Junaih (mata uang Mesir -pen) kepada
saya. Setelah itu ia berhak memanfaatkan tanah saya dengan
menanaminya, dan uang tersebut saya gunakan terus-menerus selama ia
masih menggarap tanah saya.
Jawaban:
Piutang dengan syarat ada bunganya hukumnya adalah
haram, dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
كُلُّ
قَرْضِ جَرٍّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat
(keuntungan) adalah riba.”[13]
Ulama pun telah menyepakati kandungan hadits ini.
Di antara bentuk piutang yang mendatangkan manfaat
adalah memberikan orang yang mengutangi sebidang tanah yang ia
manfaatkan, baik dengan ditanami atau lainnya, hingga saat orang yang
berutang (mampu) melunasi piutangnya. Akad semacam ini tidak boleh.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan
sahabatnya.[14]
2. Pertanyaan:
Seseorang berutang kepada orang lain, dan orang yang
berutang menggadaikan sebidang tanah miliknya kepada pemilik uang.
Apakah pemilik uang diperbolehkan untuk memanfaatkan tanah tersebut,
baik dengan ditanami, disewakan, atau lainnya?
Jawaban:
Bila barang gadaian tidak membutuhkan biaya dan
perawatan (misalnya: perabot, properti berupa tanah dan rumah), dan
barang tersebut digadaikan karena piutang selain piutang qardh[15],
maka tidak dibenarkan bagi pemilik uang untuk memanfaatkan tanah yang
digadaikan, baik dengan menanaminya atau menyewakannya, tanpa seizin
pemilik tanah. Hal ini, karena tanah tersebut adalah hak pemiliknya,
demikian juga kemanfaatannya.
Bila pemilik barang (orang yang berutang)
mengizinkan kepada pemilik uang untuk memanfaatkan tanah ini, dan
piutangnya bukan piutang qardh, maka boleh baginya untuk
memanfaatkannya, walau tanpa imbalan. Hukum ini berlaku selama izin
pemanfaatan ini bukan sebagai imbalan atas penundaan tempo pelunasan.
Bila pemanfaatan tanah tersebut disebabkan penundaan tempo pelunasan,
maka tidak dibenarkan bagi pemilik uang untuk memanfaatkannya.
Adapun bila tanah ini digadaikan karena adanya
piutang qardh, maka secara mutlak, pemilik uang tidak dibenarkan
untuk memanfaatkannya, karena pemanfaatan barang gadaian kala itu
mendatangkan keuntungan. Selain itu, menurut kesepakatan ulama,
setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan adalah riba.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan
sahabatnya.[15]
3. Pertanyaan:
Di sebagian pedesaaan Mesir terdapat kebiasaan
menggadaikan lahan pertanian. Bila ada orang yang memerlukan uang, ia
berutang kepada orang kaya. Sebagai balasannya, pemilik uang
mengambil lahan pertanian milik orang yang berutang, sebagai
gadainya. Selanjutnya, pemilik uang memanfaatkan hasil lahan itu dan
seluruh hasil yang dapat diperoleh darinya. Adapun pemilik lahan,
maka dia tidak dapat mengambil sedikit pun dari hasil lahannya. Lahan
tersebut akan senantiasa dimanfaatkan oleh pemilik uang sampai tiba
saat orang yang berutang melunasi utangnya. Apa hukum menggadaikan
lahan pertanian, dan apakah mengambil hasil lahan tersebut halal atau
haram?
Jawaban:
Barangsiapa memberikan suatu piutang, maka ia tidak
boleh untuk mempersyaratkan kepada orang yang berutang untuk
memberikan manfaat apa pun sebagai imbalan atas piutangnya. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
كُلُّ
قَرْضِ جَرٍّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat
(keuntungan) adalah riba.”
Ulama telah bersepakat akan kandungan hadits di
atas. Di antaranya adalah kasus yang disebutkan dalam pertanyaan,
berupa penggadaian lahan pertanian. Yaitu, pemilik uang memanfaatkan
lahan pertanian yang digadaikan hingga orang yang berutang melunasi
piutangnya.
Demikian juga, bila ia mengutangi orang lain, maka
tidak boleh bagi pemilik uang untuk mengambil hasil lahan itu atau
memanfaatkannya sebagai imbalan atas penundaan waktu pelunasan. Hal
ini dikarenakan, tujuan pegadaian ialah untuk memberikan jaminan atas
suatu piutang. Pegadaian bukan untuk mencari keuntungan dari barang
gadaian sebagai imbalan atas piutang atau memberi kesempatan bagi
orang yang berutang untuk menunda pembayaran.
Wabillahit taufiq, dan semoga salawat dan salam
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan
sahabatnya.[16]
Hukum keempat: piutang tidak berkurang karena barang
gadai rusak
Telah dijelaskan di atas bahwa tujuan pegadaian
adalah untuk memberikan jaminan kepada pemilik uang. Sebagaimana
telah dijelaskan pula, bahwa pemilik uang tidak berkewajiban untuk
bertanggung jawab bila terjadi kerusakan pada barang gadaian yang
terjadi tanpa kesalahan darinya. Bukan hanya itu saja, tetapi uang
yang diutangkannya pun juga tidak digugurkan atau dikurangi
karenanya.[17]
Imam as-Syafi’i berkata, “Bila seseorang telah
menggadaikan suatu barang, kemudian barang gadaian itu rusak selama
berada di tangan pemilik uang, maka ia tidak berkewajiban untuk
menggantinya, dan jumlah piutangnya pun tidak berubah sedikit pun,
dari jumlah sebelum terjadi akad pegadaian…. Selama Pemilik uang
tidak berbuat kesalahan, maka status barang gadaian bagaikan amanah.
Oleh karena itu, bila orang yang berutang telah
menyerahkan barang gadaian kepada pemilik uang, kemudian ia ingin
menarik kembali barangnya, maka pemilik uang berhak untuk menolaknya.
Serta, bila barang itu rusak, maka pemilik uang tidak berkewajiban
untuk menggantinya, karena pemilik uang berhak untuk menolak
permintaan orang yang berutang itu.”[18]
Hukum kelima: bila pembayaran utang telah jatuh
tempo, maka barang gadaian dapat dijual untuk melunasi utang
tersebut.
Bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka akan
terjadi beberapa kemungkinan berikut:
1. Orang yang berutang dapat melunasi piutangnya.
Bila kemungkinan ini yang terjadi, maka barang gadaian sepenuhnya
harus dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Orang yang berutang tidak mampu melunasi
piutangnya, dan pemilik uang rela untuk menunda haknya. Pada keadaan
seperti ini, barang gadaian tidak berubah statusnya, yaitu masih
tetap tergadaikan hingga batas waktu yang disepakati. Menunda
tagihan, bila orang yang berutang benar-benar dalam kesusahan, adalah
lebih utama bagi pemberi utang, daripada menuntut hak, dengan
melelang barang gadaian. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى
مَيْسَرَةٍ وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
Menyedakahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)
Juga berdasarkan hadits berikut,
عَنْ
حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ : أَتَى
اللهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ
اللهَ مَالاً، فَقَالَ لَهُ:
مَاذَا
عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا؟ قَالَ:
وَلاَ
يَكْتُمُوْنَ اللهَ حَدِيْثًا، قَالَ:
يَا رَبِّ
آتَيْتَنِيْ مَالَكَ، فَكُنْتُ أُبَايِعُ
النَّاسَ، وَكاَنَ مِنْ خَلْقِي الْجَوَازُ،
فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوْسِرِ
وَأَنْظُرُ الْمَعْسِرَ، فَقَالَ اللهُ:
أَنَا
أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ، تَجَاوَزُوْا
عَنْ عَبْدِيْ
Huzaifah radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, ‘(Pada hari
kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah
Dia beri harta kekayaan. Kemudian, Allah bertanya kepadanya, ‘Apa
yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat
menyembunyikan suatu kejadian dari Allah).[19] Hamba tersebut pun
menjawab, ‘Wahai Rabbku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta
kekayaan, dan aku berjual-beli dengan orang lain. Kebiasaanku
(akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan)
orang yang mampu, dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak
mampu. Kemudian, Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan
ini daripada engkau. Mudahkanlah hamba-Ku ini!’’”
(Muttafaqun ‘alaihi)
3. Orang yang berutang tidak mampu melunasi
piutangnya, dan pemilik uang tidak mau untuk menunda tagihan. Pada
keadaan seperti ini, barang gadaian harus dijual, dan hasil
penjualannya digunakan untuk melunasi utang.
Bila kemungkinan ketiga ini yang terjadi, maka yang
berhak untuk menjual barang gadaian adalah pemilik barang. Bila ia
tidak mau menjualnya sendiri, maka pemilik uang berhak untuk
menggugatnya ke pengadilan, agar pengadilan menjualkan barang
tersebut.
Adapun pemilik uang, maka ia tidak berhak untuk
menjual barang gadaian yang ada di tangannya, kecuali seizin dari
pemilik barang atau orang yang berutang.
Urutan ini dilakukan demi menjaga keutuhan harta
orang atau orang yang berutang, karena pada dasarnya, harta setiap
manusia adalah terhormat, dan suatu akad jual-beli tidaklah sah bila
tidak didasari oleh asas “suka sama suka”. Ditambah lagi, bila
pemiliknya yang menjual langsung barang gadaian, maka ia akan
berusaha menjualnya dengan harga yang bagus. Berbeda halnya, bila
yang menjualnya adalah pemilik uang. Biasanya, ia hanya memikirkan
cara agar uangnya dapat terbayar dengan lunas.
Bila kemungkinan ini terjadi, maka hasil penjualan
barang gadai tidak akan luput dari tiga kemungkinan berikut:
- Bila hasil penjualan lebih sedikit dari jumlah piutang, maka seluruh hasil penjualan diserahkan kepada pemilik uang dan orang yang berutang masih berkewajiban untuk menutup kekurangannya.
- Bila hasil penjualan sama dengan jumlah piutang, maka hasil penjualan sepenuhnya diserahkan kepada pemilik uang guna melunasi haknya.
- Bila hasil penjualan melebihi jumlah piutang, maka hasil penjualan itu dipotong jumlah piutang, dan sisanya dikembalikan kepada pemilik barang (orang yang berutang).
Penutup
Demikianlah paparan yang dapat saya utarakan pada
kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Tiada kata yang
lebih indah untuk mengakhiri makalah sederhana ini dibandingkan
sebuah doa:
اللَّهُمَّ
اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ
وَاغْنِنِا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami
dengan rezeki yang halal dari-Mu, sehingga kami tidak merasa perlu
untuk memakan harta yang Engkau haramkan. Cukupkanlah kami dengan
kemurahan-Mu, sehingga kami tidak mengharapkan uluran tangan selain
dari-Mu.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A.
==========
CATATAN KAKI:
CATATAN KAKI:
[1] Baca: Tafsir Ibnu Jarir at-Thabary:
3/139–140 dan al-Muhalla oleh Ibnu Hazm: 8/88.
[2] Baca: al-Um oleh Imam asy-Syafi’i:
3/139, at-Tahzib oleh al-Baghawi: 4/3, al-Mughni
oleh Ibnu Qudaamah: 6/444, dan al-Mabsuth oleh as-Sarahsy:
21/64.
[3] Baca: Fathul Bari oleh Ibnu Hajar
al-’Asqalani: 5/157 dan Nailul Authar oleh asy- Syaukani:
5/326.
[4] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/153.
[5] Idem: 3/162.
[6] Baca: asy-Syarhul Mumti’ oleh Ibnu
Utsaimin: 9/125.
[7] Baca: al-Um oleh Imam asy-Syafi’i:
3/168, Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/126–127,
I’anatuth Thalibin oleh ad-Dimyathi: 3/59, Fathul Mu’in
oleh al-Malibari: 3/59, dan Nihatuz Zain oleh Muhammad
Nawawi al-Bantani: 244.
[8] Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini:
2/121, Fathul Mu’in oleh al-Malibari: 3/57, dan Nihayatuz
Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
[9] Baca Nihayatuz Zain oleh Muhammad
Nawawi al-Bantani: 244.
[10] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/155.
[11] Raudhatuth Thalibin oleh Imam
an-Nawawi: 3/387.
[12] Fathul Bari oleh Ibnu Hajar
al-Asqalani: 5/144.
[13] Riwayat al-Harits, sebagaimana disebutkan oleh
al-Haitsami dalam kitab Bughyatul Bahits: 1/500 dengan sanad yang
lemah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar, as-Suyuthi dan
al-Albani.
[14] Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah:
13/426, fatwa no. 16645.
[15] Piutang, selain piutang qardh, ialah piutang
yang terjadi pada saat akad jual-beli, sewa-menyewa, atau yang
serupa.
[16] Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah:
14/176, fatwa no. 202444.
[17] Idem: 12/178, fatwa no. 17393.
[18] Baca: Mughnil Muhtaaj oleh
asy-Syarbini: 2/137.
[19] Al-Um oleh Imam asy-Syafi’i: 3/167.
[20] Qs. an-Nisa: 42.
Artikel: www.pengusahamuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar