Minggu, 29 Januari 2012

Forum Diskusi

Assalamu'alaikum
Ada usulan dari DKM untuk membuat semacam forum diskusi bertemakan Pendidikan Agama Islam. usul yang menarik walaupun ada kekurangannya karena sementara hanya bisa diikuti oleh warga yang berlangganan BJI-NET saja. Tapi tidak ada salahnya kita coba, walau dengan keterbatasan kami dalam memfasilitasi diskusi ini, Bismillah ..... Forum Diskusi bisa kita lakukan disini lewat Laman - Forum Diskusi AlHidayah - yang tertera dibaris atas bawah judul blog ini atau bisa  Klik link berikut,
hanya saja didalam diskusi usahakan pakai identitas, walau bukan nama asli. dan satu hal yang paling penting untuk diingat bahwa apa yang kita ucapkan didunia ini, akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Azza Wa Jalla besuk di akherat.
Wassalamu'alaikum
Admin

Kamis, 26 Januari 2012

Ralat tempat pembuatan Akte Kelahiran

Diberitahukan kepada seluruh masyarakat Munjul Jaya, bahwa ada perubahan lokasi pembuatan Akte kelahiran gratis, yang sedianya akan dilayani di kantor Kelurahan, di pindah ke :
  • GEDUNG SD SEBELAH PUSKESMAS MUNJUL JAYA
Demikian yang dapat kami sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Senin, 23 Januari 2012

Pembuatan Akte Lahir Gratis di Kelurahan Munjul Jaya

Assalamu'alaikum
Diberitahukan kepada seluruh warga Kelurahan Munjul Jaya pada umumnya dan warga Perumahan Bumi Jaya Indah pada khususnya, bahwa akan ada pelayanan pembuatan Akte Kelahiran gratis yang agenda kegiatannya sebagai berikut :
  1. waktu dan tempat pelaksanaan di Kantor Kelurahan Munjul Jaya Hari Jumat tanggal 27 Januari 2012

Jumat, 20 Januari 2012

Bila Handphone berbunyi ketika sholat

Assalamu'alaikum
Pada kesempatan kali ini kita akan coba angkat masalah apa yang harus kita lakukan apabila telephon genggam kita berdering saat sholat? apakah menjawab telepon? Mengambilnya dari kantong lalu mematikannya? atau dibiarkan saja berbunyi sampai mati sendiri?

Rabu, 18 Januari 2012

Pelajaran ke-18

MENGURUS JENAZAH, MENSHALATKAN DAN MENGUBURKANNYA

Rinciannya adalah sebagai berikut:
1. Orang yang sedang sekarat, disyariatkan untuk ditalqini dengan kalimat “Laa ilaaha illallah" Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :"Talqinilah orang-orang yang akan mati dari kalian (dengan ucapan): 'Laa ilaaha illallah'." (HR. Muslim dalam shahihnya).Yang dimaksud dengan kata "Mautaakum" dalam hadits ini adalah orang-orang sedang sekarat, yaitu orang yang sudah tampak padanya tanda-tanda kematian.
Bila sudah diyakini orang tersebut sudah meninggal, maka hendaklah kedua matanya dipejamkan, karena ada keterangan hadits tentang hal itu.
Diwajibkan memandikan jenazah/mayit muslim kecuali dia syahid (meninggal di medan perang fisabilillah). Dalam hal ini, dia tidak perlu dimandikan dan tidak perlu juga dishalatkan. Dia hanya cukup dikuburkan dengan pakaiannya. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memandikan orang-orang yang meninggal di perang Uhud dan tidak pula menshalatkan mereka.
2. Cara memandikan jenazah.
Pertama-tama, aurat jenazah ditutupi kemudian diangkat sedikit lalu bagian perutnya dipijat perlahan (untuk mengeluarkan kotorannya, pen.). Setelah itu orang yang memandikannya memakai sarung tangan atau kain atau semacamnya untuk membersihkannya (dari kotoran yang keluar, pen.). Kemudian diwudhukan seperti wudhu untuk shalat. Lalu dibasuh kepala dan jenggotnya (kalau ada) dengan air yang dicampur dengan daun bidara atau semacamnya. Selanjutnya, dibasuh sisi bagian kanan badannya kemudian bagian kiri. Kemudian basuh seperti tadi untuk yang kedua dan ketiga kali. Dalam setiap kalinya dipijat bagian perutnya. Bila keluar sesuatu (kotoran) hendaklah dicuci dan menutup tempat keluar tersebut dengan kapas atau semacamnya. Kalau ternyata tidak berhenti keluar hendaklah ditutup dengan tanah yang panas atau dengan metoda kedokteran modern seperti isolasi khusus dan semacamnya.Kemudian mengulangi wudhunya lagi. Bila dibasuh tiga kali masih tidak bersih ditambah menjadi lima atau sampai tujuh kali. Setelah itu dikeringkan dengan kain, lalu memberikan parfum di lipatan-lipatan tubuhnya dan tempat-tempat sujudnya. Lebih baik, kalau sekujur tubuhnya diberi parfum semua. Kafannya diberi harum-haruman dari dupa yang dibakar. Bila kumis atau kukunya ada yang panjang boleh dipotong, dibiarkan saja juga tidak apa-apa. Rambutnya tidak perlu disisir, begitu pula rambut kemaluan-nya tidak perlu dicukur dan tidak usah dikhitan (kalau memang belum dikhitan, pen.). Karena memang tidak ada dasar-dasar yang menerangkan hal tersebut. Dan bila jenazahnya seorang perempuan maka rambutnya dikepang tiga dan dibiarkan terurai ke belakang.

3. Cara Mengkafani Jenazah.
Yang paling utama, untuk jenazah laki-laki dikafani tiga lapis kain putih (satu untuk menutupi bagian bawah -semacam sarung- satu lagi untuk bagian atas -semacam baju- dan yang terakhir kain untuk pembungkusnya). Tidak perlu gamis (baju panjang) dan surban. Hal ini, sama seperti apa yang dilakukan terhadap jenazah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tapi, tidak mengapa jika dikafani dengan gamis (baju panjang), izar (sema-cam sarung untuk menutupi bagian bawah) dan kain pembungkus.Adapun jenazah perempuan, dikafani dengan lima lapis: Baju, kerudung, sarung untuk bagian bawah dan dua kain pembungkus.
Dan yang wajib, baik bagi jenazah laki-laki atau perempuan adalah menutupinya dengan satu lapis kain yang dapat menu-tupinya secara sempurna. Tetapi, bila ada jenazah laki-laki yang meninggal dalam keadaan ihram, maka dia cukup dimandikan dengan air dan daun bidara. Kemudian dikafani dengan sarung dan baju yang dipakai atau yang lainnya dan tidak perlu menutup kepala dan wajahnya, juga tidak usah diberi parfum. Karena pada hari Kiamat nanti dia akan dibangkitkan dalam keadaan membaca talbiyah: "Labbaik allahumma labbaik" seperti yang diriwayatkan dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila yang meninggal dalam keadaan ihram tadi seorang perem-puan maka dia dikafani seperti perempuan yang lain, hanya tidak perlu diberi wewangian, wajahnya tidak perlu ditutup dengan cadar, begitu pula tangannya tidak usah dipakaikan sarung tangan, tetapi cukup ditutup dengan kafan yang membungkusnya, seperti yang disebutkan dalam cara mengkafani jenazah perempuan.Dan anak kecil laki-laki, dikafani dengan satu lapis sampai tiga lapis, sementara anak kecil perempuan dikafani dengan satu gamis (baju panjang) dan dua kain pembungkus.
4. Yang Berhak Mengurus Jenazah.
Orang yang paling berhak untuk memandikan, menshalatkan dan menguburkannya secara berurutan ialah mereka yang men-dapatkan wasiat untuk itu, kemudian ayah, kakek kemudian kerabat-kerabat terdekat yang berhak mendapatkan ashabah.Sementara, untuk jenazah perempuan, yang paling berhak untuk memandikannya ialah orang yang mendapatkan wasiat untuk itu, kemudian ibu, nenek, lalu kerabat-kerabat perempuan terdekat. Bagi suami isteri diperbolehkan bagi salah seorang dari keduanya untuk memandikan yang lain (suami boleh memandikan isteri dan isteri boleh memandikan suami). Karena jenazah Abu Bakar As-Shiddiq dimandikan oleh isterinya dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu ikut memandikan jenazah isterinya Fatimah radhiallahu 'anha.
5. Cara Menshalatkan Jenazah.
Shalat jenazah, dilakukan dengan empat kali takbir. Setelah takbir pertama, membaca surat Al-Fatihah. Bila ditambah dengan membaca surat pendek lainnya atau dilanjutkan dengan membaca satu atau dua ayat, hal ini baik dan tidak apa-apa. Sebab ada hadits shahih yang menyatakan hal tersebut sebagaimana diriwa-yatkan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu. Kemudian bertakbir kedua dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sama seperti dalam tasyahhud. Kemudian bertakbir ketiga dan membaca do'a:
"Ya Allah, ampunilah orang yang hidup dan orang yang mati di antara kami, orang yang hadir dan orang yang tidak hadir di antara kami, orang yang muda dan orang yang dewasa di antara kami, yang laki-laki dan perempuan di antara kami.
Ya Allah orang yang Engkau hidupkan di antara kami, hendaklah Engkau hidupkan dia atas ke-Islaman, dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, hendaklah Engkau wafatkan dia atas keimanan.Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, selamatkanlah dia, maafkanlah dia, muliakanlah tempat singgahnya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah dia dengan air dan salju. Sucikanlah dia dari kesalahan-kesalahan sebagaimana dibersihkannya baju putih dari kotoran. Berilah untuknya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya. Masukkanlah ke dalam Surga dan jauhkanlah dia dari adzab kubur dan siksa Neraka. Luaskanlah kuburnya, berilah dia cahaya di dalamnya.Ya Allah, janganlah Kau cegah kami (mendapat) pahalanya dan janganlah Kau sesatkan kami sesudahnya."Kemudian bertakbir yang keempat dan selanjutnya bersalam satu kali saja ke sebelah kanan. Disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan untuk setiap kali takbir.
Bila yang meninggal perempuan, maka (  ) dalam do'a di atas diganti dengan (  ) sehingga do'anya berbunyi:
Bila yang meninggal dua orang, maka diganti menjadi:
Bila yang meninggal lebih dari dua orang, maka diganti menjadi:
Bila yang meninggal masih kanak-kanak, maka sebagai ganti dari permohonan ampun yang ada dalam do'a di atas, dibaca do'a berikut:
"Ya Allah, jadikanlah dia sebagai simpanan pahala bagi kedua orangtuanya, sebagai pemberi syafaat yang diterima. Ya Allah, beratkanlah dengannya timbangan amal baik kedua (orangtua)nya, besarkanlah pahala keduanya, dan kumpulkan dia dengan orang-orang mu'min shalih yang terdahulu. Jadikanlah dia berada dalam asuhan Ibrahim 'alaihis salam dan selamatkanlah dia dengan rahmatMu dari siksa Neraka."
Disunnahkan bagi yang menjadi imam shalat jenazah berdiri sejajar dengan kepala bila jenazahnya laki-laki, dan berdiri di tengah bila jenazahnya perempuan.
Bila jenazah yang dishalatkan lebih dari satu maka yang ada di depan imam adalah jenazah laki-laki dewasa dan jenazah perempuan dewasa posisinya setelah kiblat. Bila ditambah dengan jenazah anak-anak, maka jenazah anak laki-laki didahulukan atas jenazah perempuan, lalu jenazah anak perempuan. Posisi kepala anak laki-laki sejajar dengan kepala jenazah laki-laki dewasa dan pertengahan jenazah perempuan dewasa sejajar dengan kepala laki-laki dewasa. Begitu pula anak perempuan, posisi kepalanya sejajar dengan kepala perempuan dewasa.Posisi makmum semuanya di belakang imam, kecuali bila ada seorang makmum yang tidak mendapatkan tempat di belakang imam, dia boleh berdiri di samping kanannya.

6. Cara Menguburkan Jenazah
Menurut aturan syariat, kuburan itu dibuat dengan kedalaman sampai pertengahan tinggi seorang laki-laki dan dibuatkan ke dalamnya liang lahad di arah kiblat, dan jenazah diletakkan di dalam liang lahad dengan bertumpu pada sisi kanan badannya (miring ke kanan, pen.) kemudian tali-tali pengikat kafan itu dibuka, tidak dicabut tapi dibiarkan begitu saja, dan wajahnya tidak perlu disingkap baik jenazah laki-laki atau perempuan. Kemudian diberi batu bata besar yang didirikan dan (celah-celahnya) diberi adonan pasir supaya kuat dan bisa menjaganya (jenazah) agar tidak ber-jatuhan debu/tanah. Bila sulit mendapatkan batu bata boleh diganti yang lain seperti; papan, batu atau bambu yang dapat mengha-langi agar tanah tidak masuk ke dalam. Setelah itu, baru ditimbun dengan tanah. Dan disunnahkan ketika itu membaca:
"Dengan nama Allah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah."
Selanjutnya, kuburan boleh ditinggikan sejengkal dari tanah dan di atasnya diberi kerikil --kalau ada-- dan disiram dengan air.Dan disyariatkan bagi orang-orang yang mengantarkannya untuk berdiri di sisi kuburan dan berdo'a untuk si mayit. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila sudah selesai menguburkan orang meninggal dunia, beliau berdiri di sampingnya dan berkata:
"Mohonlah ampun untuk saudara kalian dan mintakanlah untuknya ketetapan; sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya."
7. Disyariatkan bagi yang belum menshalatkannya untuk menshalatkannya setelah dikuburkan. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan hal tersebut, tapi dengan catatan hal itu boleh dilakukan dalam jangka waktu satu bulan atau kurang, dari setelah dikuburkan. Bila sudah lewat dari satu bulan tidak disyariatkan lagi shalat di atas kuburan. Karena tidak ada keterangan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat di atas kuburan setelah sebulan dari penguburan.
Tidak boleh bagi keluarga jenazah membuat makanan untuk orang-orang. Berdasarkan perkataan seorang sahabat yang mulia Jarir bin Abdillah Al-bajali radhiallahu 'anhu:
"Dulu kami menganggap, berkumpulnya (orang-orang) di tempat keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburan, adalah termasuk 'niyahah' (ratapan yang hukumnya haram)." (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang baik).
Adapun membuatkan makanan untuk keluarga yang berkabung atau tamu-tamu mereka maka tidak apa-apa. Bahkan dianjurkan oleh agama, agar para kerabat dan para tetangga membuat makanan bagi mereka. Karena, ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar kabar kematian Ja'far bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu di Syam, beliau meminta keluarga beliau untuk membuat makanan yang diberikan kepada keluarga Ja'far. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya telah menimpa kepada mereka musibah yang telah menyibukkan mereka."
Keluarga jenazah boleh memanggil para tetangga dan yang lainnya untuk makan makanan yang telah dihadiahkan bagi mereka dan menurut pengetahuan kami tentang hukum syara', tidak ada batasan waktu untuk hal itu.
Tidak dibolehkan bagi seorang perempuan berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali yang meninggal adalah suaminya. Saat itu dia harus berkabung selama empat bulan sepuluh hari, kecuali kalau dia hamil maka sampai dia melahirkan. Berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini.
Adapun bagi seorang laki-laki tidak boleh mempunyai masa berkabung atas kematian seorang kerabat dan yang lainnya.
8. Disyariatkan bagi kaum pria untuk berziarah kubur dari waktu ke waktu. Tujuannya untuk mendo'akan yang mati, memohon-kan rahmat untuk mereka, juga untuk mengingatkan akan kematian dan apa yang ada setelah itu. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Ziarahilah kubur itu, sesungguhnya dia akan mengingatkan kalian tentang alam akhirat." (Hadits dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada para sahabatnya apabila mereka berziarah kubur untuk mengucapkan:
"Keselamatan untuk kalian wahai ahli kubur dari kaum mu'minin dan muslimin, dan sesungguhnya kami --Insya Allah-- akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah keselamatan untuk kami dan untuk kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mati lebih dahulu dari kami dan juga orang-orang yang akan mati belakangan."
Adapun kaum wanita, maka dia tidak boleh melakukan ziarah kubur, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat kaum wanita yang menziarahi kubur. Alasannya adalah karena takut terjadi fitnah dan tidak mampu menahan kesabaran. Begitu pula, mereka tidak boleh ikut mengantar jenazah sampai ke kuburan. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang hal tersebut. Akan tetapi, menshalatkan jenazah --baik di masjid maupun di tempat lain-- dibolehkan untuk pria dan wanita semuanya.
Inilah akhir dari apa yang dapat saya tuliskan. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita, keluarga dan sahabatnya.

Selasa, 17 Januari 2012

Pelajaran ke-17

BERHATI-HATI TERHADAP PERBUATAN SYIRIK DAN MAKSIAT
Di antaranya adalah tujuh dosa besar yang dapat membina-sakan:
  1. Menyekutukan Allah.
  2. Sihir.
  3. Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan alasan yang benar.
  4. Makan riba.
  5. Makan harta anak yatim.
  6. Kabur / lari sewaktu perang.
  7. Menuduh wanita mukminah yang terjaga kehormatannya dan jauh dari maksiat dengan perbuatan zina.
Dan di antara maksiat-maksiat itu adalah:
  1. Durhaka kepada kedua orang tua.
  2. Memutuskan hubungan silaturrahmi.
  3. Memberikan kesaksian palsu.
  4. Sumpah palsu.
  5. Mengganggu tetangga.
  6. Berbuat zhalim kepada orang, baik berhubungan dengan darah (seperti membunuh dan semacamnya, pen.), harta maupun kehormatan.
  7. Minum minuman yang memabukkan, bermain judi (lotre, atau undian).
  8. Ghibah (menceritakan aib orang), naminah (mengadu domba) dan semacamnya dari hal-hal yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta'ala atau RasulNya.

Senin, 16 Januari 2012

Pelajaran ke-16

ADAB ( SOPAN SANTUN ) ISLAMI
Di antaranya:
  1. Mengucapkan salam.
  2. Bermuka ceria.
  3. Makan dengan tangan kanan.
  4. Minum dengan tangan kanan.
  5. Membaca "Bismillah" sebelum mulai kegiatan/pekerjaan.
  6. Membaca "Alhamdulillah" ketika selesai dari kegiatan/pekerjaan.
  7. Membaca "Alhamdulillah" setelah bersin.
  8. Mendo'akan orang yang membaca "Alhamdulillah" setelah bersin,(1) menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah untuk menshalatkan dan menguburnya.
  9. Sopan santun yang diajarkan oleh syariat ketika masuk masjid atau rumah, atau ketika keluar dari keduanya. Juga, tata cara dan sopan santun ketika bepergian; ketika bersama kedua orangtua, kaum kerabat, para tetangga, orang-orang tua dan anak-anak muda.
  10. Mengucapkan selamat atas kelahiran bayi, memberikan do'a keberkahan untuk perkawinan.
  11. Menghibur orang yang ditimpa musibah, dan banyak lagi adab-adab Islami lainnya. Misalnya yang berhubungan dengan mengenakan pakaian, melepaskan pakaian dan cara memakai sandal.

Minggu, 15 Januari 2012

Pelajaran ke-15

AKHLAK YANG HARUS DIMILIKI SETIAP MUSLIM
Di antaranya adalah:
  1. Jujur.
  2. Amanah.
  3. Menjaga kehormatan.
  4. Malu.
  5. Berani.
  6. Dermawan / murah hati.
  7. Setia.
  8. Menjauhkan diri dari semua yang diharamkan Allah.
  9. Baik kepada tetangga.
  10. Membantu orang yang membutuhkan sesuai kemampuan.
Dan lain sebagainya, dari akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. q

Sabtu, 14 Januari 2012

Pelajaran ke-14

YANG MEMBATALKAN WUDHU
Yang membatalkan wudhu ada enam:
  1. Sesuatu yang keluar dari dua jalan yaitu qubul dan dubur (buang air kecil dan air besar, pen.).
  2. Keluarnya sesuatu yang najis dalam jumlah yang banyak dari tubuh.
  3. Hilang akal, baik karena tidur atau lainnya.
  4. Memegang kemaluan --yang di depan (qubul) dan di belakang (dubur)-- dengan tangan tanpa ada pelapis.
  5. Makan daging onta.
  6. Keluar (murtad) dari Islam.
Semoga Allah melindungi kita semua dari hal tersebut.
PERINGATAN PENTING
Memandikan jenazah itu, yang benar tidak membatalkan wudhu. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama karena hal tersebut tidak ada dalil yang menyatakan batalnya wudhu. Tetapi, kalau yang memandikan itu sampai memegang kemaluan mayit tanpa ada pelapis, maka dia wajib berwudhu lagi.
Dan memang seharusnya, dia tidak memegang kemaluan mayit kecuali dengan menggunakan pelapis.
Begitu pula, bersentuhan dengan kulit perempuan tidak membatalkan wudhu, baik diikuti dengan syahwat atau tidak. Demikian menurut pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat yang dikemukakan ulama, yakni selama yang bersentuhan itu tidak sampai mengeluarkan sesuatu. Karena, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah mencium sebagian isteri beliau, lalu melaksanakan shalat tanpa wudhu lagi.
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam dua ayat, masing-masing di surat An-Nisa' dan surat Al-Maidah, yang berbunyi: "  " (atau kalian menyentuh wanita) maka yang dimaksud "menyentuh" di situ adalah jima menurut  pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat yang dikemukakan ulama. Dan ini juga adalah pendapat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu dan sekelompok ulama salaf dan khalaf. Wallahu a'lam bish shawab. q

Jumat, 13 Januari 2012

Pelajaran ke-13

FARDHU-FARDHU WUDHU
Fardhu-fardhu wudhu ada enam:
  1. Membasuh muka, termasuk pula berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
  2. Membasuh dua tangan sampai dua siku.
  3. Mengusap seluruh kepala, termasuk di dalamnya dua telinga.
  4. Membasuh dua kaki sampai / termasuk dua mata kaki.
  5. Tertib/berurutan.
  6. Bersegera/beruntun tanpa mengakhirkan (dalam melaksanakan tertib fardhu-fardhu tersebut, pen.).Dan disunnahkan membasuh muka, dua tangan dan dua kaki, masing-masing tiga kali, termasuk juga berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Yang wajib hanya satu kali saja. Adapun mengusap kepala, tidak disunnahkan lebih dari satu kali, seperti yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih. q

Kamis, 12 Januari 2012

Pelajaran ke-12

SYARAT-SYARAT WUDHU
Ada sepuluh:
  1. Islam.
  2. Berakal.
  3. Mumayyiz (bisa membedakan antara yang suci dan najis. pen.).
  4. Niat.
  5. Mempertahankan niat tersebut, artinya tidak bermaksud memotong niat tersebut sampai dia selesai berwudhu.
  6. Hilangnya hal yang mewajibkan wudhu.
  7. Ber-istinja dengan air atau batu sebelum wudhu.
  8. Airnya suci dan boleh dipakai.
  9. Menghilangkan apa-apa yang dapat mencegah sampainya air ke kulit.
  10. Masuknya waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats.

Rabu, 11 Januari 2012

Pelajaran ke-11


YANG MEMBATALKAN SHALAT
Yang membatalkan shalat ada delapan:
  1. Berbicara dengan sengaja, dalam kondisi ingat dan mengerti. Adapun orang yang lupa dan yang tidak mengerti (bodoh), maka shalatnya tidak batal.
  2. Tertawa.
  3. Makan.
  4. Minum.
  5. Terbuka aurat.
  6. Bergeser jauh dari arah kiblat.
  7. Perbuatan "abats" (gerakan tidak berguna, seperti meng-goyangkan kepala, tangan dan lain sebagainya, pen.) yang dilakukan dengan sering dan berturut-turut di saat shalat.
  8. Batalnya thaharah (wudhu). q

Selasa, 10 Januari 2012

Pelajaran ke-10

SUNNAH-SUNNAH SHALAT
Di antaranya ialah:
  1. Membaca do'a istiftah.
  2. Meletakkan telapak tangan kanan di atas telapak tangan kiri di atas dada ketika berdiri sebelum ruku' dan setelah ruku' (i'tidal).
  3. Mengangkat kedua tangan dengan jari-jari lurus dan dirapatkan sejajar dengan pundak atau telinga, saat takbiratul ihram (takbir pertama), ruku', bangun dari ruku' dan ketika berdiri dari tasyahhud awal menuju ke rakaat ketiga.
  4. Membaca tasbih saat ruku' dan sujud lebih dari satu kali (yang sunnah adalah yang kedua dan selanjutnya).
  5. Kelanjutan dari bacaan: "  " setelah bangun dari ruku' dan membaca do'a istighfar lebih dari satu kali ketika duduk di antara dua sujud.
  6. Memposisikan kepala sejajar dengan punggung ketika ruku'.
  7. Menjauhkan dua lengan dari dua sisi badannya, menjauhkan perut dari dua paha dan menjauhkan dua paha dari dua betis-nya di saat bersujud.
  8. Mengangkat dua lengan dari tanah di saat sujud.
  9. Duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy) di saat tasyahhud pertama dan ketika duduk di antara dua sujud.
  10. Duduk tawarruk di saat tasyahhud terakhir dalam shalat yang empat rakaat atau tiga rakaat. Duduk tawarruk itu ialah duduk di atas tanah dengan posisi kaki kiri berada di bawah kaki kanan, sementara kaki kanan tersebut ditegakkan.
  11. Memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk pada tasyahhud pertama dan terakhir, dari mulai pertama kali duduk sampai selesai membaca tasyahhud, sembari menggerakkan jari telunjuk tersebut di saat berdo'a.
  12. Membaca shalawat dan permohonan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarga beliau, juga untuk Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan keluarga beliau pada tasyahhud pertama.
  13. Membaca do'a pada tasyahhud terakhir.
  14. Mengeraskan bacaan pada waktu shalat Subuh, shalat Jum'at, shalat dua hari raya, shalat istisqa' (minta hujan) dan pada dua rakaat pertama dari shalat Maghrib dan shalat Isya'.
  15. Menyamarkan bacaan pada waktu shalat Dhuhur, shalat Ashar dan pada rakaat ketiga dari shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir dari shalat Isya'.
  16. Membaca ayat-ayat Al-Qur'an setelah membaca surat Al-Fatihah, ditambah lagi dengan sunnah-sunnah lain yang belum kita sebutkan disini, di antaranya adalah: Kelanjutan bacaan
  " setelah berdiri dari ruku' oleh imam, ma'mum dan orang yang shalat munfarid (sendirian). Hal ini termasuk sunnah. Di antaranya pula adalah: meletakkan kedua telapak tangan pada kedua lutut dengan jari-jari yang direng-gangkan di saat ruku'. q

ADAB BERHUTANG

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc


“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”

Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [Al-Baqarah : 208]

Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.

Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]

Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi" [3]

“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]

BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”

Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?

Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]

Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.

Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.

ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya” [8]

3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً

" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [An-Nisa : 58]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :

أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم

“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :

لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه

"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]

c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]

d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]

Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]

Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.

6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.

Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

"Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]

9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ

“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]

10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]

BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.

Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.

1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.

2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.

Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :

كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ

"Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)". [20]

3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.

Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]

Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.

Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263

Senin, 09 Januari 2012

Pelajaran ke-9

KETERANGAN TENTANG TASYAHHUD
Bertasyahhud ialah membaca:
"Segala pengagungan, pengharapan dan kebaikan adalah milik Allah. Semoga keselamatan atasmu wahai Nabi, juga anugerah dan berkahNya. Semoga keselamatan atas kami dan atas segenap hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesem-bahan yang haq selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya."
Kemudian membaca shalawat dan permohonan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membaca:
"Ya Allah, anugerahkanlah shalawat atas Muhammad dan ke-luarganya, sebagaimana Engkau telah menganugerahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia. Ya Allah, berkahilah Muhammad beserta keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia."
Kemudian dilanjutkan --untuk tasyahhud terakhir-- dengan memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari siksa Neraka Jahannam, siksa kubur, ujian kehidupan dan kemati-an dan dari godaan Dajjal. Setelah itu, boleh membaca do'a apa saja yang dia inginkan, diutamakan do'a-do'a yang ma'tsur (ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), misalnya:
"Ya Allah, bantulah aku untuk selalu mengingatMu, bersyukur kepadaMu, dan beribadah sebaik-baiknya kepadaMu. Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak menganiaya diriku dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan maghfirah dariMu dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih." q

Minggu, 08 Januari 2012

Pelajaran ke-8

WAJIB-WAJIB SHALAT
Wajib-wajib shalat ada 8 :
  1. Semua takbir dalam shalat selain takbiratul ihram.
  2. Membaca:    ("Allah Maha Mendengar hamba yang memujiNya.") bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid).
  3. Membaca:    ("Wahai Rabb kami, bagiMu segala puji.") bagi setiap orang yang shalat (imam, makmum atau munfarid).
  4. Membaca:    ("Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi.") di saat ruku'.
  5. Membaca:    ("Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi.") di saat sujud.
  6. Membaca:    ("Ya Rabb, ampunilah aku.") di saat duduk di antara dua sujud.
  7. Tasyahhud pertama.
  8. Duduk ketika tasyahhud pertama.

Sabtu, 07 Januari 2012

Pelajaran ke-7

RUKUN-RUKUN SHALAT
  1. Berdiri bila mampu.
  2. Takbiratul ihram (membaca Allahu Akbar).
  3. Membaca surat Al-Fatihah.
  4. Ruku'.
  5. Bersujud dengan tujuh anggota (badan).(1)
  6. Bangun dari sujud.
  7. Duduk di antara dua sujud.
  8. Thuma'ninah (tenang) dalam setiap gerakan shalat.
  9. Tertib atau berurutan dalam melakukan rukun-rukun di atas.
  10. Tasyahhud akhir (membaca At-Tahiyat).
  11. Duduk ketika tasyahhud akhir.
  12. Membaca shalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
  13. Mengucapkan dua salam.

Jumat, 06 Januari 2012

Pelajaran ke-6

SYARAT-SYARAT SHALAT
Syarat-syarat shalat ada 9 (sembilan) :
  1. Islam.
  2. Berakal.
  3. Bisa membedakan (tamyiz).
  4. Suci dari hadats.
  5. Menghilangkan najis.
  6. Menutup aurat.
  7. Masuk waktu shalat.
  8. Menghadap kiblat
  9. Berniat.

Aku Ingin Seperti Ayah


Serasa kemarin ketika anakku lahir dengan penuh berkah. Aku harus siap untuknya, sehingga aku sibuk mencari nafkah sampai ‘tak ingat kapan pertama kali ia belajar melangkah. Pun kapan ia belajar bicara dan mulai lucu bertingkah.
Namun aku tahu betul ia pernah berkata, “Aku akan menjadi seperti Ayah kelak.”

“Ya betul aku ingin seperti Ayah kelak.”
“Ayah, jam berapa nanti pulang?”
“Aku tak tahu, Nak, tetapi kita akan punya waktu bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah bersama.”
Ketika saat anakku ulang tahun yang kesepuluh, Ia berkata, “Terima kasih atas hadiah bolanya, Ayah. Wah … kita bisa main bola bersama. Ajari aku bagaimana cara melempar bola.”
“Tentu saja, Nak, tetapi jangan sekarang, Ayah banyak pekerjaan sekarang”
Ia hanya berkata, “Oh ….”
Ia melangkah pergi, tetapi senyumnya tidak hilang, seraya berkata, “Aku akan seperti ayahku. Ya, betul aku akan sepertinya.”

Kamis, 05 Januari 2012

Pelajaran ke-5

SURAT AL-FATIHAH DAN SURAT-SURAT PENDEK
Hendaklah kita mengajarkan surat Al-Fatihah dan surat-surat pendek lainnya yang memungkinkan, seperti dari surat Az-Zalzalah sampai dengan surat An-Nas, diajarkan secara langsung, diperbagus cara bacaannya, disuruh menghafalkan dan dijelaskan hal-hal penting yang harus difahami.

Rabu, 04 Januari 2012

Pelajaran ke-4



RUKUN IHSAN
Ihsan adalah kamu menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala seolah-olah kamu melihatNya. Bila kamu tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya Dia dapat melihatmu. q

Selasa, 03 Januari 2012

Pelajaran ke-3

PEMBAGIAN TAUHID & SYIRIK
Tauhid dibagi menjadi tiga :
  1. Tauhid Rububiyah.
  2. Tauhid Uluhiyah.
  3. Tauhid Asma' wa Shifat.
Tauhid Rububiyah ialah mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah pencipta segala sesuatu dan mengurus kese-muanya dan tidak ada sekutu bagiNya dalam hal tersebut.
Adapun Tauhid Uluhiyah ialah mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala Dialah yang berhak untuk disembah dengan haq, tidak ada sekutu bagiNya dalam hal tersebut. Inilah makna
", artinya tidak ada yang pantas disembah dengan haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, segala bentuk ibadah seperti shalat, puasa dan yang lainnya, wajib dilaksanakan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Tidak boleh ada satu bentuk ibadah pun yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Selanjutnya, Tauhid Asma' wa Shifat ialah mengimani semua apa yang disebutkan dalam Al-Qur'anul Karim dan Hadits-hadits shahih tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sifat-sifatNya. Lalu menetapkan itu semua untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa 'tahrif' (mengubah), tanpa ta'thil (meniadakan), takyif (menanyakan bagaimana caranya), dan tanpa tamstil (penye-rupaan), sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Katakan, Dialah Allah Yang Mahaesa. Allah tempat bergan-tung. Tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Dan tidak ada yang sebanding denganNya seorang pun." (Al-Ikhlas: 1-4).
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Tidak ada yang seperti Dia sesuatu pun dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11).
Tapi ada sebagian ulama yang membagi tauhid menjadi dua bagian saja dengan menggabungkan Tauhid Asma' wa Shifat pada Tauhid Rububiyah. Dan tidak ada masalah dalam hal ini, karena yang dimaksud oleh dua macam pembagian ini sudah jelas.
PEMBAGIAN SYIRIK
Syirik dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Syirik Akbar (Besar).
  2. Syirik Ashghar (Kecil).
  3. Syirik Khofi (Samar).
SYIRIK AKBAR (BESAR)
Syirik akbar akan menghapuskan pahala amal dan akan me-ngekalkan pelakunya di dalam Neraka. Seperti yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan kalau mereka melakukan syirik (menyekutukan Allah dengan sesuatu), pasti akan gugur dari mereka (pahala) apa yang mereka lakukan." (An-An'am: 88).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam Neraka." (At-Taubah: 17).
Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan melakukan syirik akbar, maka dia tidak akan diampuni, dan Surga diharamkan baginya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya." (An-Nisa': 48).
Di dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun." (Al-Maidah: 72).
Yang termasuk syirik akbar, di antaranya adalah berdo'a (meminta) kepada orang mati dan patung (berhala), mohon perlindungan kepada mereka, juga bernadzar dan berkorban (menyembelih binatang) untuk mereka dan lain sebagainya.
SYIRIK ASHGHAR (KECIL)
Syirik kecil ialah beberapa tindakan yang sudah jelas disebut-kan dalam nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah sebagai syirik, tetapi tidak termasuk jenis syirik besar. Contohnya adalah riya' (ingin dilihat orang) dalam beramal, bersumpah tidak dengan nama Allah dan mengatakan "  " (Sesuatu yang dikehen-daki oleh Allah dan dikehendaki oleh fulan) dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesuatu yang paling aku takuti terhadap kalian adalah syirik kecil. Lalu beliau ditanya syirik kecil itu. Beliau men-jawab: riya'." (HR. Imam Ahmad, Ath-Thabrany, Al-Baihaqi dari Mahmud bin Labid Al-Anshari radhiallahu 'anhu dengan sebuah sanad yang baik, dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrany --dengan beberapa sanad yang baik dari Mahmud bin Labid-- dari Rafi' bin Khudaij dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
"Barangsiapa yang bersumpah dengan sesuatu -selain Allah- maka dia telah menyekutukan (Allah)." (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih).
Hadits Umar bin Khaththab radhiallahu 'anhu dan diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dengan sanad yang shahih dan hadits Ibnu Umar radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:
"Barangsiapa yang bersumpah dengan (menyebut nama) selain Allah, maka dia telah kafir atau syirik."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah kalian mengatakan:  ('Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan'), tapi katakanlah:  ('Atas kehendak Allah kemudian atas kehendak si fulan')." (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhi-allahu 'anhu).
Syirik kecil ini tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam serta tidak memastikan kekalnya seseorang di dalam Neraka, tetapi menghilangkan kesempurnaan tauhid yang semestinya.
Syirik KHOFI (Samar)
Syirik khofi ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana beliau bertanya kepada para sahabat:
"Bagaimana sekiranya aku beritahu kalian tentang sesuatu yang lebih aku takuti (terjadi) pada kalian daripada Al-Masih Ad-Dajjal? Mereka menjawab: Ya, wahai Rasulullah! Rasulullah bersabda: "Syirik yang samar (contohnya), sese-orang berdiri lalu dia melakukan shalat maka dia perbagus shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang memperhati-kan kepadanya." (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abi Said Al-Khudri radhiallahu 'anhu).
Bisa juga syirik itu dibagi menjadi dua bagian saja. Syirik besar dan syirik kecil. Adapun syirik khofi, bisa masuk dalam dua jenis syirik tadi. Bisa terjadi pada syirik besar, seperti syiriknya orang-orang munafik. Karena mereka itu menyembunyikan keyakinan sesat mereka dan berpura-pura masuk Islam dengan dasar riya' dan khawatir akan keselamatan diri mereka. Bisa juga terjadi pada syirik kecil seperti yang disebutkan dalam hadits Mahmud bin Labid Al-Anshari yang terdahulu dan hadits Abu Said yang tersebut di atas. q